“Data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sepanjang 2024 menyebutkan total transaksi mencurigakan mencapai Rp1.459 triliun. Sekitar Rp984 triliun diduga kuat terkait korupsi.”
Oleh : Dr Kemal H Simanjuntak, MBA
Indonesia pernah bermimpi menjadi kekuatan besar dunia pada 2045. Visi “Indonesia Emas 2045” didengungkan sebagai simbol harapan saat republik ini berusia satu abad. Namun kini, harapan itu berubah menjadi kecemasan.
Visi emas tampak seperti ilusi, ketika tanda-tanda negara gagal mulai mengintip dari balik megahnya proyek-proyek mercusuar. Kita menghadapi apa yang layak disebut sebagai “Indonesia Cemas 2045.”
Korupsi Menggerogoti Fondasi Bangsa
Data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sepanjang 2024 menyebutkan total transaksi mencurigakan mencapai Rp1.459 triliun. Sekitar Rp984 triliun diduga kuat terkait korupsi.
Ironisnya, di tengah kemiskinan rakyat, para elite justru berlomba-lomba menggarong uang negara. Sektor-sektor vital seperti tambang dan energi pun tak luput. Kasus korupsi PT Timah merugikan negara Rp300 triliun (2015-2022), dan skandal Pertamina Patra Niaga menambah luka dengan kerugian Rp193,7 triliun (2018-2023).
Laporan ini bukan sekadar angka, tetapi potret nyaring dari pembusukan sistemik. Uang yang seharusnya membangun sekolah, rumah sakit, dan infrastruktur publik justru melayang ke kantong pribadi. Negara kehilangan daya untuk melindungi, mengatur, dan menyejahterakan rakyatnya ciri klasik negara yang sedang menuju kegagalan.
Bonus Demografi Tanpa Arah
Alih-alih menjadi berkah, bonus demografi justru bisa menjadi bencana jika tidak diiringi kebijakan tepat. CNBC Indonesia mencatat bahwa tingkat pengangguran pemuda (usia 15-24) tetap tinggi. Lulusan perguruan tinggi pun banyak yang bekerja di sektor informal atau tak sesuai bidang. Pendidikan tak sinkron dengan dunia kerja. Di tengah perkembangan teknologi, banyak anak muda malah kehilangan arah, tertinggal dan frustrasi.
Jika tak segera ditangani, bonus demografi akan menjelma menjadi beban demografi—jutaan pemuda marah dan menganggur, yang bisa menjadi bara dalam sekam instabilitas sosial.
Perjudian Digital dan Runtuhnya Etika Sosial
Transaksi judi daring tahun 2024 mencapai Rp359,81 triliun. Ini bukan hanya urusan moral, tapi alarm tentang sistem hukum dan literasi digital kita. Ketika pemerintah sibuk mengurus citra, rakyat mencari pelarian dari tekanan ekonomi lewat judi dan pinjol ilegal. Keluarga-keluarga hancur. Generasi muda kehilangan orientasi nilai.
Kritik Dibungkam, Rakyat Miskin Dibodohi
Fenomena rakyat miskin yang justru membela para pejabat korup bukan semata soal kebodohan, tetapi hasil dari matinya pendidikan kritis dan dominasi politik pencitraan. Kita memasuki era di mana kesadaran kolektif ditumpulkan secara sistematis. Mereka yang mengkritik dianggap pengganggu, bahkan dihujat sesama warga.
Celakanya, ini diperparah oleh munculnya elite-elite baru yang tidak memiliki integritas, hanya pandai bermanuver di media sosial, tetapi miskin etika dan arah kebijakan. Demokrasi menjadi panggung teater kosong, di mana pemilu tak lagi menawarkan pilihan bermakna.
Indonesia di Jalur Negara Gagal
Menurut Fragile States Index 2024, skor Indonesia memburuk dalam kategori pelayanan publik, kepercayaan terhadap lembaga negara, serta tekanan ekonomi. Kemunduran ini konsisten sejak pandemi dan tidak menunjukkan tanda-tanda pemulihan signifikan.
Dalam studi World Justice Project, skor indeks supremasi hukum Indonesia juga stagnan menunjukkan lemahnya penegakan hukum dan meluasnya impunitas.
Jika ini berlanjut, kita menuju kondisi “quasi state” negara yang tampak berfungsi, tapi rapuh di dalam.
APA YANG HARUS DILAKUKAN?
Visi Indonesia Emas 2045 tidak akan terwujud hanya dengan mimpi dan retorika. Kita butuh langkah konkret, menyentuh akar permasalahan:
1.pemberantasan Korupsi Radikal dan Sistemik.
Tidak cukup mengganti orang. Kita perlu reformasi menyeluruh lembaga hukum, menghidupkan kembali independensi KPK, dan memperkuat perlindungan terhadap whistleblower.
2. Investasi Besar pada Pendidikan dan Vokasi.
Anak muda harus dipersiapkan dengan keterampilan abad ke-21. Kurikulum harus terhubung dengan realita kerja dan teknologi. Pendidikan karakter dan logika kritis perlu dikembalikan sebagai tulang punggung
3. Penegakan Hukum Tanpa Pandang Bulu
Tidak boleh ada orang yang terlalu kuat untuk dihukum. Ini prasyarat dasar negara hukum. Rakyat harus kembali percaya bahwa hukum bekerja untuk semua.
4. Pemulihan Etika dan Integritas dalam Politik
Partai politik mesti direformasi. Kita butuh regenerasi elite yang menjunjung integritas, bukan sekadar selebriti digital. Pemilu harus menghasilkan negarawan, bukan pedagang suara.
5. Literasi Digital dan Kontrol Sosial atas Judi dan Pinjol
Negara tak boleh abai. Judi daring bukan hanya urusan moral, tapi ancaman ekonomi dan sosial. Harus ada komitmen nyata, bukan hanya pemblokiran sementara.
6. Revitalisasi Peran Masyarakat Sipil
Gerakan rakyat, ormas, dan pers harus kembali diperkuat. Ruang sipil jangan direpresi. Rakyat harus dibina menjadi kritis, bukan dibentuk jadi pasif dan konsumtif.
Dari Cemas kembali ke Emas ?
Masih ada waktu. Tapi waktu kita tak panjang. Indonesia sedang berjalan di atas garis tipis antara kemajuan dan kehancuran. “Indonesia Cemas 2045” bukan nasib, melainkan peringatan. Jika tak segera berubah arah, kita akan tiba bukan di negeri emas, melainkan di tanah runtuh. Negara gagal bukan hanya teori akademik ia bisa menjadi kenyataan jika bangsa ini terus mengabaikan alarm yang berbunyi dari segala arah.
Mari sadari: harapan masa depan tak akan pernah bisa dibangun di atas pondasi ketidakadilan, pembodohan, dan keserakahan. Jika benar kita ingin Indonesia Emas, maka sekaranglah saatnya untuk takut. Karena hanya bangsa yang cemas yang akhirnya akan benar-benar waspada dan bertindak.
*Penulis Kemal H Simanjuntak adalah Konsultan Manajemen | GRC Expert | Asesor LSP Tatakelola, Risiko, Kepatuhan (TRK)