Opini  

Kerusakan Ekosistem karena Ulah Manusia

Avatar photo
Kerusakan Ekosistem karena Ulah Manusia
Imaam Yakhsyallah Mansur.(Foto:Dok.Pribadi)

“Kerusakan alam bukan sekadar fenomena alamiah, tetapi cermin dari perbuatan manusia yang mengabaikan keseimbangan dan amanah Ilahi.”

Oleh Imaam Yakhsyallah Mansur

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar-Rum [30]: 41)

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan ayat di atas bahwa kaum terdahulu (sebelum Nabi Muhammad) pernah melakukan kemunkaran dan kemaksiatan yang menyebabkan keseimbangan alam dan tatanan kehidupan masyarakat menjadi rusak. Kemudian mereka merasakan bencana dan musibah berupa wabah penyakit yang menyebar luas di negerinya.

Sementara itu, Imam Asy-Syaukani Rahimahullah menafsirkan bahwa kerusakan alam disebabkan manusia memperturutkan hawa nafsunya, melakukan kedzaliman, kemunkaran, merusak alam, dan merusak tatanan sosial kehidupan. Maka, Allah Ta’ala menurunkan musibah dan bencana agar mereka sadar atas kesalahannya dan kembali ke jalan yang diridai-Nya.

Ayat di atas menjadi peringatan bagi manusia tentang tanggung jawab menjaga dan merawat lingkungan dan alam sekitarnya. Perbuatan merusak lingkungan, pencemaran lingkungan, dan eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan dapat menyebabkan bencana yang akan merugikan manusia dan makhluk lain yang hidup di muka bumi ini.

Sumber daya alam yang beraneka ragam itu sebenarnya disediakan bagi manusia untuk beribadah dan menjalankan syariat Allah Ta’ala di muka bumi. Namun, jika manusia ingkar dan bermaksiat kepada Allah Ta’ala, nikmat tersebut akan berubah menjadi laknat, anugerah menjadi musibah, dan karunia menjadi bencana.

Sesungguhnya perbuatan buruk manusialah yang menyebabkan terjadinya bencana, sebagaimana yang telah menimpa umat terdahulu. Jika manusia saat ini memiliki karakter yang sama dengan umat terdahulu yang melakukan kemaksiatan dan merusak alam, mereka juga akan merasakan musibah dan bencana sebagaimana yang dirasakan umat-umat sebelum mereka.

Ekosistem, Amanah yang Harus Dijaga

Ekosistem adalah kesatuan antara makhluk hidup dengan lingkungannya yang saling berinteraksi sehingga membentuk sistem yang seimbang. Gunung-gunung menjadi penyangga alam, hutan menjadi paru-paru bumi yang menyediakan oksigen bagi manusia, sungai-sungai mengalirkan rezeki yang tak pernah berhenti, dan lainnya.

Namun, ketika manusia mulai memandang ekosistem hanya sebagai benda mati yang siap dieksploitasi, saat itulah bencana terjadi. Musibah banjir bandang dan longsor yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat beberapa hari ini menjadi bukti nyata bahwa alam sedang mengirimkan pesan peringatan kepada manusia.

BACA JUGA  Mengenal Standar Kompetensi Kepolisian di Dunia

Itu semua jelas bukan sekadar fenomena alam biasa, tetapi sebuah tanda bahwa keseimbangan ekosistem yang menopang kehidupan manusia telah terganggu. Dalam kaitan ini, Islam memandang bahwa alam dengan berbagai sumber daya di dalamnya adalah amanah yang Allah Ta’ala titipkan kepada manusia.

Amanah ini bersifat fisik dan spiritual. Allah Ta’ala menyebut manusia sebagai khalifah fil ardh (pemakmur bumi). Status ini mengisyaratkan bahwa manusia hendaknya merawat alam sesuai syariat-Nya. Ketika amanah ini dilalaikan, dampaknya akan kembali kepada manusia sendiri.

Ketika manusia mengeksploitasi alam secara berlebihan, hutan-hutan yang lebat menjadi gundul, sungai-sungai kehilangan pelindungnya, lereng-lereng gunung terkelupas akibat penebangan dan aktivitas industri, maka saat itulah keseimbangan alam runtuh.

Tanah yang dulu mampu mengikat air kini menjadi rapuh, aliran sungai berubah liar, dan curah hujan yang seharusnya membawa berkah justru berubah menjadi bencana. Pada akhirnya, alam yang tak lagi mampu menjalankan fungsinya. Semua itu terjadi bukan karena alam berubah tabiat, melainkan karena manusia tak lagi taat pada syariat.

Islam mengajarkan konsep keseimbangan (mīzān). Selama mīzān dijaga, bumi akan menjadi tempat yang aman dan subur bagi manusia. Namun, ketika manusia melampaui batas dan mengabaikan risiko ekologis, mīzān itu terganggu. Bencana menjadi konsekuensi dari tindakan yang mengabaikan keseimbangan alam.

Rasulullah memberikan teladan yang sangat indah dalam menjaga lingkungan. Beliau menganjurkan menanam pohon sebagai sedekah jariyah. Bahkan dalam kondisi perang, para sahabat dilarang menebang pohon sembarangan, meracuni air, atau menghabisi tanaman. Itu semua menunjukkan betapa Islam sangat memuliakan alam.

Para ulama menegaskan bahwa kerusakan lingkungan termasuk bagian dari fasad. Ketika hutan dibabat tanpa kendali, ketika tambang dibuka tanpa perhitungan, dan ketika izin industri diberikan tanpa memperhatikan risiko ekologi, maka itu bukan hanya kesalahan administrasi, tetapi penyimpangan dari amanah Ilahi.

