“Filantropi media massa bukan sekadar penggalangan dana, melainkan ujian kepercayaan publik.”
Oleh: Mohammad Nasir
Diskusi mingguan Forum Wartawan Kebangsaan (FWK) di Jakarta, Rabu (10/12) lalu, masih memperbincangkan nasib para korban bencana di Sumatera.
Duka, kesedihan, dan kepedihan korban bencana banjir dan longsor di Sumatera masih menggelayut dalam pikiran para wartawan senior yang sedang berdiskusi hari itu.
Seperti dikutip DetikNews, Jumat (12/12/2025), bencana di Sumatera merusak 1.200 fasilitas umum, 219 fasilitas kesehatan, 581 fasilitas pendidikan, 434 rumah ibadah, 290 gedung kantor, serta 498 jembatan.
Korban meninggal menjadi 990 orang, sementara 222 lainnya masih dinyatakan hilang. Menurut catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jumat (12/12/2025), korban luka bertambah menjadi 5.400 orang. Sebanyak 52 kabupaten/kota terdampak bencana banjir bandang di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara.
“Kita ikut berduka cita yang mendalam atas meninggalnya banyak korban bencana di Sumatera,” kata Koordinator Nasional FWK, Raja Parlindungan Pane, mengawali diskusi.
Banyak pertanyaan yang mengemuka dalam diskusi. Langkah apa yang sekiranya bisa dilakukan untuk menolong para korban?
Bagaimana pertolongan bisa sampai, dan bagaimana membangun kembali hunian para korban, fasilitas umum, jalan, serta jembatan yang rusak diterjang banjir bandang?
Bahkan sampai pada titik kesimpulan, FWK yang didorong oleh pendirinya, Hendry Ch. Bangun (mantan wartawan senior Harian Kompas dan Wakil Ketua Dewan Pers), akhirnya sepakat mendesak pemerintah mendirikan badan rehabilitasi bencana untuk Sumatera, dengan tujuan agar rehabilitasi semua yang hancur akibat bencana dapat segera dilaksanakan.
Mengapa wartawan begitu peduli terhadap bencana? Sejak dulu, wartawan memang memiliki “DNA” kepedulian terhadap kepentingan umum. Itu merupakan syarat utama menjadi wartawan.
Naluri mereka berkelana membela kepentingan publik, termasuk nasib rakyat dan bangsa. Wartawan membela kebenaran, manusia, dan kemanusiaan.
Model kepedulian yang diberikan insan media biasanya melalui pemberitaan dengan penuh empati. Mengutip pendapat Pendiri Harian Kompas, Jakob Oetama (27 September 1931 – 9 September 2020), dalam sebuah rapat redaksi, pemberitaan media adalah bagian dari corporate social responsibility (CSR) perusahaan media.
Namun demikian, Harian Kompas dengan arahan Jakob Oetama juga mendirikan Yayasan Dana Kemanusiaan Kompas (DKK) sebagai filantropi media massa. Di DKK, Pak Jakob menjabat sebagai Ketua Dewan Pengawas.
Bahkan, beberapa kali Pak Jakob ikut turun langsung ke lapangan untuk memantau persiapan proyek pembangunan hasil bantuan pembaca dan masyarakat pascabencana tsunami di Aceh pada Desember 2004.
Secara diam-diam, Pak Jakob juga memantau jumlah dana bantuan yang masuk dari pembaca dan masyarakat.
Ketika DKK membuka penerimaan bantuan dana, beberapa kali Pak Jakob meminta laporan kami mengenai dana bantuan yang masuk dan perbandingannya dengan media lain yang juga membuka penerimaan bantuan bencana.
Ketika kami jelaskan bahwa dana bantuan yang masuk melalui Harian Kompas lebih besar dibandingkan yang lain, Pak Jakob merasa lega. Kami tahu, bagi Pak Jakob, bukan soal jumlah uangnya, melainkan tingkat kepercayaan (trust).
Jumlah dana yang masuk tersebut menjadi indikator kepercayaan publik, termasuk pembaca. “Kita masih dipercaya,” katanya singkat.
