JAKARTA, SUDUTPANDANG. ID – Pandemik yang tengah melanda dunia saat ini, berpengaruh terhadap keberjalanan usaha di berbagai bidang, tak terkecuali media. Berbagai cara dilakukan, agar perusahaan bisa tetap maju atau setidaknya bertahan.
Pemotongan gaji, penghilangan fasilitas, pengurangan tenaga lewat program pensiun dini, bahkan PHK dilakukan supaya bisa tetap eksis. Namun, masih ada yang tetap menjaga kualitas dengan mengecharge personalia medianya, untuk meningkatkan kapasitas dan komptensi mereka.
Wakil ketua Dewan Pers, Hendra CH Bangun, menyatakan bahwa mempertahankan jurnalisme berkualitas adalah tugas sulit.
“Seperti mitos Sisifus, yang selalu terpukul mundur ketika bergerak naik sedikit. Hantaman dari agresifnya news aggregator mengambil iklan media massa, semakin mendalamnya intervensi media sosial ke ruang informasi publik, merupakan pukulan ganda yang membuat media konvensional tidak hanya terhuyung-huyung. Tapi rubuh terjerembab. Bahkan mati, “ ujarnya.
Dikatakannya, hanya sedikit media yang berada dalam kuadran ideal, mempertahankan jurnalisme baik dan perusahaan tetap untung, bisa dihitung jari.
“Ada yang setia pada etos jurnalisme tetapi hidup pas-pasan atau cenderung bertahan hidup. Ada yang menyisihkan idealisme dan mengutamakan pendapatan agar neraca perusahaan baik, dan kuadran yang satunya adalah mengedepankan keuntungan tanpa peduli pada kode etik “ jelasnya.
Di Indonesia sendiri, masyarakatnya lebih memilih mendapatkan informasi secara gratis, ketimbang harus membayar agar bisa berlangganan konten premium. Hal ini sesuai dengan hasil riset yang dilakukan Dewan Pers bersama Universitas Prof DR Moestopo (Beragama), Jakarta, beberapa waktu lalu.
“Berbeda dengan di negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, sejumlah negara Eropa, konten berbayar ini disambut baik serta didukung, karena ingin mendapatkan karya jurnalistik bermutu,” katanya.
Kondisi ini tentu saja mempengaruhi pertumbuhan media yang mengedepankan jurnalisme berkualitas, yang harus berjuang ekstra keras mempertahankan idealisme sekaligus mampu bertahan secara ekonomis
Menurutnya, tidak salah kalau citra wartawan atau jurnalis menjadi buruk akibat tampilan sejumlah orang yang mengaku wartawan, namun seperti preman. Ditambah lagi karya jurnalistik mereka yang dijadikan barang dagangan.
Menurut data, sampai November 2021 lalu, Dewan Pers menerima hampir 800 kasus, dengan media yang diadukan sebagian besar adalah media siber. Materi aduan adalah pelanggaran kode etik akibat berita yang tidak berimbang, tidak konfirmasi, opini menghakimi, dan asas praduga tak bersalah, serta tidak akurat. “Kesalahan mendasar, yang tidak akan terjadi apabila wartawan atau editornya memahami dan menguasai kode etik,” tandasnya.