DENPASAR, SUDUTPANDANG.ID – Putri Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid, Zannuba Ariffah Chafsoh atau Yenny Wahid menyatakan peringatan 20 tahun bom Bali 1 merupakan momentum untuk memperingati kehidupan, mengingatkan dan menguatkan komitmen memerangi terorisme di Indonesia.
Hal itu disampaikan Yenny Wahid saat diwawancarai usai mengikuti acara pelepasan tukik, penyu dan burung merpati dalam salah satu rangkaian acara bertajuk “harmony in diversity” yang diinisiasi oleh Kepolisian Republik Indonesia dan Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror Polri di Nusa Dua, Badung, Bali, Rabu (12/10/2022).
Yenny Wahid yang datang sebagai anggota Global Council for Tolerance and Peace dalam pesan perdamaiannya menyampaikan sebagai suatu bangsa, masyarakat Indonesia mesti memandang toleransi dan kebhinekaan sebagai roh yang melandasi kehidupan keagamaan agar tidak ada lagi tragedi kemanusiaan yang mengatasnamakan agama.
“Kita melihat bahwa tragedi Bom Bali menggambarkan bahwa ada pihak-pihak yang mengatasnamakan Tuhan dan melakukan terorisme, melukai orang lain, melukai makhluk ciptaan Tuhan,” kata dia di hadapan ratusan kerabat dan saksi tragedi bom Bali 1, serta jajaran Densus 88 Anti Teror Kepolisian Republik Indonesia.
Yenny Wahid menyatakan bahwa ungkapan yang pernah digaungkan oleh Gusdur mestinya juga menginspirasi kehidupan beragama yakni Tuhan tak perlu dibela karena Tuhan dapat membela dirinya sendiri tanpa bantuan manusia apalagi dengan cara-cara kekerasan yang mengatasnamakan Tuhan.
Untuk itu, kata Yenny, acara peringatan dua dekade bom Bali 1 menegaskan bahwa cara untuk memuliakan Tuhan adalah dengan melindungi makhluk-Nya.
Yenny yang juga Ketua The Wahid Institute menyebutkan ada banyak faktor yang mendorong orang melakukan tindakan radikalisme salah satunya adalah rasa putus asa.
“Gelisah, cemas lalu pesimis menatap masa depan ada perasaan ketidakadilan yang dirasakan dalam masyarakat maupun ketidakadilan yang dilakukannya sendiri. Ini semua faktor yang membuat orang mudah diradikalisasi apalagi bertemu dengan mentor-mentor yang menggunakan bahasa-bahasa yang langsung masuk ke dalam sisi emosinya,” katanya.
Biasanya, kata dia, bahasa yang marak dipakai oleh mentor-mentor radikal adalah bahasa agama dan bahasa politik. Kelompok-kelompok tersebut menggunakan kecemasan orang untuk dipengaruhi dengan ideologi yang radikal yang mengarah kepada tindakan terorisme.
“Jadi, begitu orang gelisah, orang cemas kemudian bertemu dengan mentor yang menggunakan bahasa agama maka gampang untuk diradikalisasi. Nah kegelisahan ini mesti kita atasi, apalagi persoalan ketidakadilan,” ujarnya.
Yenny Wahid menambahkan tragedi bom Bali merupakan tragedi kemanusiaan yang sangat mengerikan bagi masyarakat dunia, bangsa Indonesia khususnya masyarakat Bali.
Tetapi, lanjutnya, dari peristiwa itu muncul hal-hal baik salah satunya adalah gerak cepat pemerintah untuk membentuk Densus 88 yang bekerja di masyarakat untuk membongkar jaringan teroris yang berafiliasi dengan jemaah Islamiah dan Al-Qaeda. Kemudian ribuan orang dari jaringan tersebut berhasil ditangkap kemudian diadili secara terbuka dan transparan.
“Itu semua adalah upaya untuk mengamankan masa depan kita. Kita tidak bisa membayangkan (para teroris) masih berkeliaran di tengah-tengah kita. Saya dalam hal ini menghargai kerja-kerja nyata yang dilakukan oleh Densus 88 untuk mendeteksi jaringan-jaringan teror dan untuk menangkal kejadian-kejadian teror terjadi di masa depan,” terang Yenny Wahid.
Upaya-upaya yang dilakukan oleh Densus 88 itu, menurutnya, dinilai berhasil mendeteksi potensi serangan dan mereduksi skala dari serangan yang dilakukan.
“Jadi, kita perlu mengapresiasi kerja-kerja yang dilakukan oleh Densus 88. Juga terhadap kerja sama internasional yang telah dilakukan pihak kepolisian Indonesia bersama pihak kepolisian negara-negara lain, karena kerja sama ini membuat jaringan terorisme internasional di Asia Tenggara terbongkar. Maka, itu lebih mudah lagi dalam melakukan pencegahan,” pungkasnya.(red/ant)