Pak Jakob berkali-kali, dalam rapat internal Kompas, mengajak seluruh jajaran redaksi dan bisnis untuk melipatgandakan kepercayaan publik.
Filantropi Media Massa
Biasanya, di luar pemberitaan, wartawan patungan untuk memberi bantuan kepada korban bencana. Mula-mula bantuan berasal dari kantong wartawan masing-masing, kemudian dibuka “dompet” bagi pembaca yang ingin menyalurkan bantuan.
Pihak yang disebut sebagai pembaca media ini sangat luas, mulai dari individu hingga perusahaan, industri, perbankan, bahkan pemerintah.
Banyak perusahaan atau redaksi media massa kemudian mendirikan filantropi media massa. Lembaga ini menjadi perpanjangan tangan media dalam menyapa langsung pembaca dan masyarakat melalui kegiatan penyaluran bantuan sosial dan kemanusiaan tanpa membedakan latar belakang, seperti suku dan agama.
Kalau saja semua filantropi media massa bergabung dan saling menyampaikan informasi, kekuatan gerakan sosial kemanusiaan dari sektor media akan sangat signifikan.
Kode Etik Filantropi Media Massa yang dikeluarkan oleh Dewan Pers melalui Peraturan Dewan Pers Nomor 2/Peraturan-DP/III/2013 sudah cukup menjadi pedoman bagi media massa yang mengoperasikan filantropi.
Salah satu poin penting dalam kode etik filantropi tersebut adalah bahwa rekening bank untuk menampung penggalangan dana harus terbuka untuk pemeriksaan keuangan oleh lembaga yang berkompeten.
Semua perusahaan media boleh mendirikan filantropi media massa. Namun, ketika media berniat membangun lembaga filantropi dan menghimpun dana bantuan kemanusiaan, diperlukan tekad yang kuat. Konsekuensinya berat: bekerja keras di lokasi bencana, bertanggung jawab dalam penyaluran, transparansi, dan pemberitaan.
Pemberitaan menjadi penting karena berita merupakan bentuk pertanggungjawaban kepada publik. Dalam pemberitaan harus dilaporkan apa yang disumbangkan, berapa nilainya, dan dari mana asalnya.
Jika sudah siap dengan niat dan tekad yang kuat, kumpulkan sejumlah orang yang peduli terhadap kemanusiaan. Orang-orang tersebut akan ditempatkan pada posisi-posisi yang diperlukan untuk menjalankan roda organisasi sosial kemanusiaan.
Posisi yang perlu diisi antara lain Dewan Pengawas; Dewan Pengurus (Ketua, Sekretaris, dan Bendahara); Bidang Informasi dan Komunikasi; Bidang Pengkajian; Bidang Rehabilitasi; Subbidang Proyek Bangunan; Bidang Penerimaan dan Distribusi Bantuan Tanggap Darurat; serta Dokumentasi.
Setelah lembaga filantropi media massa terbentuk, dibuat badan hukumnya beserta akta notaris. Namanya disesuaikan dengan kesepakatan pengurus atau pendiri.
Tujuan pendirian perlu ditegaskan, termasuk jenis bantuan yang akan diberikan setelah penggalangan dana serta siapa sasaran penerima manfaatnya, misalnya korban bencana.
Apakah lembaga juga akan membiayai pendidikan anak sekolah dari keluarga kurang mampu secara ekonomi, membantu penanggulangan kemiskinan, atau menyalurkan bantuan pengobatan bagi orang sakit yang sangat membutuhkan?
Tetapkan saja sesuai kesanggupan lembaga. Misalnya, lembaga ini fokus memberi bantuan kepada korban bencana, baik pada tahap tanggap darurat maupun rehabilitasi.
Perlu diketahui bahwa istilah filantropi menuntut pelaksanaan nyata. Filantropi berarti penggalangan dana dari luar instansi lembaga untuk disalurkan sebagai bantuan sosial, kebencanaan, dan kegiatan kemanusiaan.
