Tri Indroyono

Kepala BMKG: Cuaca Panas di Indonesia Bukan “Heatwave”

heatwave
Petugas BMKG menunjukkan pantauan suhu udara di Kantor BMKG, Jakarta, Senin (6/5/2024). BMKG memastikan fenomena udara panas yang melanda Indonesia beberapa hari terakhir bukan merupakan gelombang panas (heatwave), melainkan cuaca panas yang diperkirakan bakal berlangsung hingga Agustus atau September akibat dari adanya gerak semu matahari. FOTO: Ant

JAKARTA, SUDUTPANDANG.ID – Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati menegaskan bahwa cuaca panas yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini bukanlah akibat “heatwave” atau gelombang panas.

“Berdasarkan karakteristik dan indikator statistik pengamatan suhu yang dilakukan BMKG, fenomena cuaca panas tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai gelombang panas,” katanya dalam taklimat media yang dikutip di Jakarta, Selasa (7/5/2024).

Kemenkumham Bali

Ia mengemukakan bahwa saat ini gelombang panas sedang melanda berbagai negara Asia, seperti Thailand dengan suhu maksimum mencapai 52 derajat Celcius.

Sedangkan Kamboja, dengan suhu udara mencapai level tertinggi dalam 170 tahun terakhir, yaitu 43 derajat Celcius pada pekan ini.

“Namun, khusus di Indonesia yang terjadi bukanlah gelombang panas, melainkan suhu panas seperti pada umumnya,” kata Kepala BMKG menegaskan.

BACA JUGA  Ketum JNMI Dukung Usulan Gelar Pahlawan Bagi RM Margono Djojohadikusumo

Ia menambahkan kondisi maritim di sekitar Indonesia dengan laut yang hangat dan topografi pegunungan mengakibatkan naiknya gerakan udara.

Sehingga, katanya, dimungkinkan terjadinya penyanggaan atau buffer kenaikan temperatur secara ekstrem dengan terjadi banyak hujan yang mendinginkan permukaan secara periodik.

Hal inilah, kata dia, yang menyebabkan tidak terjadinya gelombang panas di wilayah Kepulauan Indonesia.

Suhu panas yang terjadi, tambahnya, adalah akibat dari pemanasan permukaan sebagai dampak dari mulai berkurangnya pembentukan awan dan berkurangnya curah hujan.

“Sama halnya dengan kondisi “gerah” yang dirasakan masyarakat Indonesia akhir-akhir ini, hal tersebut juga merupakan sesuatu yang umum terjadi pada periode peralihan musim hujan ke musim kemarau, sebagai kombinasi dampak pemanasan permukaan dan kelembaban yang masih relatif tinggi pada periode peralihan ini,” terang Dwikorita Karnawati. (02/red)