JAKARTA, SUDUTPANDANG.ID – Pakar Keamanan dan Ketahanan Kesehatan Universitas Griffith, Australia, dr Dicky Budiman, M.Sc.PH., PhD (cand.) mengimbau pemerintah Indonesia untuk tidak abai terhadap situasi di China dan salah dalam menerapkan kebijakan pengetatan menghadapi pandemi COVID-19.
“Apakah kondisi di China berpotensi memberikan dampak secara global? Iya, saya mengingatkan bahwa kalau situasi di China gagal diantisipasi atau dimitigasi, artinya dunia gagal menolong China dan dunia akan juga menghadapi konsekuensi yang sangat buruk,” kata epidemiolog itu saat dikonfirmasi dari Jakarta, Jumat (23/12/2022).
Ia menyatakan dalam diskusi keamanan dan ketahanan kesehatan global yang diikutinya, sekitar 164 juta orang di China diketahui mengalami diabetes sebagai salah satu faktor risiko infeksi COVID-19 yang buruk.
Kemudian, sekitar 8 juta orang berusia 80 tahun ke atas yang belum pernah divaksinasi. Akibatnya, angka kematian di China diprediksi bisa mencapai 1,5 juta dalam satu waktu.
Ditegaskannya bahwa tingkat kekebalan yang diinduksi hingga kampanye vaksinasi November 2022 tidak cukup untuk mencegah gelombang Omicron.
Dampaknya fasilitas kesehatan mendapat beban besar termasuk permintaan puncak unit perawatan intensif (ICU) yang diproyeksikan sebesar 15,6 kali kapasitas yang ada dan berpotensi menyebabkan sekitar 1,55 juta kematian.
Berbagai layanan kesehatan lumpuh dan membuka potensi munculnya sub varian baru yang lebih mematikan dan kebal terhadap antibodi. Apalagi China mengandalkan produksi vaksin produksi lokal yang masih dipertanyakan persentase efikasinya, dibandingkan dengan buatan barat.
“Efektivitas melawan sub varian barunya jadi dipertanyakan. Selain itu, dia menolak memakai vaksin yang dianggap produksi barat secara ilmiah terbukti lebih efektif menghadapi sub varian terbaru. Karenanya terjadi keterbatasan pada riset efektivitas vaksin melawan sub varian terbaru itu,” katanya.
Sebagai mitra penting Indonesia dalam banyak aspek, ia menyarankan pemerintah membantu China melalui sumbangan, baik berupa obat-obatan, alat kesehatan atau vaksin serta tenaga kerja karena perburukan yang terjadi.
Lebih lanjut ia memperkirakan, jika sebenarnya peningkatan kasus di China sudah terjadi lebih dahulu dibandingkan lockdown yang diterapkan pemerintahnya.
Kemudian terkait dengan kebijakan Zero COVID-19 sendiri di China, ia menilai jika penerapannya belum memberikan dampak optimal.
Kebijakan Zero COVID-19 pemerintah China, kata dia, sebenarnya cukup efektif, terutama dalam membendung laju kasus ketika ledakan kasus di awal karena memberi keleluasaan waktu untuk menahan potensi ledakan besar pada penduduknya sangat besar.
Sayangnya, kata dia, kebijakan Zero COVID-19 di China itu menjadi tidak realistis untuk diterapkan dalam jangka panjang.
“Karena menentang kodrat biologis dari virus yang terus berkembang di saat antibodi banyak warganya tidak kebal terhadap infeksi akibat rendahnya vaksinasi,” katana.
“Sekali lagi Zero COVID-19 ini pendekatannya lebih bersifat politik bukan saintis,” tambahnya.
Oleh karenanya dalam menyambut libur Natal dan Tahun Baru 2023, ia meminta semua pihak untuk segera melengkapi dosis vaksinasi dan menaati semua kebijakan serta protokol kesehatan yang berlaku, guna melewati waktu libur dengan aman, nyaman dan terhindar dari kenaikan kasus.
“Saya memperkirakan bahwa upaya melindungi individu yang rentan dengan memastikan aksesibilitas terhadap vaksin dan terapi antiviral, dan mempertahankan penerapan intervensi non-farmasi dapat cukup untuk mencegah beban sistem perawatan kesehatan yang berlebihan, sehingga faktor-faktor ini harus menjadi titik penekanan dalam kebijakan mitigasi wabah saat ini,” kata Dicky Budiman. (02/Ant)