JAKARTA, SUDUTPANDANG.ID –Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis 10 bulan penjara kepada Herry Sunanda, terdakwa kasus penipuan proyek peningkatan kualitas pemukiman kumuh di Kabupaten Purworejo, kawasan Kutoarjo. Putusan ini dibacakan oleh majelis hakim yang diketuai oleh Saptono, pada Kamis (17/7/2025).
Dalam sidang putusan, hakim menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana penipuan, sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHP. Tidak ditemukan alasan hukum yang dapat menghapus pertanggungjawaban pidana terhadap perbuatan Herry Sunanda.
Meski vonis telah dijatuhkan, pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU) belum menyatakan sikap akhir. Daru Iqbal Mursid, SH., MH., selaku jaksa dalam perkara ini, menyebut akan melaporkan hasil putusan ke pimpinan terlebih dahulu sebelum menentukan langkah lanjutan.
“Saya pikir-pikir dulu untuk ajukan banding, akan saya laporkan dulu ke atasan,” ujar Daru usai sidang.
Padahal, dalam tuntutannya sebelumnya, jaksa menuntut Herry Sunanda dengan pidana 2 tahun 3 bulan penjara, karena dinilai telah menimbulkan kerugian materiil bagi korban mencapai Rp 3,08 miliar.
Berdasarkan surat dakwaan, kasus ini bermula pada Agustus 2021, saat Herry Sunanda menawarkan kerja sama kepada Okta Kumala Dewi untuk mendanai proyek pemerintah terkait peningkatan kawasan permukiman kumuh di Kelurahan Semawung Daleman, Kecamatan Kutoarjo, Jawa Tengah. Proyek itu masuk dalam program NSUP (National Slum Upgrading Project) untuk tahun anggaran 2021–2022.
Terdakwa mengklaim proyek tersebut dikelola oleh Kementerian PUPR melalui Balai Prasarana Permukiman Wilayah Jawa Tengah, dengan nilai kontrak lebih dari Rp 12 miliar, dan pelaksanaan selama 300 hari kalender. Untuk meyakinkan korban, Herry menunjukkan dokumen perjanjian kontrak palsu, termasuk akta notaris dan surat pembukaan kantor cabang perusahaan bernama PT Putra Sari Rahayu (PT. PSR).
Okta yang dijanjikan modal kembali serta imbal hasil sebesar Rp 2,5 miliar, akhirnya menyerahkan pendanaan kepada Herry secara bertahap melalui transfer bank. Bahkan, kerja sama itu dituangkan dalam Akta Notaris No. 94 pada 30 Agustus 2021.
Dari total dana yang diberikan, korban sempat menerima pengembalian sebesar Rp 3,47 miliar, namun sisa dana senilai Rp 3.084.649.860 tidak pernah dikembalikan oleh terdakwa. Akibatnya, korban melaporkan kejadian ini dan proses hukum pun berjalan hingga ke pengadilan.(04)