BANTEN, SUDUTPANDANG.ID – Asisten Pemerintahan Sekretariat Daerah (Asda I) Provinsi Banten Komarudin memuji penulis buku Zikiran Sultan: Tradisi yang Terlupakan karya Ahmad Syaikhu.
Menurutnya, buku tersebut istimewa karena menggali jejak-jejak pribumisasi Islam dalam bentuk zikiran yang masih dilestarikan hingga sekarang.
“Dari buku ini kita tahu, bicara tentang Sultan Banten itu bukan hanya soal figur atau pemimpin, tapi di situ ada tradisi, ada peradaban,” katanya saat menjadi Keynote Speaker pada acara bedah buku tersebut, Kamis (28/7).
Komar menjelaskan, para Sultan Banten, utamanya Maulana Hasanuddin, merupakan pelopor sekaligus pembangun peradaban Islam di tanah Jawara.
Ia begitu dihormati sehingga namanya sering disebut dalam tradisi zikiran yang konon telah dipraktikkan secara turun temurun.
Namun, lanjutnya, karena peradaban itu tertimpa oleh dinamika zaman, seperti adanya kolonialisasi dan globalisasi, akhirnya banyak masyarakat yang kehilangan jejak.
“Jadi kalau hari ini saudara Ahmad Syaikhu menulis buku ini saya kira itu adalah bagian dari ikhtiar kita untuk menggali peradaban di masa lalu, sebuah tradisi yang terlupakan,” ujarnya.
Komar memandang peradaban di masa lampau penting sebagai khazanah atau sumber pijakan untuk mengisi peradaban sekarang dan akan datang.
Meski peradaban bersifat dinamis, nilai-nilai kearifan di masa lalu disebut jadi kekuatan dalam membentuk masa depan.
“Penulis seperti Akhmad Syaikhu ini langka, belum tentu dari ribuan orang ada yang nulis seperti ini, mudah-mudahan karya ini jadi amal jariyah, jadi legacy yang berkontribusi bagi peradaban,” tandas Komar.
Sementara itu, Ahmad Syaikhu membeberkan alasannya mengapa ia mengangkat tema Zikiran Sultan. Di samping menggali khazanah intelektual di Banten, dirinya juga hendak menggugah kesadaran masyarakat untuk giat berliterasi.
“Bahwa kita punya lho tradisi keislaman yang unik, salah satunya ya tradisi Zikiran Sultan ini yang sudah dipraktikan sejak lama,” ungkapnya.
Ia memaparkan, Zikiran Sultan pada dasarnya adalah refleksi dan penghormatan terhadap para Sultan di Banten, di antaranya Maulana Hasanuddin dan Abul Mafakhir.
Penghormatan diwujudkan dalam bentuk penyebutan atau pemujaan nama baik melalui tawassul (perantaraan seperti menghadiahkan bacaan Surat Al-Fatihah), manaqiban (pembacaan biografi), doa-doa, dan sejenisnya.
“Isi amalan Zikiran Sultan banyak shalawatan, juga hizib, dan sebagainya. Ada yang menyebut wiridan ba’da tarawih, ada juga menyebut Shalawatan Kenari,” terangnya.
Saat ini, lanjut Syaikhu, hanya ada satu tempat di mana masyarakat masih kuat mengamalkan Zikiran Sultan, yaitu Kampung Selatip, Desa Lontar, Kemiri, Kabupaten Tangerang.
Mereka melakukan zikir saat menjelang atau setelah salat tarawih, Idul Fitri, dan Idul Adha. “Praktik zikiran diiringi dengan langgam khas dan bedug, dilakukan berjama’ah di masjid atau mushola,” imbuhnya.
Kegiatan bedah buku Zikiran Sultan Banten dihadiri sejumlah tokoh, akademisi, dan pegiat literasi. Selain Komarudin, hadir pula Hadisa Mansyur (Kepala Dinas Perpustakaan dan Arsip, Masykur Wahid (penulis Buku Dialektika Teks Kitab Suci), dan Subandi Musbah (penulis buku Menuju Demokrasi Substansial). ()