Hubungan Mesra Yaman-Palestina, Sebuah Fakta Historis

Dr. Lili Sholehuddin, M.Pd. (Foto:JJ SP)

“Kemesraan Yaman-Palestina yang bersatu di bawah kendali raja dan ratu yang berintegritas dan bermartabat pada masa lalu itu nyaris hilang, tergantikan oleh badai krisis politik dan konflik berkepanjangan, baik di internal Yaman sendiri maupun di bumi Palestina yang masih dijajah Israel.”

Oleh Dr. Lili Sholehuddin, M.Pd.

Kemenkumham Bali

Pada 2009 penulis mendapat kesempatan belajar “short course” (kuliah singkat sebagai kegiatan akademis tambahan) selama empat bulan di Yaman bersama 23 teman dari Indonesia dengan mengambil konsentrasi ilmu-ilmu keislaman dan sejarah Palestina.

Yaman itu sendiri adalah sebuah negara di Jazirah Arab, persisnya di Asia Barat Daya. Negara itu berbatasan dengan Laut Arab di sebelah selatan, Teluk Aden dan Laut Merah di sebelah barat, Oman di sebelah timur, dan Arab Saudi di sebelah utara.

Terkait short course di Yaman itu, salah satu materi bahasan yang penulis ikuti adalah hubungan Yaman-Palestina ditinjau dari berbagai sudut pandang. Tidak hanya dari sisi atau faktor geografis dan ekonomi, tetapi juga dari faktor historis, sosiologis, dan religiusitas.

Dari sisi historis, tidak salah jika dikatakan Yaman-Palestina terlahir layaknya saudara kembar yang memiliki kesamaan dalam banyak bidang, laksana tangan kanan dan kiri yang saling melengkapi dan menyempurnakan.

Kehangatan koneksi dua kekuatan itu terwakili oleh dua sosok figur pemimpin pilihan yang tercatat dengan tinta emas dalam perjalanan hidup manusia hebat di pentas sejarah dunia.

Kedua insan super berlainan jenis itu adalah pemegang kunci dan kekuatan luar biasa di negerinya masing-masing, yaitu Ratu Balqis di Negeri Saba yang berada di daerah atau wilayah Republik Yaman sekarang, dan Raja Sulaeman di Palestina.

Ratu Balqis

Ratu Balqis adalah seorang perempuan kharismatik, cantik, disegani, dihormati, dan dicintai rakyatnya di Negeri Saba (sekarang Yaman). Ia dalam menjalankan roda pemerintahannya menganut sistem monarki, tetapi pelayanan dan perhatian pada rakyatnya bersifat demokratis.

Ratu Balqis sangat merakyat, selalu bersikap dan bertindak bijaksana, adil dan penuh tanggungjawab, sehingga rakyat merasa senang dan gembira karena segala hajat hidupnya dapat terpuaskan, terlayani, dan terpenuhi.

Faktor kebijakan pemimpin yang merakyat itu berimplikasi pada terciptanya suasana damai, tenteram kertaraharja, murah sandang serta pangan dan papan, selain juga terbebas dari intrik, friksi, provokasi, dan demonstrasi yang merugikan banyak pihak, baik pemerintah maupun rakyat dan dunia usaha.

Tipe kepemimpinan Ratu Balqis yang elegan, egaliter, dan spektakuler itu mempengaruhi pola pikir, sikap, dan tindakan masyarakat kala itu yang berdisiplin serta patuh dan taat hukum.

Alasan itulah nampaknya yang menyebabkan negeri Saba mendapat anugerah penghargaan dari Allah berupa pengukuhan sebagai negeri terbaik (Surat Saba/34:15) dari segi keamanan (politis), kesejahteraan (ekonomi), dan keadilan (hukum) dengan sebutan “Baldatun Thoyyibun wa Rabbun Ghafur“.

Ahli tafsir di kalangan tabi’in, seperti Qatadah dan Abdurrahman bin Zaid dalam tafsir Ath-thobari menggambarkan betapa makmur dan suburnya negeri Saba dibawah kepemimpinan Ratu Balqis.

Bahkan apabila seorang wanita berjalan di bawah pepohonan dengan memanggul keranjang di atas kepalanya untuk mewadahi buah-buahan yang berjatuhan, maka keranjang itu penuh tanpa harus susah payah memanjat atau memetik buah di pohonnya.

Sementara itu, Hamka dalam tafsir al-Azhar menjelaskan bahwa nenek moyang penduduk negeri tersebut membangun bendungan atau waduk besar bernama Ma’arib yang berbentuk segitiga dengan panjang potongan sekitar 580 meter dan tinggi 16 meter.

