“Pemerintah membanggakan program MBG Makanan Bergizi Gratis. Tapi di banyak daerah, belum juga tampak nasi, apalagi lauk bergizi melimpah. Di TV, menterinya bilang program ini akan menyelamatkan generasi emas. Tapi di kenyataan, Bu Kebal masih menyuapi anaknya tempe separuh basi dan bubur encer, sambil berharap besok ada lauk dari tetangga”
Oleh Dr. Kemal H Simanjuntak, MBA
Di sebuah negeri yang katanya kaya raya sumber daya alam melimpah, hutan luas tak bertepi, sawit mengalahkan jutaan lapangan bola, dan nikel disebut-sebut sebagai “emas baru” tinggallah seorang ibu. Ia bukan bagian dari statistik elite, bukan penghuni bilik kekuasaan. Ia hanyalah ibu biasa yang hidup dengan jurus bertahan. Namanya bisa siapa saja: Bu Siti, Bu Lastri, Bu Rika. Tapi di sini, kita panggil dia: Bu Kebal.
Setiap pagi, bukan disambut yoga atau podcast healing, melainkan bunyi minyak goreng yang tinggal setetes dan utang di warung yang makin usang. Ia tak peduli dengan suku bunga, tapi hafal harga cabai di lima tukang sayur. Ia tidak menonton pidato menteri, tapi tahu betul kapan harus hemat gas dan kapan harus ganti lauk dengan garam.
Kata pemerintah, “Ekonomi kita tumbuh positif, Bu.” Tapi di dapurnya, pertumbuhan itu tak terasa. Memang, BPS mencatat ekonomi tumbuh 5,11% pada triwulan I 2024. Tapi angka itu tak bisa jadi bumbu tumis kangkung. Yang terasa justru harga beras yang naik 22% dalam setahun, dan LPG subsidi yang makin sulit dicari.
Katanya lagi, “Kemiskinan menurun.” Tapi di kampung Bu Kebal, anak-anak masih antre makan nasi dan garam. Memang betul, per Maret 2024 angka kemiskinan turun ke 9,03%. Tapi itu tetap berarti 25 juta orang miskin dan itu baru yang tercatat. Yang tak tercatat, siapa yang tahu?
Ketimpangan bukan cuma wacana akademik.
Rasio Gini Indonesia stagnan di angka 0,388. Artinya, yang kaya makin banyak pilihan diet keto, plant-based, atau detox juice. Yang miskin? Masih berharap minyak goreng turun harga.
“Bersabar ya, Bu. Semua demi pembangunan,”begitu kata pejabat. Tapi buat Bu Kebal melimpah, pembangunan itu seperti sinetron: banyak janji, dramatis, dan ending-nya bisa ditebak. Jalan diaspal menjelang pemilu, tapi rusak kembali begitu suara masuk kotak.
Pemerintah membanggakan program MBG Makanan Bergizi Gratis. Tapi di banyak daerah, belum juga tampak nasi, apalagi lauk bergizi. Di TV, menterinya bilang program ini akan menyelamatkan generasi emas. Tapi di kenyataan, Bu Kebal masih menyuapi anaknya tempe separuh basi dan bubur encer, sambil berharap besok ada lauk dari tetangga.
Ia pernah ikut pelatihan UMKM, lengkap dengan snack kotak dan sertifikat. Tapi bantuan modal tak pernah datang. Seperti yang dikritik ekonom Faisal Basri, “Program pengentasan kemiskinan kita lebih suka bikin acara, bukan menyelesaikan akar masalah,”
Di kampung sebelah, tambang nikel menyisakan luka: lubang menganga, sungai keruh, sawah tak bisa ditanami. “Pembangunan yang merusak lingkungan bukan kemajuan, itu kemunduran dengan cat semprot,” kata Bhima Yudhistira dari CELIOS. Dan ketika publik menyoroti rusaknya hutan dan laut Raja Ampat karena proyek tambang, pemerintah cepat menepis. Menteri Investasi Bahlil Lahadalia bilang, “Saya jamin tidak ada masalah di Raja Ampat.”
