Opini  

Catatan O.C Kaligis: Upeti

Catatan O.C Kaligis; Upeti
Prof Otto Cornelis Kaligis (Foto:Dok.Pribadi)

“Upeti dalam sejarah adalah bentuk penghormatan, bukan suap, perbedaannya terletak pada niat dan keterpaksaan.”

Oleh: Prof. Dr. O. C. Kaligis

Tulisan ini merupakan catatan reflektif mengenai praktik ‘upeti’ dalam hukum adat dan relevansinya dengan konsep gratifikasi dalam hukum modern. Semoga artikel ini dapat membuka ruang dialog yang sehat antara nilai-nilai budaya dan penegakan hukum di Indonesia.

Berikut catatannya:

1. Waktu ahli hukum adat Prof. Cornelis van Vollenhoven (1874 – 1933) membuat penelitian mengenai hukum adat, beliau membagi 19 lingkaran hukum adat di Indonesia.

2. Mengapa ini penting? Agar penjajah Belanda bila memerintah di suatu daerah, juga memperhatikan adat kebiasaan setempat, agar tidak terjadi konflik antara rakyat dengan penguasa Belanda yang menimbulkan keributan dengan masyarakat setempat.

3. Dari hasil penelitian Van Vollenhoven, termasuk dari hasil kajiannya, adalah kebiasaan rakyat memberi upeti kepada atasan, terutama atasan yang dihormati masyarakat setempat.

4. Upeti adalah bentuk persembahan kepada raja sebagai simbol penghormatan.

5. Upeti, perorangan ataupun kelompok orang, diberikan kepada raja atau penguasa sebagai bentuk penghormatan dan tanda tunduk patuh pada kekuasaan raja atau penguasa suatu wilayah Indonesia. Ini merupakan bentuk pajak pada zaman kerajaan-kerajaan di Indonesia.

6. Upeti tersebut berupa hasil bumi dan perpajakan atas barang perdagangan.

7. Upeti itu sudah ada sejak zaman kekuasaan Majapahit tahun 1293 Masehi dan runtuh pada tahun 1527 Masehi.

8. Upeti dalam konteks sejarah Indonesia merupakan praktik pemberian harta atau benda sebagai tanda ketundukan, kesetiaan, atau penghormatan kepada penguasa atau pihak yang lebih kuat.

BACA JUGA  Kembali Mangkir, Ini Pesan OC Kaligis untuk Erick Thohir

9. Awalnya bersifat sukarela, kemudian menjadi kewajiban yang dipaksakan.

10. Upeti juga menjadi salah satu sumber pendapatan bagi kerajaan-kerajaan di Nusantara, dan memiliki peran penting dalam sistem pemerintahan dan ekonomi pada masa lalu.

11. Karena sudah menjadi kebiasaan dan adat, patut dikaji apakah pemberian hadiah dalam bentuk uang bisa dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi?

12. Apalagi kalau pemberian itu tidak ada hubungannya dengan substansi perkara?

13. Seorang oknum polisi, tanpa meminta uang, menyelesaikan dengan baik laporan pidana dari saksi pelapor.

14. Dari laporannya, uang penggelapan miliknya dikembalikan oleh tersangka.

15. Semua proses acara berlangsung tanpa oknum polisi meminta uang pelumas.

16. Biasanya, yang ditolong dalam hal ini (saksi pelapor), tanpa diminta, memberikan tanda terima kasih berupa uang.

17. Karena ini sudah menjadi kebiasaan, sang polisi jujur menerima tanda terima kasih itu. Bagi kami, para praktisi hukum, menghadapi hal demikian, tidak terbesit di pikiran kami bahwa pemberian tanda terima kasih itu adalah suap.

18. Tradisi pemberian upeti di era kerajaan, yang hadir melalui konsep penundukan dan perwujudan rasa kesetiaan terhadap kerajaan, memiliki relevansi terhadap aktivitas korupsi, kolusi, dan nepotisme yang sedang terjadi di Indonesia.

