Kemal H Simanjuntak: Tangga Oleng Prabowo dan Nasib Bangsa

Prabowo
Kemal H Simanjuntak adalah Konsultan Manajemen | GRC Expert | Asesor LSP Tatakelola, Risiko, Kepatuhan (TRK).

“Gaya komunikasi Prabowo pun kontras dengan Jokowi. Jika Jokowi dikenal hemat bicara, Prabowo lebih teatrikal. Ia sering melontarkan janji bombastis seperti makan siang gratis untuk seluruh pelajar dan program hilirisasi besar-besaran”

Oleh: Dr.Kemal H Simanjuntak, MBA

Dalam satu dekade terakhir, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) berdiri seperti istana megah di atas puncak gunung. Terlihat kokoh dari kejauhan, dikagumi karena gebrakan infrastruktur, lonjakan investasi, dan stabilitas politik. Namun fondasi prestasi itu ternyata ibarat gunung es sebagian besar tersembunyi dan membeku di bawah permukaan.

Ketika masa jabatan Jokowi selesai, lapisan es mulai mencair. Dan yang mencair bukan hanya salju, tetapi juga ilusi. Maka tampaklah berbagai kebobrokan struktural yang selama ini terbungkus narasi keberhasilan utang publik membengkak, ketimpangan sosial kian menganga, meritokrasi melemah, dan korupsi kembali bercokol dalam bentuk yang lebih lihai.

Tak dapat dipungkiri, ada capaian konkret dalam pemerintahan Jokowi. Jalan tol mengular dari ujung Sumatra hingga ke Papua, konektivitas membaik, dan digitalisasi meluas ke desa-desa. Tetapi kemajuan infrastruktur itu tidak serta- merta menciptakan pemerataan. Pembangunan terlalu terfokus pada proyek mercusuar tanpa reformasi mendasar pada sistem hukum, pendidikan, dan pelayanan publik.

Utang pemerintah per Maret 2025 telah menembus Rp8.300 triliun atau hampir 39% dari Produk Domestik Bruto. Angka ini memang masih dalam batas aman secara teknis, tetapi sangat rentan terhadap gejolak global dan pemborosan fiskal. Sementara itu, lebih dari 60% angkatan kerja masih berada di sektor informal, rentan terhadap krisis dan tanpa perlindungan sosial memadai.

BACA JUGA  M Nasir Asnawi: Emosi Pemijat Meledak

Ketika Prabowo Subianto menerima tongkat estafet kekuasaan, ia seperti ketiban pulung. Ia menang tanpa bertempur habis-habisan, didukung penuh oleh sang petahana, dan didorong koalisi gemuk yang nyaris tanpa oposisi. Namun pulung itu datang dengan buntelan masalah besar. Publik yang semula diam mulai bersuara, dan dunia juga tak sedang baik-baik saja.

Gejolak geopolitik memanas, ekonomi global melambat, harga pangan dan energi naik akibat konflik di Ukraina dan Timur Tengah, sementara tensi antara Amerika Serikat dan Tiongkok berdampak langsung ke rantai pasok dan stabilitas pasar.

Ironisnya, alih-alih membentuk kabinet teknokratik dan profesional, Prabowo cenderung mengulangi pola lama menyusun tim dengan logika balas budi. Loyalitas politik, bukan kapabilitas, menjadi tiket masuk ke kursi kekuasaan. Beberapa pos strategis diberikan kepada mereka yang punya sejarah panjang dalam lingkaran politik kekuasaan, tetapi tak terbukti punya rekam jejak kinerja.

Akibatnya, birokrasi kembali seperti mobil tua mogok di tanjakan, lambat di belokan. Bahkan laporan Ombudsman dan ICW menunjukkan bahwa dalam empat tahun terakhir terjadi penurunan signifikan pada mutu pelayanan publik di berbagai daerah, dengan banyaknya jabatan rangkap yang tak jelas kontribusinya. Tiga wakil menteri merangkap jabatan komisaris BUMN adalah salah satu contoh dari hancurnya semangat meritokrasi.

Gaya komunikasi Prabowo pun kontras dengan Jokowi. Jika Jokowi dikenal hemat bicara, Prabowo lebih teatrikal. Ia sering melontarkan janji bombastis seperti makan siang gratis untuk seluruh pelajar dan program hilirisasi besar-besaran. Namun narasi besar tidak bisa menggantikan eksekusi nyata. Harapan rakyat tak bisa terus digantung pada retorika, sementara realisasi di lapangan minim.

BACA JUGA  Telaah Kritis Beredarnya Foto-foto Calon Paket Pimpinan DPD RI Bersama Presiden Terpilih

Survei terakhir dari Indikator Politik Indonesia menunjukkan penurunan kepercayaan publik terhadap elite pemerintahan sebesar tujuh poin hanya dalam lima bulan terakhir. Kekecewaan publik mulai nyata karena janji besar belum diikuti gebrakan yang konkret.
Situasi menjadi lebih rumit karena Indonesia tidak beroperasi dalam ruang hampa. Dunia luar sedang bergerak tidak menentu.

IMF memproyeksikan pertumbuhan global hanya 2,8% pada 2025, dengan bayang-bayang resesi di banyak negara berkembang. Ketegangan di Laut China Selatan meningkat, harga komoditas mulai berfluktuasi, dan ketergantungan terhadap impor pangan masih tinggi. Dalam kondisi seperti ini, Indonesia membutuhkan pemimpin yang bukan hanya pintar bicara, tetapi juga piawai mengelola krisis.

Sayangnya, Prabowo seperti seseorang yang sedang menaiki tangga kekuasaan, namun tangganya oleng. Ia tidak hanya tergelincir karena struktur yang rapuh, tetapi juga ditimpa oleh tangga yang ia naiki sendiri. Tangga itu adalah sistem politik penuh kompromi, birokrasi yang disusun berdasar loyalitas, serta narasi populis yang belum diuji di medan nyata. Jika tidak segera melakukan koreksi, bukan tidak mungkin pemerintahan ini akan goyah lebih cepat dari yang diperkirakan.

BACA JUGA  Makna Seniman Pariwisata, Wisata Seniman

Indonesia kini berada di persimpangan jalan. Pilihannya hanya dua: melanjutkan sistem kekuasaan transaksional yang membungkam kritik dan menghancurkan profesionalisme, atau mengambil jalan berani membersihkan birokrasi, membatasi patronase, dan mengembalikan semangat reformasi ke jalur aslinya. Prabowo, yang dulu dikenal sebagai jenderal keras dan patriotik, kini diuji bukan oleh musuh dari luar, tetapi oleh sistem yang ia warisi dan bangun bersama para patron politik.

Bila ia memilih tetap berdiri di panggung dengan gaya oratorik tanpa aksi, sejarah hanya akan mencatatnya sebagai presiden yang gemar berkata, tetapi gagal membuktikan. Tetapi bila ia berani menolak kemapanan, membasmi nepotisme, dan menciptakan sistem berbasis kompetensi, maka mungkin ia bisa menjadi pahlawan reformasi jilid dua.

Namun waktu tidak banyak. Dan rakyat tidak semakin sabar. Jika tangga itu terus oleng, bukan hanya Prabowo yang jatuh, tetapi seluruh negeri bisa ikut terguling.

*Penulis Kemal H Simanjuntak adalah Konsultan Manajemen | GRC Expert | Asesor LSP Tatakelola, Risiko, Kepatuhan (TRK).