“Kemenangan Islam bukanlah keberhasilan menguasai suatu wilayah atau mendapatkan banyak harta benda, tetapi merupakan kemenangan atas setiap hati nurani umat manusia untuk tunduk dan patuh menyembah dan beribadah hanya kepada-Nya serta bebas menjalankan syariat-syariat-Nya. Wallahu a’lam bisshawab.”
Oleh: Imaam Yakhsyallah Mansur
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan yang mengerjakan kebajikan, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh, Dia akan meneguhkan bagi mereka dengan agama yang telah Dia ridhai. Dan Dia benar-benar mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka (tetap) menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan Ku dengan sesuatu apa pun. Tetapi barangsiapa (tetap) kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik. (55). Dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Rasul (Muhammad) agar kamu diberi rahmat.“ (56) (QS. An-Nur [24]: 55-56).
Asbabun Nuzul ayat di atas adalah ketika Rasulullah Shallallahu alaihi Wasallam berada di Madinah setelah beberapa waktu lamanya, para sahabat masih merasa belum aman dari ancaman dan gangguan kaum Kafir.
Mereka bertanya kepada Nabi: “Kapan Engkau dapat melihat kami hidup aman dan tenteram tiada takut kecuali kepada Allah.” Kemudian ayat ini turun berkenaan sebagai jawaban sekaligus jaminan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwa mereka akan dianugerahi kekuasaan di muka bumi.
Imaam Al-Qurtubi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa dalam ayat ini terdapat sumpah Allah yang tersirat dari ungkapan “layastakhlifannahum….dan seterusnya” yang diistilahkan oleh pakar bahasa al-Qur’an sebagai “jawabul-qasm” (jawaban sumpah).
Lalu apa sumpah Allah tersebut?. Dia bersumpah akan menjadikan orang-orang yang beriman dan beramal shalih sebagai khalifah (penguasa) di muka bumi yang akan mengatur dunia dengan syari’at-Nya.
Namun janji Allah tersebut ada syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi. Setidaknya ada dua hal yang disebutkan, yakni beriman dan beramal shalih.
Al-Imâm As-Sa’di Rahimahullâh mengatakan: “Janji Allâh dalam ayat ini akan senantiasa berlaku sampai hari kiamat, selama mereka (kaum Muslimin) menegakkan iman dan amal shalih.”
Diraihnya apa yang telah dijanjikan Allâh, adalah sebuah kepastian. Kemenangan orang-orang kafir dan munafik pada sebagian masa serta berkuasanya mereka di atas kaum muslimin, tidak lain disebabkan oleh pelanggaran kaum muslimin dalam iman dan amal shalih.”
Definisi Iman dan Amal Shaleh
Menurut Imam Asy Syafi’i dalam kitab Al-Umm, Iman adalah pembenaran dengan hati, pengakuan dengan lisan, dan beramal dengan anggota badan. Para ulama salaf menjadikan amal termasuk unsur keimanan. Iman dapat bertambah dengan senantiasa mengiringi ketaatan dan akan berkurang ketika melakukan maksiat.
Adapun bukti keimanan bisa dilihat dari sikap seseorang ketika mendapat perintah Allah dan rasul-Nya. Mereka mengatakan “sami’na wa atha’na” (kami mendengar dan kami taat). Pembuktian keimanan tidak hanya diukur dari banyaknya amal yang dilakukan, tetapi diukur oleh seberapa besar efek dan pengaruhnya dalam tingkah laku kehidupan seseorang.
Rasulullah bersabda: “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling bagus akhlaqnya” (HR. Abu Daud), sedangkan amal shaleh, menurut kamus Al-Mu’jamul Wasīth diartikan sebagai sesuatu yang memberi manfaat dan perbaikan.
Amal saleh juga berarti perbuatan yang tidak merusak atau mengandung unsur kerusakan. Orang yang gemar beramal saleh disebut sebagai orang shaleh.
Amal shaleh harus memenuhi dua unsur, yaitu hak Allah dan hak manusia. Imam Sya’rawi menyebutnya sebagai shaleh ukhrawi dan shaleh duniawi. Sebagai contoh, seseorang yang melakukan ibadah shalat saja, tetapi mengabaikan kebutuhan keluarganya, maka itu belum bisa dikatakan shaleh.
Atau sebalinya, seseorang yang sibuk memenuhi kebutuhan duniawi keluarganya, tetapi abai terhadap hak Allah (ibadah), maka itu pun belum dikatakan shaleh.
