JAKARTA, SUDUTPANDANG.ID – Kejaksaan Tinggi Banten memeriksa Sekretaris Daerah Al Muktabar dalam perkara dugaan korupsi dana operasional gubernur dan wakil gubernur Banten. Kepala seksi Penerangan Hukum Kejati Banten Ivan Hebron Siahaan mengatakan selain Sekda Banten Al Muktabar, Kepala BPKAD Provinsi Banten Rina Dwiyanti juga diperiksa.
“Sudah kami periksa, keduanya memberikan keterangan Kamis lalu,” kata Ivan. Kejati Banten telah memanggil saksi lain, namun Ivan enggan menyebutkan siapa saja.
Kasus ini berawal dari laporan pengaduan secara online oleh Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia Boyamin Saiman pada 14 Februari 2022. Dia melaporkan dugaan tidak tertib administrasi, tidak kredibel pertanggungjawaban dan dugaan penyimpangan mengarah dugaan korupsi pencairan biaya penunjang operasional gubernur dan wakil gubernur Provinsi Banten 2017-2021.
“Kejati Banten melalui Bidang Intelijen telah melakukan pengumpulan data dan keterangan (Puldata dan Pulbaket),”kata Ivan.
Hasil Puldata dan Pulbaket itu ditemukan biaya penunjang kegiatan operasional yang dipergunakan untuk koordinasi, penanggulangan, kerawanan sosial masyarakat, pengamanan dan kegiatan khusus untuk mendukung pelaksanaan tugas Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Banten Tahun Anggaran 2019 sampai dengan 2020.
“Kegiatan tersebut telah dilakukan, namun belum terdapat dokumen pertanggungjawaban yang dapat diyakini kebenarannya,”kata Ivan.
Kepada Tempo, Boyamin Saiman mengatakan telah melaporkan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Bendahara pencairan dana penunjang operasional gubernur dan wakil gubernur Banten 2017-2021 pada Pemerintah Provinsi Banten.
Dalam pelaporan MAKI ke Kejati Banten itu, Boyamin menyebut biaya penunjang operasional gubernur dan wakil gubernur Provinsi Banten diduga telah dicairkan dan dipergunakan secara maksimal jumlah pencairannya, namun diduga tidak dibuat SPJ yang kredibel sesuai peraturan perundangan. Akibatnya, ada potensi dana itu digunakan untuk memperkaya diri atau orang lain, sehingga diduga melawan hukum dan diduga merugikan keuangan negara.
Dugaan pelanggaran itu diatur Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001: Ayat (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
“Biaya penunjang operasional yang diberikan kepada gubernur dan wakil gubernur besarannya yaitu enam puluh lima persen untuk gubernur dan tiga puluh lima persen untuk wakil gubernur,”kata Boyamin.
Berdasarkan PP 109/2000, pasal 8, besaran biaya penunjang operasional gubernur dan wakil gubernur adalah 0,15 persen dari/ kali Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pendapatan Asli Daerah Provinsi Banten 2017 hingga 2021 berkisar Rp 6 triliun hingga Rp 7 triliun.
Maka terhitung 12 Mei 2017 – Desember 2021, atau selama 4,5 tahun, biaya penunjang operasional Gubernur dan Wakil Gubernur Banten mencapai Rp 57 miliar.
Dia menambahkan besaran kerugian negara dari dana yang dicairkan itu sebesar lebih kurang Rp 40 miliar.
Biaya penunjang operasional Gubernur Banten dan wakilnya ini tidak dapat digolongkan sebagai honorarium atau tambahan penghasilan, sehingga penggunaannya harus dipertanggungjawabkan melalui SPJ yang sesuai peruntukannya. “Patut diduga biaya penunjang operasional tersebut digunakan untuk kepentingan pribadi dan dianggap sebagai honor (take home pay) dan tidak dipertanggungjawabkan dengan SPJ yang sah dan lengkap sehingga dikategorikan sebagai dugaan Tindak Pidana Korupsi,”kata Boyamin.