“Laut bukan ladang perebutan kekuasaan. Laut adalah sumber kehidupan, nelayan adalah penjaganya. Jangan biarkan mereka terus berlayar tanpa arah karena pemimpinnya berebut nahkoda di kapal yang sama.”
JAKARTA | Di tengah melimpahnya kekayaan laut Indonesia, para nelayan justru terus hidup dalam kemiskinan. Ironisnya, organisasi yang seharusnya menjadi pelindung dan penggerak kesejahteraan mereka Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) justru dilanda dualisme kepemimpinan yang belum juga berakhir.
Konflik internal ini menyeret HNSI ke pusaran kepentingan politik, meninggalkan nelayan kecil dalam ketidakpastian. Mereka yang seharusnya dibela, kini hanya menjadi penonton dalam perebutan legalitas dan kursi kekuasaan.
Akar Konflik: Dua SK, Dua Nahkoda
Masalah bermula dari diterbitkannya dua Surat Keputusan (SK) berbeda oleh Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) saat itu, Yasonna H. Laoly, menjelang akhir masa jabatannya di 2023.
- Pada 4 November 2023, SK AHU-0001530.AH.01.08 mengesahkan hasil Munas HNSI di Bogor yang memilih Laksamana (Purn.) Sumardjono sebagai Ketua Umum.
Enam hari kemudian, 10 November 2023, SK AHU-0001561.AH.01.08 diterbitkan untuk Munas versi Bali yang mengangkat Herman Herry Adranacus, anggota DPR RI, sesama kader PDIP.
Kebijakan ini melahirkan dualisme organisasi yang membingungkan pengurus daerah dan menyandera masa depan nelayan.
Selama hampir 15 tahun terakhir, HNSI nyaris tak bergerak di bawah kepemimpinan Mayjen (Purn.) Yussuf Solichein, tanpa ada proses regenerasi yang berarti. Padahal di akar rumput, nelayan terus bergulat dengan berbagai persoalan mendesak.
Persoalan itu antara lain, akses terhadap BBM subsidi yang masih minim dan timpang, absennya data nasional nelayan yang valid dan terintegrasi, perlindungan sosial yang belum merata, hingga lemahnya koperasi dan kelembagaan ekonomi di wilayah pesisir.
Upaya revitalisasi sebenarnya telah dilakukan melalui Munas Bogor yang sah menurut AD/ART. Di bawah nahkoda Laksamana (Purn.) Sumardjono, sejumlah program strategis mulai disusun namun semuanya tersandera oleh konflik legalitas dan ego elit.
Kekayaan laut yang tak dinikmati
Indonesia memiliki potensi perikanan tangkap lebih dari 12 juta ton per tahun. Namun, menurut data Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), lebih dari 70 persen nelayan tradisional hidup di bawah garis kemiskinan. Di sisi lain, praktik illegal fishing dari negara asing terus merajalela, sementara pengawasan masih lemah.
Tumpang tindih kebijakan pusat dan daerah, zona tangkap yang tidak jelas, serta ketidakpastian hukum menambah derita. Di tengah problem kompleks ini, konflik internal HNSI hanya memperburuk keadaan
Saatnya mengakhiri dualisme
Menkumham baru, Supratman Andi Agtas, telah menyatakan tidak akan “cawe-cawe”, namun sikap netral tidak boleh diartikan sebagai pembiaran atas kekacauan administratif. Pembatalan SK bermasalah perlu dilakukan demi kepastian hukum dan keberlangsungan program untuk nelayan.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga tidak bisa tinggal diam. Sudah saatnya KKP turun tangan sebagai fasilitator untuk mempersatukan kembali HNSI dalam satu kepemimpinan yang sah, profesional, dan fokus pada nasib nelayan bukan perebutan jabatan.
Laut bukan medan politik
Laut adalah sumber kehidupan. Nelayan adalah penjaganya. Mereka tidak butuh dua nakhoda berebut kemudi, melainkan satu arah yang jelas dan pemimpin yang bekerja untuk mereka.
Nelayan butuh satu suara, bukan dua kepengurusan. Butuh kerja nyata, bukan kompetisi jabatan. Konflik HNSI ini harus segera diakhiri demi nelayan yang selama ini terpinggirkan.
Laut bukan ladang perebutan kekuasaan. Laut adalah sumber kehidupan, nelayan adalah penjaganya. Jangan biarkan mereka terus berlayar tanpa arah karena pemimpinnya berebut nahkoda di kapal yang sama.(**)
*Penulis adalah suara nelayan Indonesia