CIBINONG, SUDUTPANDANG.ID – Akademisi Universitas Djuanda (Unida) Bogor, Saepudin Muhtar, S.IP, M.Sos, menilai wacana pemilihan kepala daerah (pilkada) oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) merupakan kemunduran demokrasi.
“Pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat sebetulnya memiliki banyak kelebihan. Di antaranya adanya legitimasi kuat dari rakyat yang memberikan suaranya secara langsung,” kata staf pengajar Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial, Ilmu Politik, dan Ilmu Komputer (Fisipkom) Unida yang karib disapa Gus Udin itu Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Jumat (14/10/2022).
Ia mengemukakan bahwa rakyat memiliki hak untuk ikut andil secara aktif dalam pilkada sehingga harus didorong terlaksananya penyelenggaraan pemerintahan daerah yang demokratis dan partisipatif.
“Rakyat juga dapat menentukan sendiri bagaimana sosok pemimpin daerah yang diharapkan, dan juga adanya check and balances antara sistem pemerintahan legislatif dan eksekutif,” kata kandidat doktor (S3) Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Gus Udin juga menegaskan bahwa jika pilkada dilakukan oleh DPRD, ia justru melihat adanya potensi politik transaksional di DPRD.
Karena itu, Saepudin Muhtar, menegaskan perlunya pilkada tetap dilaksanakan secara langsung sebagai wujud legitimasi rakyat memilih pemimpinnya.
Sebelumnya MPR dan Wantimpres mewacanakan pilkada dikembalikan ke DPRD. Wacana itu dibahas pada pertemuan Senin (10/10).
Usai pertemuan tersebut, Ketua MPR Bambang Soesatyo alias Bamsoet menyebut saat ini perlu adanya kajian terkait demokrasi Indonesia sekarang.
Ia menyoroti adanya kaitan antara demokrasi dengan korupsi yang marak terjadi saat ini, misalnya, dalam lima periode Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga tak bisa mengatasinya jika evaluasi tak dilakukan, termasuk mekanisme dari pemilihan umum (pemilu).
Bamsoet menyebut, salah satu hal yang dikaji yakni mengembalikan sistem kepala daerah dipilih DPRD.
Ia menekankan evaluasi sistem pemilu dan pilkada itu baru pada tahap “brainstorming” atau curah pendapat. MPR baru akan meminta pandangan dan kajian dari akademisi di perguruan tinggi hingga teknokrat. (Red/ANT)