Hukum  

Hakim Agung Kena OTT Akibat Koruptor Tidak Dimiskinkan

Praktisi Hukum MT Cahyadi, S.Kom., S.H., M.H (Foto: istimewa)

“Hebohnya hanya saat ditangkap OTT, ujung-ujungnya kita hanya bisa mengelus dada saat vonis yang ringan dan adanya remisi-remisi, tidak dimiskinkan sama sekali.”

JAKARTA|SUDUTPANDANG.ID – Praktisi hukum MT. Cahyadi, mengaku prihatin adanya oknum Hakim Agung pada Mahkamah Agung (MA), yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan suap pengurusan perkara di MA. Ia berpandangan kasus seperti ini terus berulang lantaran lemahnya sanksi hukum terhadap pelaku yang terbukti korupsi, sehingga tidak ada efek jera dan pembelajaran sama sekali.

Kemenkumham Bali

“Harus dihukum maksimal dong, jangan lagi ada remisi-remisi dan yang terpenting pelaku yang terbukti dalam kasus tindak pidana korupsi dimiskinkan,” ujar MT. Cahyadi, kepada Sudutpandang.id, Sabtu (24/9/2022).

Menurut Advokat yang akrab disapa Roby, sebenarnya ada salah satu kebijakan yang secara jelas dan lengkap mengatur adanya hukuman tindak pidana korupsi. Kebijakan tersebut bernama Undang-Undang KUHP No.31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

“Kebijakan ini memang dibentuk khusus untuk membuat jera para koruptor. Salah satu pasal yang ada di dalam Undang-Undang KUHP No.31 Tahun 1999 tentang hukuman yang layak diberikan kepada para koruptor,” ujarnya.

“Dalam isi pasal tersebut jelas bahwa pelaku korupsi atau para koruptor akan diberikan sanksi berupa pidana penjara minimal empat tahun maksimal dua puluh tahun dengan denda minimal sebesar dua ratus juta dan maksimal satu miliar. Bahkan yang lebih ekstrem lagi, berdasarkan ayat 2, para koruptor bisa mendapatkan pidana mati, semua tergantung data-data pelaporan dan mekanisme ketika para koruptor beraksi,” sambung Advokat yang dikenal kerap pembela rakyat kecil ini.

Roby mengatakan, jika sanksi hukum masih seperti saat ini, maka peristiwa serupa akan terus berulang.

“Hebohnya hanya saat ditangkap OTT, ujung-ujungnya kita hanya bisa mengelus dada saat vonis yang ringan dan adanya remisi-remisi, tidak dimiskinkan sama sekali,” katanya menyesalkan.

Ia menilai semua tunjangan dan fasilitas negara yang diberikan tidak berpengaruh jika mental aparat penegak hukum masih lemah.

“Menjadi percuma mendapatkan tunjangan ini itu jika mentalnya masih bobrok,” sebut Roby.

Kendati demikian, dirinya masih percaya banyak sosok hakim atau penegak hukum yang berintegritas dan berkinerja baik di Indonesia.

“Semoga benar-benar jadi pembelajaran, bukan sebatas slogan-slogan saja,” harapnya.

Tinggalkan Balasan