Lembaga filantropi diwajibkan menyebutkan sumber dana yang disalurkan. Penyebutan dilakukan di hadapan publik saat acara penyerahan atau ditulis pada layar latar (backdrop).
Misalnya: “Dana Kemanusiaan Kompas bekerja sama dengan Bank Mandiri menyalurkan bantuan kepada masyarakat korban bencana di Sumatera.”
Atau, jika ada permintaan khusus dari penyumbang: “Penyaluran Bantuan CSR BRI bekerja sama dengan Dana Kemanusiaan Kompas.”
Jika sumbangan berupa pembangunan rumah atau fasilitas umum, penandatanganan prasasti dapat melibatkan pihak penyumbang bersama pengelola filantropi sesuai kesepakatan.
Dengan cara bersama-sama saat penyaluran bantuan, transparansi kepada publik akan terjaga. Ini bukan persoalan pencitraan, melainkan memberi contoh yang baik agar dapat ditiru.
Dalam pemberitaan media, para penyumbang harus disebutkan, kecuali ada permintaan agar tidak dipublikasikan.
Penyaluran bantuan pangan atau pembangunan seperti ini telah banyak dilakukan filantropi media massa, seperti Yayasan Pundi Amal Peduli Kasih (YPP) SCTV-Indosiar, Yayasan Dana Kemanusiaan Kompas, dan Dompet Dhuafa Harian Republika, yang juga mempraktikkan transparansi laporan.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa penggalangan dan penyaluran dana bantuan harus dilaksanakan secara utuh, aman, dan tepat sasaran.
Penggunaan dana bantuan untuk biaya operasional penyaluran, honor pelaksana, dan akomodasi selama bertugas diperbolehkan.
Hal tersebut sesuai Pasal 7 tentang Dana Operasional dalam Kode Etik Filantropi Media Massa yang dikeluarkan oleh Dewan Pers.
Kesiagaan dan Kecermatan
Dalam hal kesiagaan, setiap terjadi bencana, lembaga filantropi harus segera menugaskan anggotanya untuk memantau situasi melalui berbagai saluran informasi. Mereka perlu mencari tahu perkembangan terbaru dan kebutuhan korban, seperti makanan, obat-obatan, pakaian, dan selimut.
Kerja sama dengan instansi setempat, seperti kantor Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, kepala desa atau lurah, serta pos pengungsian merupakan keharusan.
Jangan sampai kegiatan penyaluran bantuan justru menjadi masalah karena tidak ada koordinasi hingga dihentikan aparat setempat.
Jika bantuannya besar, koordinasi dengan bupati atau wali kota setempat menjadi penting untuk pemerataan dan kelancaran distribusi bantuan.
Memanfaatkan jaringan kerja di wilayah bencana juga penting untuk melancarkan penyaluran bantuan serta memperoleh informasi terkini mengenai kebutuhan korban.
Bidang pengkajian dan asesmen lembaga filantropi dituntut bekerja teliti saat melakukan survei, baik pada tahap tanggap darurat maupun rehabilitasi.
Data, termasuk surat-surat pendukung, harus diketahui sepenuhnya oleh bidang pengkajian dan sepengetahuan pihak berwenang setempat.
Ketelitian menjadi sangat penting, terutama dalam pembangunan rumah rehabilitasi. Tim harus memastikan status tanah tempat pembangunan agar tidak menimbulkan masalah hukum di kemudian hari.
Jika bangunan terlanjur didirikan di atas tanah bermasalah, bantuan kemanusiaan bisa menjadi sia-sia.
Jangan sampai bantuan yang disalurkan tidak berguna, karena yang diberikan adalah titipan orang lain. Lembaga filantropi harus amanah dan dapat dipercaya.
Ayo kita galang kekuatan filantropi media massa untuk membantu korban bencana.(*)
*Wartawan, peserta diskusi Forum Wartawan Kebangsaan (FWK), Direktur Dana Kemanusiaan Kompas (2009-2017), dan mantan Ketua PWI Peduli Pusat









