Opini  

Kedaulatan Rakyat di Persimpangan Jalan: Mengapa Demokrasi Kita Perlu Diselamatkan dari Oligarki Politik?

Kedaulatan Rakyat di Persimpangan Jalan: Mengapa Demokrasi Kita Perlu Diselamatkan dari Oligarki Politik?
Heru Riyadi, S.H., M.H.(Foto:Dok.Pribadi)

“Rakyat adalah pemilik sah negara ini, dan demokrasi hanya akan hidup jika kekuasaan benar-benar berada di tangan rakyat.”

Oleh Heru Riyadi, S.H., M.H.

Kedaulatan rakyat dalam demokrasi Indonesia bukan sekadar jargon konstitusional yang indah dibaca, tetapi sebuah prinsip yang seharusnya menjadi ruh kehidupan berbangsa dan bernegara.

Namun, realitas politik hari ini menunjukkan bahwa prinsip itu sering kali tereduksi menjadi sekadar formalitas. Yang seharusnya menjadi “kekuasaan tertinggi di tangan rakyat” justru semakin menjauh dari makna sejatinya.

Sebagai Dewan Penasihat Asosiasi Media Konvergensi Indonesia (AMKI) Pusat dan LKBH PWI Pusat, serta seorang akademisi hukum, saya memandang kondisi ini sebagai tanda bahaya bagi masa depan demokrasi kita.

Demokrasi tanpa kedaulatan rakyat sejatinya hanyalah panggung politik yang dikendalikan oleh segelintir elite. Artikel ini sekaligus merupakan tanggapan atas berita di mitrapol.com berjudul “Kedaulatan Rakyat Dibajak Partai Politik: Mengapa Indonesia Sulit Menjadi Lebih Baik?” yang tayang pada 9 Agustus 2025, di mana saya merasa perlu memberikan pandangan hukum dan demokrasi yang lebih mendalam.

Kedaulatan Rakyat: Makna dan Prinsip Dasar

Kedaulatan rakyat adalah gagasan bahwa rakyat adalah sumber dan pemegang kekuasaan tertinggi negara. Dalam sistem demokrasi, hal ini diwujudkan melalui mekanisme pemilihan umum, partisipasi politik, dan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan.

Ada tiga pilar utama yang menopang kedaulatan rakyat:

  1. Demokrasi – hak untuk memilih dan dipilih, menjamin bahwa setiap warga negara memiliki suara dalam menentukan arah kebijakan.

  2. Partisipasi –  keterlibatan aktif masyarakat dalam proses pengambilan keputusan publik.

  3. Akuntabilitas – kewajiban pemerintah untuk bertanggung jawab dan transparan di hadapan rakyat.

BACA JUGA  Surat Terbuka OC Kaligis ke Ketua MA: Jiwasraya Perampok Uang Rakyat

Sayangnya, pilar-pilar ini semakin rapuh ketika sistem politik tersandera oleh kepentingan oligarki partai politik.

Ketika Kedaulatan Rakyat Direduksi Menjadi Hak Memilih Lima Tahun Sekali

Fenomena yang kita hadapi saat ini adalah degradasi makna kedaulatan rakyat. Pemilu sering kali hanya menjadi pesta demokrasi yang penuh euforia sesaat, tetapi tidak benar-benar memberi rakyat kendali atas arah negara.

“Rakyat hanya dijadikan komoditas suara setiap lima tahun sekali, sementara kebijakan yang dihasilkan kerap lebih berpihak pada kepentingan elite,” tegas saya.

Hal ini sejalan dengan fenomena yang disebut “partai-okrasi”, di mana partai politik menjadi satu-satunya pintu masuk kekuasaan, tetapi di dalamnya akses terhadap pencalonan dan pengambilan keputusan justru dikuasai oleh kelompok terbatas.

Bahaya Oligarki Politik terhadap Demokrasi

Dominasi oligarki politik bukan hanya mengancam kualitas demokrasi, tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap sistem itu sendiri.

Beberapa dampak nyata yang saya amati:

  • Terhambatnya regenerasi kepemimpinan karena kandidat potensial tanpa modal finansial atau kedekatan dengan elite sulit mendapat tempat.

  • Pengambilan kebijakan yang elitis, lebih mengutamakan kepentingan kelompok tertentu dibanding rakyat banyak.

  • Menurunnya partisipasi politik substantif, karena masyarakat merasa suaranya tidak berpengaruh signifikan terhadap perubahan.

BACA JUGA  Konstruksi Baru Jabatan Fungsional

Mengembalikan Kedaulatan Rakyat ke Jalurnya

Kedaulatan rakyat tidak akan kembali ke jalurnya hanya dengan mengeluh atau menyalahkan pihak tertentu. Diperlukan langkah konkret yang melibatkan semua elemen bangsa.

Beberapa langkah yang saya tawarkan:

  1. Reformasi Sistem Kepartaian
    Partai politik harus membuka diri terhadap kaderisasi yang sehat dan transparan, bukan hanya memprioritaskan kandidat berdasarkan kekuatan modal.

  2. Penguatan Mekanisme Check and Balance
    Peran lembaga pengawas independen, media, dan masyarakat sipil harus ditingkatkan agar setiap kebijakan pemerintah selalu berada di bawah sorotan publik.

  3. Edukasi Politik Berkelanjutan
    Rakyat perlu memahami hak dan kewajiban politiknya, sehingga tidak mudah termanipulasi oleh janji-janji populis yang kosong.

  4. Pemanfaatan Teknologi untuk Partisipasi Publik
    Platform digital dapat menjadi sarana efektif untuk menyerap aspirasi rakyat secara langsung dan cepat.

Partisipasi Aktif: Kunci Menjaga Demokrasi

Kedaulatan rakyat bukan hanya tentang memilih di bilik suara. Ia adalah proses panjang yang menuntut partisipasi aktif masyarakat dalam kehidupan politik sehari-hari. Diskusi publik, aksi damai, petisi, hingga keterlibatan dalam forum musyawarah lokal adalah wujud konkret rakyat memegang kendali.

“Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang partisipatif, di mana rakyat tidak hanya menonton tetapi ikut bermain dalam proses politik.”

Demokrasi Harus Dikembalikan kepada Pemiliknya

BACA JUGA  Jokowi, Hariman dan Malari

Kedaulatan rakyat dalam demokrasi Indonesia adalah pondasi yang tidak boleh dibiarkan retak. Jika kita membiarkan oligarki politik terus mengikisnya, maka kita sedang membangun negara di atas pasir yang mudah runtuh.

Oleh karena itu, saya menyerukan kepada seluruh warga negara, partai politik, lembaga negara, dan media untuk bersama-sama menjaga dan mengembalikan makna sejati kedaulatan rakyat.

“Rakyat adalah pemilik sah negara ini, dan demokrasi hanya akan hidup jika kekuasaan benar-benar berada di tangan rakyat.”


*Penulis Heru Riyadi adalah Dewan Penasihat Asosiasi Media Konvergensi Indonesia (AMKI) Pusat dan Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) PWI Pusat serta Dosen di Fakultas Hukum Universitas Pamulang, Banten.


Disclaimer:
Tulisan ini adalah opini pribadi penulis dan tidak mewakili redaksi. Pembaca diharapkan menilai informasi ini secara objektif.