Hukum  

Aartje Tehupeiory: Tugas dan Fungsi Satgas Anti Mafia Tanah Harus Optimal

Ketua LPPM UKI Dr. Aartje Tehupeiory, S.H., M.H (Foto:ist)

JAKARTA, SUDUTPANDANG.ID – Maraknya kasus tanah yang diduga melibatkan mafia tanah terus menjadi sorotan masyarakat dan pekerjaan rumah (PR) hingga saat ini. Hal ini harus menjadi perhatian bagi aparat penegak hukum, termasuk Satuan Tugas (Satgas) Anti Mafia Tanah yang harus optimal dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

Pandangan tersebut disampaikan Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Kristen Indonesia (UKI), Aartje Tehupeiory, yang berharap keberadaan Satgas Anti Mafia Tanah mampu mengusut tuntas mafia pertanahan.

“Banyak sekali modus yang dilakukan oleh para mafia tanah. Mafia tanah ini dapat beraksi lantaran tidak akuratnya data-data kepemilikan tanah antara yang tercatat di RT, RW, Kelurahan, Kantor Pajak, BPN. Ini dilakukan dengan persekongkolan jahat, sehingga menimbulkan sengketa dan perkara pertanahan di masyarakat,” ungkap Aartje Tehupeiory, dalam keterangannya, Selasa (11/1/2022).

Aartje mengatakan, dalam menjalankan aksinya para mafia tanah beraksi secara terorganisir yang mengakibatkan kejahatan mereka sulit dilacak secara hukum. Mereka kerap berlindung di balik penegakkan dan pelayanan hukum.

Menurut Doktor Ilmu Hukum Tanah ini, kelemahan pendataan tanah menjadi celah sehingga menimbulkan tumpang tindih kepemilikan, sengketa, konflik dan persoalan agraria lainnya.

“Ada enam tugas Satgas Mafia Tanah, pertama melaksanakan penelitian dan pengumpulan bahan keterangan terhadap kasus pertanahan yang terindikasi keterlibatan mafia tanah dan/atau berdimensi luas. Kedua, melaksanakan kajian dan analisis terhadap data kasus pertanahan yang terindikasi keterlibatan mafia tanah,” jelasnya.

“Ketiga, melaksanakan koordinasi dengan instansi lain terkait dengan penanggulangan dan penanganan kasus pertahahan yang terindikasi keterlibatan mafia tanah kepada pihak kepolisian untuk penanganan lebih lanjut,” sambung Aartje.

Kemudian, lanjutnya, yang ketiga adalah melaksanakan koordinasi dengan instansi lain terkait dengan penanggulangan dan penanganan kasus pertanahan yang berdimensi luas dan/atau melibatkan mafia tanah. Selanjutnya, keempat, melimpahkan hasil penanganan kasus pertanahan yang terindikasi keterlibatan mafia tanah kepada pihak kepolisian untuk penanganan lebih lanjut.

“Kelima, melaporkan hasil pelaksanaan satuan tugas secara berkala setiap 6 (enam) bulan sekali; dan keenam membuat laporan hasil penanganan dan rekomendasi kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional di tingkat Kementerian, kepada Kepala Kanwil BPN Provinsi di tingkat Provinsi dan kepada Kepala Kantor Pertanahan di tingkat Provinsi dan kepada kepala Kantor Pertanahan di tingkat Kabupaten/Kota,” papar Aartje.

Oleh karena itu, menurutnya, Satgas Anti Mafia Tanah bisa melibatkan dari unsur para akademisi, masyarakat yang serius melaksanakan mekanisme pelaksanaan tugasnya dalam pemberantasan mafia tanah.

“Dipertajam sinkronisasi antara hukum pertanahan dengan teknologi informasi hukum pidana yang berkaitan dengan masalah pembuktian kepemilikan hak atas tanah,” katanya.

Ia meminta negara harus melakukan penegakkan hukum terhadap kasus-kasus mafia tanah secara political will, yaitu dibutuhkan strategi yang jitu.

“Salah satu caranya dengan cara mengaktifkan semua lembaga yang berkaitan dengan masalah atau konflik pertanahan seefektif mungkin melalui penegakan hukum,” sebut Aartje.

Moral

Masih menurut Aartje, kejujuran dan sifat memperjuangkan kebenaran dari semua pejabat-pejabat yang terkait dengan pengurusan masalah tanah harus dijunjung tinggi. Pasalnya, sebaik apapun sebuah sistem dibangun untuk mengatasi masalah atau konflik pertanahan, masalah mafia tanah tidak akan pernah berhenti jika moral pejabat yang terkait tidak dijunjung tinggi.

“Dengan nilai-nilai profesionalitas, etika dan memiliki perilaku dan kualitas yang baik. Selain itu dibangun roadmap pendaftaran tanah sebagai kunci untuk memutus ekosistim dan episentrum mafia tanah agar tidak terulang kembali dari aksi para mafia tanah yaitu perlu langkah-langkah keterbukaan dengan merevisi kembali data-data kepemilikan tanah secara akurat serta membangun sebuah sistim yang terintegrasi tentang pendataan tanah sehingga dapat mencegah terjadinya kesalahan,” urainya lagi.

Ia pun kembali menyampaikan beberapa masukan untuk menutup ruang gerak mafia tanah, memutuskan ekosistim dan episentrum mafia tanah. Pertama, tanah harus dimanfaatkan jangan diterlantarkan. Artinya pemilik tanah harus mengfungsikan tanah tersebut dan menguasai secara fisik.

Kemudian, pengurusan administrasi kepemilikan tanah sebaiknya dilakukan sendiri, pemilik tanah tidak boleh mengutus orang lain dalam urusan administrasi kepemilikan tanah.

“Dibangun sistim aplikasi oleh BPN yang lebih massif skala nasional dengan program “Sentuh Tanahku atau Jaga Tanahku” untuk menimbulkan kesadaran masyarakat melek pendaftaran tanah,” pungkas pakar hukum pertanahan ini.(red)

Tinggalkan Balasan