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar, bahkan memperkuat pernyataan itu dengan mengatakan, “Tidak ada masalah di Raja Ampat. Semua kegiatan di sana berjalan sesuai aturan dan tidak ada pelanggaran lingkungan.”
Namun, laporan lapangan yang melimpah, sorotan media, dan kesaksian warga lokal menceritakan hal berbeda hutan adat digunduli, laut tercemar limbah, dan masyarakat adat kehilangan ruang hidup. Di balik narasi “semua baik-baik saja,” ada jejak luka ekologis yang tertinggal.
Nama Koperasi Merah Putih ikut mencuat dalam polemik ini sebuah koperasi yang disebut-sebut sebagai mitra pengelolaan tambang di wilayah konservasi. Didirikan dengan semangat nasionalisme dan “kebangkitan ekonomi rakyat,” koperasi ini justru diduga menjadi kendaraan elite untuk memuluskan penguasaan sumber daya. Yang ironis, koperasi ini bukanlah satu-satunya.
Secara nasional, pemerintah menargetkan pembentukan 80 ribu unit koperasi Merah Putih secara sporadis di seluruh Indonesia. Sebagian disebut-sebut untuk memperkuat ekonomi desa dan lokalitas, namun sebagian lain dikaitkan dengan pengelolaan tambang, konsesi, dan proyek strategis yang meresahkan.
Alih-alih koperasi yang tumbuh dari bawah, banyak yang muncul top-down, administratif, dan nyaris tak menyentuh kebutuhan rakyat kecil. Ketika negara bilang, ‘Kami dengar suara rakyat,’ Bu Kebal hanya tersenyum tipis. Ia tahu, suara rakyat itu seperti notulen rapat dicatat, tapi belum tentu dibaca.
Dia sudah terlalu sering datang ke Musrenbang Desa, menyampaikan usulan melimpah hanya untuk mendengar kalimat langganan “Akan dipertimbangkan tahun depan.”
Ia tak lagi marah-marah butuh energi, dan energinya sudah habis untuk antre BPJS, cari gas, dan mendampingi anak sekolah daring pakai HP pinjaman. Ia juga tak lagi menangis air matanya sudah kering bersama anggaran yang katanya “pro rakyat.” Tiap Agustus, ia tetap beli bendera kecil. Tiap upacara, ia tetap berdiri. Ia mencintai negeri ini, meski sering dikecewakan.
“Seperti mencintai mantan yang tukang ghosting,” katanya, sambil tertawa pahit.
Bu Kebal bukan lambang pasrah. Ia lambang realitas. Ia tahu rakyat kecil sering dijadikan properti panggung kampanye. Waktu kampanye, mereka dicari. Setelah menang, mereka dilupakan. Bahkan datanya pun sering salah input.
Jika suatu hari negeri ini benar-benar makmur, dan para elite berdansa dalam konferensi visi 2045 sambil memamerkan angka makroekonomi, tolong jangan lupakan ibu ini. Ia tak minta istana. Ia hanya ingin harga bahan pokok tak melambung. Ia hanya ingin program Makanan Bergizi Gratis benar-benar sampai ke piring anaknya.
Ia hanya ingin suaranya tak cuma jadi grafik PowerPoint. Sebab di balik daster lusuh dan senyum lelahnya, ada pelajaran ekonomi yang lebih nyata dari pidato siapa pun: bahwa pertumbuhan tanpa pemerataan adalah kemewahan yang tidak adil dan mungkin, jika negara ini ingin benar-benar belajar, mulailah dari mendengar ibu-ibu seperti Bu Kebal yang tak punya akses ke ruang rapat, tapi selalu jadi korban dari keputusan yang dibuat di dalamnya.
Penulis Dr. Kemal H Simanjuntak, MBA adalah Konsultan Manajemen | GRC Expert | Asesor LSP Tatakelola, Risiko, Kepatuhan (TRK).