19. Ketika seorang asisten saya menikah dan mendapat amplop uang lebih dari satu juta rupiah hanya karena ayahnya pensiunan pegawai negeri, sang pengantin baru, yang kebetulan asisten saya, diwajibkan menyerahkan uang itu kepada KPK. Bila tidak, ia dikenakan tindak pidana suap.

20. Jelas ini fakta yang tidak masuk akal, apalagi kebiasaan memberi hadiah di hari perkawinan lazim terjadi.

BACA JUGA  Catatan OC Kaligis: Jessica Wongso Bebas

21. Bahkan saat menghadiri undangan sunatan, biasanya pengunjung, apalagi di Jakarta, memberi bingkisan amplop berisi uang.

22. Nah, kalau si pemberi tiba-tiba ditangkap KPK, padahal peristiwa demikian sudah termasuk kebiasaan, apakah masyarakat setuju bila peristiwa ini dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi?

23. Padahal pemberian hadiah dalam bentuk ‘upeti’ hanya karena upacara perkawinan adalah bagian dari hukum adat yang sampai hari ini masih berlaku.

24. Berangkat dari konsep upeti, berikut pasal-pasal suap dan gratifikasi dalam undang-undang korupsi, yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.

25. Tindak pidana pemberi suap: Pasal 5 dan Pasal 6.

26. Tindak pidana penerima suap: Pasal 11.

27. Tindak pidana gratifikasi: Pasal 12, Pasal 12A, Pasal 12B, Pasal 12C, Pasal 13.

28. Kalau dikaji, ada pemberian gratifikasi atau suap yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pokok/substansi perkara.

29. Dalam kasus pekerjaan Mal Klaten, misalnya, pihak yang mendapat pekerjaan menjamu makan pejabat pemda setelah perjanjian kerja sama ditandatangani. Menjamu makan ini dikategorikan jaksa sebagai suap, walaupun mens rea sama sekali tidak terpenuhi.

30. Yang patut dipertanyakan, mengapa bukan pejabat-pejabat pemda yang ditetapkan sebagai tersangka?

31. Atau, bila perjanjian sewa Mal Klaten dibuat antara pemda dan swasta, mengapa pihak swasta saja yang dijadikan tersangka, padahal pihak swasta tidak pernah mendapatkan somasi dari pemda mengenai kekurangan bayar sewa?

32. Penggunaan dana operasional menteri oleh Jero Wacik, sekalipun saksi Jusuf Kalla dan Susilo Bambang Yudhoyono dalam kesaksiannya di persidangan Jero Wacik bersaksi bahwa dana operasional itu bukan uang negara, tetap saja Jero Wacik divonis korupsi.

BACA JUGA  Catatan Hukum OC Kaligis: Pembangunan Era Jokowi

33. Sebaliknya, gratifikasi Sekjen Mahkamah Konstitusi Janedjri M. Gaffar di saat pimpinannya Prof. Mahfud M. D. (Ketua MK 2008 – 2013), karena gratifikasi itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan pokok perkara, menyebabkan Janedjri M. Gaffar bebas dari sangkaan korupsi.

34. Dari pasal-pasal suap tersebut di atas, ada baiknya mengkaji ulang pasal-pasal tersebut, karena tidak semua pemberian hadiah uang harus dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi, apalagi bila pemberian itu adalah pemberian ‘upeti’ kepada kepala adat atau pimpinan setempat.

35. Kebiasaan memberi uang di saat perkawinan sudah menjadi adat kebiasaan di berbagai daerah.

36. Bahkan sebelumnya, dalam undangan perkawinan misalnya, selain uang, yang diberikan adalah alat-alat rumah tangga seperti piring, gelas, alat masak, dan hadiah-hadiah lainnya.

Jakarta, Kamis, 3 Juli 2025

*Penulis, Prof. Otto Cornelis Kaligis, adalah advokat senior dan pemerhati hukum yang sampai saat ini masih aktif menulis buku-buku tentang hukum


Disclaimer

Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan redaksi. Seluruh isi, opini, dan analisis disampaikan semata-mata untuk tujuan edukatif dan diskusi ilmiah, tanpa bermaksud membenarkan tindakan yang melanggar hukum.