Air yang tertampung di bendungan atau waduk Ma’arib itu selanjutnya menjadi sumber penghidupan penduduk negeri, mulai untuk kepentingan makan-minum hingga irigasi perkebunan yang membuat hasil pertanian berkelimpahan.

Keunggulan lainnya yang menjadikan negeri Saba dikenal dan dikenang sepanjang zaman adalah karena sentra perekonomiannya bersifat mendunia, strategis dan menjanjikan. Para pebisnis datang dari berbagai negeri menjajakan barang dagangannya dua kali dalam setahun.

Aktivitas perniagaan yang dijalankan para saudagar itu selalu mendapat hasil yang memuaskan. Pasca berdagang, mereka kembali ke negerinya masing-masing dengan penuh suka cita karena membawa keuntungan besar, termasuk para pedagang yang datang dari Makkah Al-Mukarramah (al-Quraisy/29:1-4).

Itulah potret Yaman dengan Ratu Balqis sebagai simbol kekuatannya yang telah berhasil menciptakan swasembada pangan dan rempah-rempah sebagai ciri khas pertanian negeri Saba, disamping sebagai pusat perekonomian dunia dan menjadi referensi perputaran ekonomi internasional saat itu.

Raja Sulaiman

Selain Yaman juga ada negeri Palestina. Seperti halnya Yaman, Palestina menjadi pusat peradaban dunia dengan Sulaiman sebagai raja dan sekaligus nabi. Raja Sulaiman bahkan menjadi poros kendali kehidupan manusia, jin, angin, burung dan makhluk lainnya.

Secara geografis Kerajaan Sulaiman adalah Syam yang meliputi Syiria, Yordania, Libanon dan Palestina. Raja Sulaiman berkedudukan di Palestina sebagai daerah strategis untuk melakukan pengawasan dalam menjalankan roda kepemimpinannya.

Ditetapkannya Palestina sebagai basis pemerintahan, karena Palestina menjadi tempat transit bagi lalu lintas perjalanan manusia yang datang dan pergi dari dan ke berbagai negara di tiga benua, yaitu Afrika, Eropa dan Asia.

Sumber kekayaan alam yang dimiliki Palestina adalah keberkahan berbagai sumber daya alam seperti buah-buahan berlimpah ruah, hewan ternak berkembang biak, ikan-ikan di laut yang tak pernah habis diambil, garam laut mati, emas hitam, gas alam dan barang tambang lainnya (Surat al-Isra/17: 1).

Sulaiman sendiri adalah seorang nabi sekaligus raja yang shaleh. Ia memiliki pengaruh yang besar sehingga seluruh makhluk manusia, termasuk jin, binatang, dan angin dapat tunduk dan patuh padanya (Surat al-Naml/ 27: 17 dan Surat al-Anbiya/ 21: 81-82).

Pada suatu waktu, Raja Sulaiman mengadakan rapat paripurna yang dihadiri oleh seluruh pasukannya di aula kerajaan. Ia mengundang tentara dari kalangan manusia, jin, dan hewan termasuk angin.

Sebelum rapat dimulai, Raja Sulaiman mengabsen satu per satu peserta rapat untuk memastikan kehadiran mereka. Namun pada saat memanggil nama burung Hud-hud, ia tidak mendapatinya.

Lalu, Raja Sulaiman pun bertanya kepada yang hadir, namun tidak ada yang tahu. Ia berencana akan menghukum Hud-hud bahkan menyembelihnya jika tidak memberikan alasan jelas atas ketidakhadirannya dalam rapat penting itu (Surat al-Naml/27: 21).

Tak lama kemudian, Hud-hud pun datang di rapat itu seraya melaporkan temuan hasil patrolinya bahwa ada seorang perempuan di Ma’ribi San’a ibukota Saba yang berkuasa dan memiliki singgasana serta menyembah matahari (surat al-Naml/27: 24-26).

Raja Sulaiman tidak langsung menerima alasan itu sebelum ada bukti. Maka guna membuktikan kebenarannya, Sulaiman berkirim surat pada ratu itu yang dibawa Hud-hud (al-Naml/27: 27).

Surat pun sampai di tangan Balqis. Lalu ia memanggil para pembesarnya untuk rapat, dan ketika Balqis melihat isi surat, ia pun memutuskan untuk berdamai daripada berperang dan akan membawakan hadiah kepada Raja Sulaiman daripada menentangnya yang menyebabkan kebinasaan.

Ratu Balqis bersiap datang langsung menghadap Raja Sulaiman disertai pembesar kerajaan dan dikawal pasukan secukupnya. Keberangkatan Balqis itu segera dikabarkan kepada Raja Sulaiman melalui utusan yang ditunjuknya.