Tragedi Ekologis sebagai Peringatan

Tragedi ekologis di beberapa wilayah di Sumatera mengingatkan kita bahwa hubungan manusia dengan alam harus diperhatikan. Kesadaran, niat baik, dan perubahan perilaku sangat diperlukan dalam memelihara alam dan kehidupan.

BACA JUGA  BLACKPINK, Kaum Muda dan Nasionalisme

Musibah adalah peringatan yang mengajak manusia untuk kembali kepada nilai-nilai ketakwaan dan tanggung jawab menjaga lingkungan. Musibah hendaknya menjadi momen untuk memperbaiki diri, menata ulang hubungan dengan Allah Ta’ala, manusia, dan ekosistem sebagai tempat hidupnya.

Islam tidak menolak pembangunan. Islam tidak menolak pemanfaatan sumber daya alam. Namun, Islam menolak pembangunan yang mengorbankan keselamatan manusia dan merusak keseimbangan alam. Kaidah fikih menyebutkan:

“Mencegah kerusakan lebih utama daripada mengejar kemaslahatan.” (Al-Muwafaqat fi Ushulil Ahkam, karya Imam As-Syathibi)

Jika sebagian pihak menikmati keuntungan triliunan rupiah dari hasil eksploitasi hutan dan sumber daya alam di dalamnya, tetapi masyarakat sekitar menanggung bencana, itu pertanda kuat bahwa ada yang tidak seimbang dalam pengambilan keputusan dan kebijakan.

Tujuan kita bukan mencari siapa yang salah, tetapi menemukan jalan agar kita semua menjadi terarah, sesuai aturan, selaras dengan tujuan bersama. Perbaikan selalu dimulai dari kesadaran. Musibah yang terjadi bukan sekadar peringatan, tetapi ajakan untuk kembali kepada nilai-nilai amanah, keadilan, dan tanggung jawab bersama.

Musibah ekologis seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat kolaborasi antara pemerintah, tokoh agama, dan masyarakat. Ketiganya harus berjalan bersama, bukan saling menyalahkan.

Tokoh agama memberi panduan moral, pemerintah membuat aturan yang adil, dan masyarakat menjaga perilaku sehari-hari. Inilah cara Islam dalam memberi solusi yang komprehensif.

Solusi Islam Menjaga Kelestarian Alam

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (pahala) negeri akhirat, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia. Berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS Al-Qashash [28]: 77)

Ayat di atas mengajarkan keseimbangan hidup, yaitu mencari kebaikan akhirat dan memenuhi kebutuhan duniawi. Menjaga ekosistem bukan hanya langkah preventif terhadap bencana, tetapi juga merupakan bentuk ibadah dan pengamalan nilai-nilai Islam.

Manusia hendaknya dapat hidup selaras dengan alam dan memperhatikan masa depan kehidupan generasi mendatang. Hidup selaras dengan alam berarti tidak mengambil lebih dari yang dibutuhkan, tidak merusak sumber daya secara sembarangan, dan selalu mengutamakan keseimbangan sebagaimana yang telah ditetapkan Sang Pencipta.

BACA JUGA  Bebaskan Jessica

Islam menawarkan solusi yang diawali perubahan spiritual. Segala hal dimulai dari kesadaran dan keyakinan. Bila manusia menyadari bahwa alam ini adalah amanah dan setiap kebijakan akan dimintai pertanggungjawaban, ia akan berhati-hati dalam mengambil keputusan. Tauhid adalah fondasi utama dalam ilmu dan etika ekologis.

Prinsip ihsan juga sangat penting. Ihsan berarti berbuat sebaik-baiknya karena perbuatannya disaksikan Allah Ta’ala. Jika prinsip ini diterapkan dalam setiap pengambilan kebijakan pemberian izin tambang, pembangunan infrastruktur, pengelolaan industri, dan lahan kerusakan niscaya tidak akan terjadi.

Islam juga mengenal konsep hima, yaitu kawasan konservasi yang dilindungi dari eksploitasi. Rasulullah menetapkan beberapa hima untuk melindungi hutan, mata air, dan padang rumput. Konsep ini dapat diterapkan kembali dalam bentuk kawasan hutan lindung, taman nasional, dan zona hijau yang tidak boleh dibangun.

Pemerintah memiliki peran strategis sebagai pelayan masyarakat. Kebijakan yang menyangkut hutan, mineral, dan sumber daya alam harus memprioritaskan keselamatan masyarakat. Keberhasilan sebuah pemerintahan tidak hanya dilihat dari pertumbuhan ekonomi, tetapi juga dari seberapa besar ia mampu menjaga alam dan keberlanjutan kehidupan.

Pendidikan lingkungan berbasis nilai-nilai agama perlu diperluas. Tempat ibadah dan sekolah dapat menjadi pusat pembinaan akhlak dalam menjaga lingkungan. Di tempat-tempat itu kesadaran spiritual dapat ditanamkan sejak dini, bahwa merawat bumi adalah bagian dari ibadah dan bentuk ketaatan kepada Allah Yang Maha Esa.

Solusi terbaik adalah kolaborasi. Para akademisi membawa ilmu pengetahuan, tokoh agama membawa hikmah, pemerintah membawa kebijakan, dan masyarakat membawa kesadaran. Jika semuanya bersatu, kerusakan alam dapat dihentikan dan keseimbangan dapat dipulihkan.

Musibah dan bencana menyadarkan kita bahwa ekosistem bukan musuh, melainkan guru yang sedang berbicara. Ia berbicara melalui air, lumpur, dan tanah yang bergerak. Ia mengajak manusia kembali kepada keseimbangan, kepada amanah, dan kepada nilai-nilai ketakwaan. Menjaga bumi berarti menjaga kehidupan.

Imaam Yakhsyallah Mansur adalah Pembina Jaringan Ponpes Al-Fatah se-Indonesia.