Genosida Tak Henti di Tanah Gaza

Genosida Gaza Palestina
Ilustrasi seorang anak Palestina berdiri di depan sebuah masjid yang rusak akibat serangan Israel di Gaza pada 8 September 2024.(Foto: Anadolu)

SUDUTPANDANG.ID – Ketika jutaan umat Islam di seluruh dunia melaksanakan salat Iduladha dengan penuh khidmat dan suka cita, penduduk di Jalur Gaza Palestina justru harus menjalani hari raya dalam ketakutan dan duka. Di tengah perayaan suci, genosida dan kekerasan oleh militer Israel terus berlanjut, meninggalkan jejak kehancuran dan kehilangan yang semakin dalam.

Dalam pernyataan resmi yang dirilis pada Sabtu (7/6), Kementerian Kesehatan Palestina mencatat bahwa jumlah korban jiwa akibat agresi Israel yang berlangsung sejak Oktober 2023 telah mencapai 54.772 orang tewas.

Sementara itu, jumlah korban luka tercatat sebanyak 125.834 orang, dengan 304 korban luka baru dan 95 jenazah yang tiba di rumah sakit hanya dalam waktu 48 jam terakhir.

“Masih banyak korban yang terperangkap di bawah reruntuhan dan di jalan-jalan, namun tim penyelamat tidak dapat menjangkau mereka karena situasi yang sangat berbahaya,” demikian bunyi pernyataan dari kementerian tersebut.

Serangan terbaru Israel dimulai kembali pada 18 Maret 2025, setelah kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran tahanan yang telah berlaku sejak Januari secara sepihak dihentikan oleh Tel Aviv. Sejak saat itu saja, agresi militer telah menewaskan 4.497 orang dan melukai 13.793 lainnya.

BACA JUGA  Edan! Israel Bombardir Kamp Pengungsi PBB, 9 Orang Tewas

Mahkamah Pidana Internasional 

Kekejaman yang terjadi di Gaza kini menjadi perhatian lembaga hukum internasional. Pada November 2024, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant. Keduanya dituduh melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang mencakup serangan tanpa pandang bulu terhadap warga sipil dan fasilitas sipil di Gaza.

Tak hanya itu, Israel juga menghadapi gugatan kasus genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) yang diajukan oleh sejumlah negara atas tindakan brutal dan sistematis terhadap penduduk Palestina.

Namun, semua proses hukum internasional tersebut belum mampu menghentikan penderitaan yang terjadi hari demi hari. Serangan udara, pemboman, dan blokade masih berlangsung di berbagai wilayah Gaza, termasuk daerah yang padat penduduk dan tempat pengungsian. Rumah sakit kehabisan obat-obatan, listrik terbatas, dan akses terhadap air bersih semakin sulit.

BACA JUGA  Kemenkes di Gaza: 17.200 Orang Tewas Akibat Serangan Zionis Israel

Perang Gaza dan Tuduhan Genosida

Kelompok hak asasi manusia, pengacara, dan sejumlah sejarawan Israel menggambarkan perang di Gaza sebagai bentuk “genosida” dan menyerukan dilaksanakannya gencatan senjata.

Presiden Brasil, Luiz Inácio Lula da Silva, pada Kamis juga menuduh Israel melakukan “genosida terencana” di wilayah Palestina yang diduduki di Gaza.

Namun, Israel yang didirikan pada tahun 1948 setelah peristiwa Holocaust Nazi terhadap orang Yahudi menolak keras penggunaan istilah tersebut.

“Ini adalah genosida terencana oleh pemerintahan sayap kanan yang melancarkan perang, bahkan terhadap kepentingan rakyatnya sendiri,” ujar Lula dalam konferensi pers bersama Presiden Prancis Emmanuel Macron di Paris, sebagaimana dikutip oleh Al Arabiya.

Hari Berkabung

Iduladha yang seharusnya menjadi simbol pengorbanan dan kemanusiaan, berubah menjadi hari berkabung nasional bagi rakyat Palestina. Ribuan keluarga tidak bisa berkumpul, anak-anak kehilangan orang tua, dan para ibu meratapi jasad anak-anak mereka di tenda-tenda darurat atau di antara puing bangunan.

BACA JUGA  22 Lokasi di Samarinda Banjir Akibat Diguyur Hujan Lebat

“Ini bukan lagi konflik, ini adalah upaya pemusnahan,” ujar seorang warga Gaza dalam wawancara singkat dengan media lokal, sambil menggendong bayinya yang terluka.

Dunia internasional, termasuk negara-negara mayoritas Muslim, terus didesak untuk mengambil langkah nyata dan tegas. Seruan untuk gencatan senjata permanen, bantuan kemanusiaan, dan penghentian blokade terus bergema, tetapi hingga kini, belum ada perubahan signifikan yang mampu menghentikan krisis kemanusiaan terbesar abad ini.(01/berbagai sumber)