Mendapat kabar bahwa Ratu Balqis akan datang, Sulaiman berencana untuk memindahkan singgasana Ratu Balqis dari istananya di Saba’ ke istana Sulaiman di Palestina. Sulaiman mengumpulkan para pembesar kerajaan dan bertanya kepada mereka siapa yang sanggup memindahkan singgasana Balqis dalam waktu secepat-cepatnya.

Iblis bernama Ifrit menyatakan siap memindahkan istana itu sebelum Sulaiman berdiri dari tempat duduknya. Lalu, seorang yang mempunyai ilmu dari aI-Kitab (Taurat dan Zabur) menyanggupi dengan hanya satu kedipan (surat al-Naml/27: 38-39) dan singgasana pun telah berpindah tempat, berada di Kerajaan Sulaiman.

Al-Qur’an tidak menyebutkan secara pasti namanya, tetapi yang jelas ia bukan dari golongan jin, melainkan datang dari bangsa manusia. Hal ini menunjukkan bahwa manusia lebih unggul dari jin. Orang dimaksud memiliki kemampuan tersebut karena ilmu yang dia pelajari dari al-Kitab yang bersumber dari Allah SWT.

Tentang siapa nama seseorang itu, Ibn Katsir dalam Kitab Tafsirnya menyebutkan beberapa nama yang bersumber dari beberapa riwayat. Menurut Ibn Abbas, Qatadah dan ad-Dhahhak, nama orang itu adalah Ashif ibn Burkhiya’, Sekretaris Nabi Sulaiman, sementara menurut Mujahid namanya Asthum, dan menurut Zuhair ibn Muhammad namanya Zun Nur.

Ketika Ratu Balqis beserta rombongan tiba, Raja Sulaiman menyambutnya dengan hangat dan penuh empati serta langsung membawanya ke tempat pertemuan di dalam istana.

Dalam perjalanan menuju istana, Balqis merasa heran penuh takjub mengagumi arsitektur bangunan elegan dan spektakuler yang belum pernah ia saksikan sebelumnya, termasuk di singgasananya sendiri.

Satu peristiwa sepele terjadi dan menjadikan Ratu Balqis merasa kecil di hadapan Raja Sulaiman adalah ketika pertama kali memasuki Istana Sulaiman. Balqis mengira lantai yang akan dilaluinya itu dialiri air sehingga ia mengangkat sedikit gaunnya ke atas khawatir basah terkena air.

Menyaksikan kejadian itu, Sulaiman memperlihatkan kenegarawanannya dengan sikap simpatik, bijak dan humanis penuh kebapakan seraya berkata menggunakan diksi dan narasi yang tidak melemahkan dan mempermalukan lawan bicara.

Ia menjelaskan dengan lembut dan santun bahwa lantai itu terbuat dari marmer kualitas tinggi sehingga membuat bayangan ketika dilalui dan seolah-olah terdapat air di atas marmer itu.

Faktor kemegahan arsitektur bangunan yang menakjubkan dan keramah-tamahan Sulaiman dalam menjamu dan memperlakukan dirinya, menyebabkan hati Ratu Balqis luluh dan mengakui kehebatan Sulaiman, sehingga kemudian menerima ajakannya menyembah Allah. Apalagi setelah ia tahu singgasana miliknya juga telah berada di Istana  Sulaiman.

Akhirnya, Ratu Balqis dan pengiring serta pengawal dan pengikutnya meninggalkan penyembahan matahari dan menerima Islam, mentaati Allah dan Rasul-Nya serta hidup dalam damai, tenteram dan sejahtera bersama Raja Sulaiman dalam bingkai kesatuan Yaman-Palestina meski dipisahkan oleh jarak yang jauh, yaitu sekitar 2.400 km.

Kemesraan Yaman-Palestina yang bersatu di bawah kendali raja dan ratu yang berintegritas dan bermartabat pada masa lalu itu nyaris hilang, tergantikan oleh badai krisis politik dan konflik berkepanjangan, baik di internal Yaman sendiri maupun di bumi Palestina yang masih dijajah Israel.

Sungguh ironi memang. Tetapi itulah fakta yang terjadi. Mengapa demikian? Wallahu ‘Alam Bisshawab.

*Penulis Dr. Lili Sholehuddin, M.Pd. adalah Wakil Ketua I (Bidang Akademik) Sekolah Tinggi Ilmu Shuffah Al-Quran Abdullah bin Mas’ud (STISQABM) Natar, Lampung Selatan.

Tinggalkan Balasan