Imam Ath-Thabari dalam tafsir menyebut, syarat amal dikategorikan shaleh jika amal tersebut harus dilaksanakan secara ikhlas (berharap ridha Allah semata) dan sesuai dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Kekuasaan pada masa kekhilafahan Islam
Spanyol atau Andalusia dahulu pernah ditaklukkan oleh seorang Muslim yang shaleh bernama Thariq bin Ziyad. Thariq dikenal sebagai sosok pemimpin yang sangat menghormati umat agama lain, yaitu kaum Nasrani dan Yahudi.
Dosen Universitas Indonesia (UI), Bastian Zulyeno mengatakan, 17 tahun sebelum Thariq menaklukkan Andalusia, kaum Yahudi terpojok oleh penguasa Kristen. Kala itu yang berkuasa adalah Raja Roderick.
Konflik internal yang berkepanjang membuat masyarakat di wilayah itu sangat mengharapkan kedatangan tentara Muslim. Sebab, mereka berharap dapat bebas dari penderitaan yang panjang.
Pada saat penaklukan, Thariq justru memberi kebebasan kepada kaum Yahudi dan Kristen untuk tetap melakukan aktivitas keagamaan. Artinya tidak ada pemaksaan untuk memeluk Islam.
Penaklukan Andalusia tidak bermotif penjajahan, tetapi pembebasan masyarakat dari cengkeraman kedzaliman dan perbudakan. Thariq membangun dasar-dasar perdamaian antar masyarakat Spanyol sehingga merek bisa hadup aman dan damai.
Saat Thariq memimpin, umat Nasrani memiliki hakim sendiri untuk memutuskan perkara mereka. Semua komunitas mendapat kesempatan yang sama dalam pelayanan umum.
Pemerintahan penguasa-penguasa Islam sangat baik dan bijak dalam menjalankan pemerintahannya. Hal ini membawa efek luar biasa terhadap kalangan Kristen termasuk para pendetanya.
Demikian juga dengan penaklukan Yerusalem oleh Pasukan Shalahuddin Al-Ayubi. Awalnya, para pendeta bersembunyi dan meninggalkan rumah mereka dalam keadaan ketakutan karena khawatir adanya tindakan balas dendam dari umat Islam.
Namun nyatanya tidak. Mereka dapat kembali ke kampung halaman mereka dan mulai hidup baru di bawah kekuasaan Islam yang adil.
Komunitas Kristen dan Yahudi tetap memegang dan menerapkan hak hukum otonom dalam setiap perselisihan yang tidak melibatkan hak kaum Muslim. Mereka juga mempunyai pemimpin-pemimpin mereka sendiri, seperti uskup dan komite (bangsawan yang ditunjuk) untuk mewakili mereka dalam pemerintahan.
Sementara itu, di Mesir, Ottoman (Turki Utsmani) dikenal sebagai penguasa Muslim yang pluralis, memberi pengayoman kepada Yahudi yang dikejar-kejar di Eropa.
Ottoman juga mengakomodiasi komunitas Kristen dalam pemerintahan. Penaklukan Mesir oleh Ottoman pada 1517 telah membebaskan warga Kristen Koptik dari penindasan pemerintahan yang berkuasa saat itu.
Ottoman memberlakukan sistem “millet”, yaitu sebuah kewenangan mengatur sendiri urusan tiap komunitas beragama, termasuk bidang pengadilan. Sistem ini didesain agar tercipta masyarakat yang membaur, meskipun berbeda agama dan keyakinan.
Kekuasaan sebagai anugerah Allah
Kekuasaan dalam konsep Islam tidak didapat dari hasil perebutan kekuasaan, peperangan, kudeta, atau segala hal yang lain yang tidak dibenarkan secara syariat.
Kekuasaan adalah karunia Allah yang diberikan kepada orang-orang yang memang layak menyandangnya, yaitu mereka yang benar-benar beriman dan beramal shaleh, sebagaimana firman Allah di atas.
Guru Besar Universitas Islam Sumatera Utara (UINSU), Prof. Katimin, dalam bukunya “Hadits-hadits Politik” menyatakan, kekuasaan kekhalifahan yang lebih mengarah kepada cara memerintah rakyatnya adalah berlandaskan syari’at, baik untuk kepentingan ukhrawi ataupun duniawi yang mengembalikan semua urusan kepada Allah. Sedangkan kekuasaan politik cenderung memerintah berdasarkan pandangan akalnya, yakni tentang bagaimana mendatangkan kebaikan-kebaikan dunia dan mencegah terjadinya keburukan berdasarkan kepentingan.
