“Kenali pula ciri-ciri investasi ilegal, di antaranya selalu menjanjikan keuntungan yang tidak wajar dalam waktu cepat serta menjanjikan bonus dari rekrutmen anggota, keuntungan investasi fixed.”
JAKARTA, SUDUTPANDANG.ID – Praktisi yang juga advokat spesialis masalah investasi bodong, Oktavianus Setiawan, SH, CMED, CMLC, CRIP, mengungkapkan bahwa berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kerugian global Indonesia akibat kejahatan itu sudah menyentuh angka fantastis, yakni sebesar Rp139 triliun pada periode 2017-2023, di mana nilainya setara dengan membangun 12.600 sekolah baru atau membangun 504 rumah sakit (RS) baru.
“Nilai (kerugiannya) juga setara dengan membangun 1.260 km jalan tol yang setara dengan perjalanan Medan sampai Palembang, dan 3.200 km rel kereta api baru, setara perjalanan dari Balikpapan-Pontianak,” katanya dalam seminar nasional bertajuk “Mewaspadai Kejahatan Investasi Bodong“, sebagai salah satu rangkaian acara HUT ke-9 media Sudut Pandang, di Candi Bentar Convention Hall Putri Duyung,
Taman Impian Jaya Ancol Jakarta, Sabtu (24/8/2024).
Dalam seminar yang didukung sejumlah pihak, yakni Kantor Dagang dan Ekonomi Taipei (The Taipei Economic and Trade Office/TETO), yakni kantor perwakilan pemerintahan Republic of China (Taiwan) di Indonesia, Paragon Group, FIFGroup, Lezza, Alfamart, Aqua, Kantor Firma Hukum Jhon Panggabean, Kantor Firma Hukum M Yuntri, PT Banten West Java dan PT Freeport Indonesia itu.
Okta panggilan karibnya mengungkap atas kondisi tersebut, sebanyak 1.218 entitas investasi bodong telah diblokir OJK hingga awal 2024.
Advokat muda ini kemudian memaparkan bahwa fenomena korban investasi ilegal atau bodong itu adalah dampak pandemi COVID-19 (2020) yang menyebabkan akibat serius di berbagai sektor, terutama ekonomi.
Peningkatan pengangguran dan penutupan bisnis memaksa masyarakat mencari sumber penghasilan alternatif, seperti “lockdown“, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dan pembatasan 50:50.
Dampak pandemi, katanya menegaskan, menyebabkan peningkatan aktivitas investasi ilegal karena masyarakat mencari cara cepat untuk mendapatkan keuntungan.
“Fenomena investasi ilegal meningkat karena ketidakpahaman masyarakat mengenai investasi yang aman, lalu dimanfaatkan pelaku kejahatan itu menggunakan momentum COVID-19,” katanya.
Berbagai kasus
Ia merinci bahwa kasus investasi bodong sejak awal 2022, yang sudah diputuskan pengadilan, yakni investasi bodong Fahrenheit, dengan kerugian mencapai Rp 400 miliar dengan korban sebanyak 1.400 orang, investasi bodong DNA PRO (kerugian Rp500 miliar, total korban 3.000 orang, investasi bodong FIN888 (kerugian Rp200 miliar, total korban 600 orang) dan investasi bodong Evotrade (kerugian Rp150 miliar, total korban 1.200 orang).
Sedangkan kasus yang masih berjalan di kepolisian dan persidangan, yakni investasi bodong Net89 (kerugian Rp900 miliar, total korban 5.000 orang) yang kasusnya yang sedang dikejar untuk P-21.
Lalu, kasus investasi bodong ATG, (kerugian Rp241 miliar, total korban 300 orang) yang masih kasasi.
Untuk hasil positif yang sudah tercapai kata dia, semula sitaan selalu disita negara, namun kini asset sitaan dikembalikan kepada para korban (Fahrenheit, Viral Blast, Evotrade, Fin888, DNA PRO)
Perlindungan Hukum
Oktavianus juga mengulas soal regulasi OJK yang mengatur perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan.
Namun, ada kelemahan pengawasan, di mana banyak oknum memanfaatkan kesempatan untuk keuntungan pribadi karena pengawasan yang lemah, baik dari PPATK, Menkominfo, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), OJK, Satgas Waspada Investasi (SWI), Kementerian Perdagangan dan kepolisian
Ia mengingatkan akan pentingnya edukasi, di mana masyarakat perlu diedukasi tentang risiko dan mekanisme investasi untuk menghindari penipuan.
“Tidak ada ingin kaya secara instan, easy money high risk (uang mudah, risiko tinggi),” katanya.
Simpulannya, kata dia, masyarakat harus lebih berhati-hati, yakni mempertimbangkan dengan yang disebutnya dengan “legal” dan “logic“, sehingga jangan mudah tergiur sebelum mulai berinvestasi.
“Kenali pula ciri-ciri investasi ilegal, di antaranya selalu menjanjikan keuntungan yang tidak wajar dalam waktu cepat serta menjanjikan bonus dari rekrutmen anggota, keuntungan investasi ‘fixed‘,” katanya.
Sedangkan untuk hukuman kepada pelaku harus berat agar menimbulkan efek jera dan juga tidak hanya disita aset hasil kejahatannya, tapi juga diikuti perampasan asset pelaku.
Karena itu, ia menyarankan agar dilakukan penguatan regulasi dan pengawasan antar-instansi.
Pada saat bersamaan, edukasi publik yang intensif tentang investasi yang aman dan risiko investasi ilegal juga mesti ditingkatkan.
“Yakni adanya kerja sama antara pemerintah, lembaga pengawas, dan masyarakat untuk melawan praktik investasi ilegal itu,” demikian Oktavianus Setiawan.(Red/02)