JAKARTA, SUDUTPANDANG.ID – Kegagalan PPP meraup suara yang cukup untuk lolos ke DPR RI menjadi perbincangan publik.
Banyak kalangan yang menyayangkan PPP sebagai partai berpengalaman gagal lolos, padahal memiliki basis yang cukup kuat di sejumlah daerah.
Seperti disampaikan Ubaidillah Karim, Pemerhati Politik dan Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Hukum dan Konstitusi (LKSHK), Selasa (18/6).
Menurutnya, selama ini PPP memang dinilai lambat melakukan perubahan dan bertransormasi. Partai ini dianggap sebagai partai tua yang kesulitan menggaet milenial dan pemilih baru.
Selain itu, PPP juga tidak bisa merangkul kalangan perempuan yang merupakan golongan pemilih terbesar di Pemilu lalu.
Bahkan tokoh-tokoh perempuan PPP yang sudah lama berkader di partai Islam ini tidak bisa meraup suara dari kalangan perempuan.
Apalagi saat ini memang sulit mencari tokoh perempuan di PPP.
Contoh kagagalan tokoh perempuan PPP yang gagal meraup suara kalangan kaum Hawa adalah Fernita Jubahar Amirsyah.
Fernita bisa menjadi contoh karena ia merupakan tokoh perempuan PPP yang dalam sejumlah kesempatan tampil di media. Apalagi ia memang cukup dikenal di kalangan internal partai.
Fernita saat ini masih menjabat sebagai Sekretaris Majelis Pakar DPP PPP. Fernita juga sempat menjabat Wakil Ketua Umum di bawah pimpinan M. Romahurmuziy yang kemudian dilanjutkan di zaman Plt Suharso Monoarfa.
Sebelumnya ia tercatat sebagai Ketua Departemen hingga menjadi Ketua DPP di era kepemimpinan Suryadharma Ali. Di pemerintahan sempat menjabat sebagai staf khusus Menteri Agama, dan di organisasi sayap partai sempat menjabat Plt Ketua Umum PP Wanita Persatuan Pembangunan (WPP).
Namun sayang, nama besar Fernita hanya mendapatkan 2.909 suara di Pemilu 2024 dari Dapil Banten III (Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan).
Suara Fernita yang maju untuk DPR RI bahkan kalah dibanding Caleg DPRD.
Kegagalan Fernita di Banten III juga merupakan cerminan PPP yang tidak bisa mencari suara dari kalangan perempuan.
Padahal, potensi kaum perempuan cukup besar. Hanya saja, potensi yang dimilikinya tidak bisa dimaksimalkan.
Kuat jaringan di kalangan perempuan ternyata tidak cukup untuk menarik simpati pemilih termasuk suara perempuan.
Fenomena di PPP ini menunjukkan anomali suara tidak bisa mengkonsolidasi segmen suara perempuan.
Biasanya, caleg yang memiliki komunitas perempuan mendapatkan limpahan suara maksimal. Contohnya caleg-caleg yang berlatarbelakang ormas perempuan seperti Fatayat, Muslimat, Aisyiah dan organisasi perempuan mampu mendulang suara maksimal.
Namun sayang hal itu tidak tercermin dalam sejumlah kader perempuan PPP. (05)