Sementara tugas-tugas penguasa Islam menurut Al-Mawardi dalam kitab “Ahkamul Sulthaniyah” antara lain memelihara agama dari segala sesuatu yang menodainya. Jika muncul bid’ah yang merusak citra agama, khilafah harus menegakkan hujah dan hukum-Nya.
Kemudian memastikan berjalannya syariat-syariat dasar agama, seperti shalat, zakat dan mentaati perintah Allah dan rasul lainnya; menegakkan keadilan secara merata sehingga orang zalim tidak bertindak sewenang-wenang dan orang teraniaya tidak semakin dibuang.
Selain itu adalah memberi rasa aman kepada masyarakat dalam mencari nafkah dan bepergian dari gangguan yang mengancam jiwa dan hartanya, mengelola baitul mal (anggaran) dan menggunakannya secara tepat sesuai syariah serta mengangkat orang-orang yang jujur dan professional di bidangnya untuk mengawal urusan masyarakat.
Sementara itu Buya Hamka dalam “Tafsir Al-Azhar” menerangkan, Rasulullah berjuang bukan berniat mencari kekuasaan atau untuk menduduki jabatan tertinggi sebagai kepala negara.
Rasulullah hanya berjuang untuk kebebasan menjalankan agama, tegaknya syiar Islam dan manusia terlepas dari kehidupan yang gelap-gulita dan penuh dengan kesyirikan kepada kehidupan yang terang-benderang penuh dengan cahaya iman dan Islam.
Walaupun Rasulullah tidak bermaksud mencari kekuasaan, tapi kekuasaan itu beliau dapatkan sebagai buah dari kesungguhan iman dan amal shaleh. Pada akhirnya kekuasaan bukanlah sebuah tujuan, melainkan menjadi alat untuk menegakkan agama.
Perlu disadari, semua kekuasaan manusia pada hakikatnya adalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala. Manusia hanya menjalankan kekuasaan sebagai amanah dari Allah.
Para pemimpin hendaknya menyadari betapa besar tanggung-jawab yang ia pikul. Ia bertanggung jawab tidak hanya kepada manusia yang dipimpinnya, tetapi kepada Allah yang memberi amanah.
Kemenangan dalam Islam
Sementara itu Raghib Al-Ashfihani dalam kitab “Al-Mufradat fi Gharibil Qur’an” mendefinisikan kata kemenangan (alfauz) adalah mencapai kebaikan dengan keselamatan. Adapun kata-kata yang sepadan dengan kata (alfauz), antara lain: (annashr) yang artinya pertolongan, (alfalah) keberuntungan, dan (alfatah) pembukaan.
Kemenangan umat Islam adalah perwujudan dari pemberian hadiah terbesar dari Allah untuk umat manusia sesuai tujuan azasi, yaitu terselamatkannya manusia dari ancaman neraka menuju Surga-Nya.
Kemenangan Islam adalah terbukanya hidayah dari Allah, yaitu terbuka lubuk-lubuk hati manusia untuk menerima Islam sebagai satu-satunya sistem kehidupan. Islam tidak pernah mengajarkan peperangan sebagai sarana meraih kekuasaan.
Peperangan bukan pula dilakukan atas dasar fanatisme kebangsaan, etnis dan bahasa. Tetapi perang diizinkan apabila agama Islam dihinakan, terusir dari kampung halaman, atau menolong dan menyelamatkan orang-orang yang terdzalimi.
Oleh sebab itu Islam tidak mengajarkan praktek kolonialisme dan tidak pernah melakukan “occupation” (pendudukan), tetapi Islam hadir di sebuah wilayah untuk melakukan “liberation” (pembebasan) bagi umat manusia.
Jadi, hakikat kemenangan dalam Islam sangat jauh berbeda dengan kemenangan dalam sebuah peperangan atau perebutan kekuasaan.
Kemenangan Islam bukanlah keberhasilan menguasai suatu wilayah atau mendapatkan banyak harta benda, tetapi merupakan kemenangan atas setiap hati nurani umat manusia untuk tunduk dan patuh menyembah dan beribadah hanya kepada-Nya serta bebas menjalankan syariat-syariat-Nya. Wallahu a’lam bisshawab.
*Penulis Imaam Yakhsyallah Mansur adalah Pembina Yayasan Al-Fatah Indonesia.