Opini  

Dilema Menyebut Bencana Nasional di Tengah Krisis Ekologi

Dilema Menyebut Bencana Nasional di Tengah Krisis Ekologi
Heru Riyadi, S.H., M.H., Dosen Unpam.(Foto: Sudutpandang.id)

“Menyebut bencana nasional berbasis ekologi bukan sekadar keputusan administratif, melainkan pengakuan negara atas kegagalan tata kelola lingkungan yang telah melampaui ambang aman.”

Oleh Heru Riyadi, S.H., M.H.
Dosen Universitas Pamulang

Terkait musibah atau bencana yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, muncul pertanyaan mendasar, tanpa menerima bantuan internasional, sejauh mana Indonesia mampu berdikari?.

Musibah banjir dan longsor yang terjadi secara meluas dan sistemik merupakan cerita yang berbeda. Ini bukan tsunami, bukan gempa tektonik, dan bukan pula letusan gunung api. Fenomena ini kian sering dikaitkan dengan kerusakan ekologi, deforestasi, perubahan tata guna lahan berskala besar, degradasi daerah aliran sungai, serta aktivitas ekstraktif yang melemahkan daya dukung lingkungan. Pada titik inilah, status “bencana nasional” menjadi isu yang sensitif.

Mengapa demikian?

Menyatakan bencana nasional yang berbasis ekologi berarti negara secara implisit mengakui bahwa tekanan terhadap lingkungan telah melampaui ambang aman. Pengakuan ini bukan semata persoalan administratif, melainkan sinyal adanya masalah struktural dalam tata kelola sumber daya alam. Bagi dunia usaha besar, implikasinya tidak hanya menyentuh reputasi, tetapi juga memunculkan risiko hukum, risiko pasar, dan risiko keberlanjutan model bisnis. Termasuk di dalamnya potensi pembatasan akses terhadap pembiayaan internasional yang semakin sensitif terhadap isu lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG).

BACA JUGA  Loyalitas Menpora Erick Tetap Berada di Barisan Merah Putih

Konteks ini menjadi penting karena Indonesia masih berhadapan dengan sejumlah sengketa perdagangan di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Di antaranya sengketa minyak sawit dengan Uni Eropa yang dikaitkan dengan isu deforestasi dan keberlanjutan, serta sengketa larangan ekspor bahan mentah mineral yang diajukan Uni Eropa dengan Jepang sebagai pihak ketiga. Seluruhnya dipersoalkan dalam kerangka aturan perdagangan global.

Dalam sengketa crude palm oil (CPO), Indonesia selama ini membangun argumen bahwa sawit nasional dikelola secara berkelanjutan dan tidak identik dengan deforestasi sistemik. Jika negara secara resmi menyatakan bahwa bencana besar terjadi akibat kerusakan ekologi, argumen tersebut berpotensi melemah dari dalam. Mitra dagang dapat menggunakan pengakuan tersebut sebagai bukti tambahan bahwa ekspansi lahan memiliki dampak lingkungan yang signifikan.

Hal serupa berlaku terhadap kebijakan larangan ekspor bahan mentah tambang. Kebijakan ini selama ini dibela sebagai strategi industrialisasi dan hilirisasi. Namun, jika aktivitas ekstraktif terbukti berkorelasi langsung dengan bencana ekologis berskala nasional, kebijakan tersebut menjadi lebih mudah dipersoalkan dalam diskursus perdagangan berkelanjutan bukan serta-merta ilegal, tetapi lebih rentan terhadap tekanan dan interpretasi yang merugikan.

BACA JUGA  Politik yang Menyatukan dan Pemilu yang Menggembirakan

Dalam skenario terburuk, risikonya bukan hanya kekalahan argumentasi, melainkan meningkatnya tekanan dagang, pembatasan non-tarif, serta kehati-hatian lembaga keuangan internasional dalam menyalurkan pembiayaan. Dampaknya akan langsung menyentuh kelangsungan bisnis kelompok usaha besar, termasuk konglomerasi yang memiliki kepentingan signifikan di sektor sawit, tambang, dan komoditas ekstraktif. Kelompok-kelompok ini secara historis juga memiliki keterhubungan dengan ekosistem politik melalui berbagai mekanisme yang sah dalam sistem demokrasi.

Dari sisi bantuan internasional, deklarasi bencana nasional tidak serta-merta menjamin dukungan fiskal global. Dalam kasus bencana yang dikaitkan dengan persoalan tata kelola lingkungan, fokus komunitas internasional kerap bergeser dari bantuan darurat ke tuntutan perbaikan struktural dan akuntabilitas. Bantuan kemanusiaan tetap mungkin mengalir, tetapi lebih banyak melalui lembaga multilateral dan organisasi nonpemerintah, bukan melalui skema antarpemerintah (government to government).

Di titik inilah dilema muncul. Menyatakan bencana nasional berbasis ekologi memang penting bagi kejujuran kebijakan dan koreksi jangka panjang, tetapi langkah tersebut membawa konsekuensi ekonomi dan diplomatik yang tidak kecil. Kompleksitas inilah yang menjelaskan mengapa pemerintah kerap mengambil posisi sangat berhati-hati, bahkan cenderung enggan menyebut bencana nasional.

BACA JUGA  Waisak 2569 BE/2025: Merawat Kebhinekaan dengan Kasih Universal dan Perdamaian

Situasinya memang tidak sederhana. Pemerintahan saat ini mewarisi beban utang, struktur ekonomi yang masih bersifat ekstraktif, serta berbagai keputusan masa lalu yang dampaknya baru terasa penuh sekarang dan pada tahun-tahun mendatang. Dalam konteks tersebut, kenyataan bahwa sebagian elite pemerintahan berlatar belakang dunia usaha dan memiliki keterkaitan dengan sumber daya alam menambah lapisan kompleksitas tersendiri. Sementara itu, tanggung jawab pembiayaan penanganan bencana di tengah kondisi APBN yang defisit menjadikan persoalan ini semakin dilematis.

*Penulis adalah Dosen Universitas Pamulang (Unpam)


Disclaimer: Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mencerminkan sikap atau kebijakan institusi tempat penulis bekerja maupun pihak lain mana pun.