Pintu terakhir keadilan dalam perkara ini adalah majelis hakim. Meski belakangan lembaga peradilan mengalami ‘turbulensi’ akibat beberapa kasus hukum yang membelit beberapa oknum hakim, namun kita tetap berharap, dalam kasus ini majelis hakim akan melahirkan putusan landmark decision yang mampu memenuhi dahaga publik akan keadilan, utamanya bagi keluarga korban.
Secara normatif, majelis hakim dimungkinkan secara hukum untuk memutus lebih tinggi, sama atau lebih ringan dari tuntutan JPU. Sebab tidak ada satu pasal pun di dalam KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981) yang mengharuskan hakim memutus pemidanaan sesuai rekuisitor (tuntutan) penuntut umum. Artinya Hakim memiliki kebebasan untuk menentukan pemidanaan sesuai dengan petimbangan hukum dan nuraninya.
Dengan demikian, hakim boleh menjatuhkan vonis lebih tinggi dari tuntutan jaksa sesuai harapan keluarga korban. Dalam praktiknya, banyak kasus, dimana hakim menjatuhkan pidana penjara lebih tinggi dari tuntutan jaksa. Bahkan selain penjara majelis hakim beberapa kali menaikkan jumlah denda atau uang pengganti yang harus dibayarkan terdakwa.
Dalam KUHAP yang dilarang adalah jika hakim menjatuhkan vonis lebih tinggi dari ancaman maksimal yang ditentukan undang-undang. Selain itu yang dilarang KUHAP adalah menjatuhkan jenis pidana yang tidak ada dalam KUHP, jika yang dipakai sebagai dasar adalah KUHAP.
Bagaimana kalau hakim justru memutus lebih ringan?. Secara hukum itu dimungkinkan atas nama kebebasan hakim. Akan tetapi, bila melihat fakta persidangan, peluang ini harusnya tidak dimungkinkan. Sebab kejahatannya terbukti secara terang-benderang dan tidak ada sama sekali unsur meringankan.
Yang pasti, hakim bukanlah corong undang-undang. Hakim juga pemberi makna melalui penemuan hukum atau konstruksi hukum. Dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Karena itu, di balik jubah kemuliaan hakim, kita berharap hakim dapat memutus dengan seadil-adilnya. Apalagi secara transendental, sebagai satu-satunya profesi yang disebut sebagai wakil tuhan dimuka bumi, hakim terikat pertanggungjawaban terhadap Tuhan di dunia dan akhirat. Bahkan Nabi pernah bersabda: ”Hakim itu ada tiga, dua di neraka dan satu di surga: 1) seseorang yang menghukumi secara tak benar padahal ia mengetahui mana yang benar, maka ia di neraka, 2) seorang hakim yang bodoh lalu menghancurkan hak-hak manusia, maka ia di neraka, dan 3) seorang hakim yang menghukumi dengan benar, maka ia masuk surga.” (HR. Tirmidzi No. 1244).
Hadits ini, menurut pakar hadits, al-Munawi, merupakan teguran dan peringatan bagi para hakim agar mereka menjaga kejujuran dan integritas yang tinggi. Apalagi hadits ini, menurut al-Munawi, berbicara pada tataran realitas (bi hasb al-wujud) dan bukan berdasarkan idealitas-formal (la bi hasb al-hukm). Artinya ini adalah gejala yang ditemukan dalam kehidupan nyata.
Karena itu Allah dalam Al-Quran Surat al-Nisa’ (4):58 berfirman: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.”
Perintah Allah ini mengajarkan, agar para penegak hukum, termasuk para hakim, agar memiliki dua sifat dasar, yaitu adil dan amanah. Dua sifat/prinsip dasar ini apabila dijadikan pegangan akan menghantarkan hakim pada derajat kemuliaan dan menjauhkan diri dari jurang kehinaan dan murka Allah. Karena itulah mahkota dan kehormatan hakim diletakkan di putusannya, bukan pada jabatannya.
Dalam kasus FS, yang dibutuhkan adalah kejernihan dan keberanian hakim untuk memutus perkara ini dengan adil dan Amanah. Jangan sampai hakim terpengaruh oleh kekuatan-kekuatan extra judicial dari pihak manapun yang mencoba melumpuhkan integritasnya dalam memutus kasus ini.
Saatnya kita menunggu, semoga putusan terhadap kasus ini dapat mengembalikan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum yang belakangan merosot. Apapun putusan hakim perlu kita hargai sebagaimana asas hukum Res Judicata Pro Veritate Habetur, bahwa putusan hakim harus dianggap benar, sampai ada putusan pengadilan lain yang menganulirnya (melalui upaya hukum).
Mutiara Hikmah Kasus Sambo