Berita  

Kurikulum Merdeka, Peneliti Pendidikan dari UGM Minta Nadiem Kaji 4 Keresahan

Mendikbud Nadiem Makarim (Dok. Umko.ac.id)

JAKARTA, SUDUTPANDANG.ID –  Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim meluncurkan Kurikulum Merdeka untuk jenjang SMA tahun ajaran 2022/2023. Kurikulum yang menghapus konsentrasi jurusan baik IPA, IPS, maupun Bahasa tersebut menuai polemik.

Peneliti pendidikan dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Muhammad Nur Rizal menduga Kurikulum Merdeka untuk mengatasi persoalan utama pendidikan saat Indonesia masih dilanda pandemi Covid-19. Di antaranya adalah mengatasi learning loss selama 20 tahun terakhir, baik sisi literasi dan numerasinya.

Kemenkumham Bali

Secara keseluruhan Rizal melihat Kurikulum Merdeka masih berorientasi holistik untuk siswa yang dituntut menguasai aspek akademis-non akademis, serta berbasis kompetensi dan bukan konten. Kurikulum Merdeka juga dinilainya masih lebih menekankan pada proses pembelajaran siswa di lingkungan sekolah, tetap kurang memberi porsi pembelajaran melibatkan tiga lingkungan: sekolah, rumah, dan masyarakat.

“Sebab Kurikulum Merdeka ini hanya tetap berfokus pada proses pembelajaran berbasis project dan pengurangan kepadatan materi,” kata pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) itu saat menggelar pertemuan virtual dengan tak kurang 800 guru dari berbagai daerah, Selasa petang 22 Februari 2022.

BACA JUGA  Titik Banjir Bertambah, BPBD DKI: Menjadi 38 RT dan 23 Ruas Jalan

Dosen Departemen Teknik Elektro dan Informasi Fakultas Teknik UGM itu mengaku telah melihat naskah akademik yang disiapkan untuk Kurikulum Merdeka. Sekitar 70-80 persen dari materi itu disebutnya menekankan penguasaan mata pelajaran dan 20-30 persen project based learning seperti yang sudah ada di kurikulum-kurikulum sebelumnya.

Rizal mencontohkan kurikulum itu yang menuntut penguatan profil Pelajar Pancasila melalui pembelajaran berbasis project yang dilakukan minimal tiga kali dalam satu tahun ajaran. Lalu siswa diminta menulis esai ilmiah sebagai syarat kelulusan. Hal yang sama juga diterapkan untuk jenjang sekolah luar biasa (SLB).

“Hal ini bagus namun hanya dalam konteks mendorong para guru belajar memahami apa itu project based learning,” kata Rizal. Tapi, dia mempertanyakan kemampuan profil Pelajar Pancasila itu diterjemahkan hanya pada pembelajaran berbasis project. “Apalagi jika satuan pendidikannya belum mampu memiliki cara berpikir holistik?” kata dia.

BACA JUGA  Heartpreneur: Seni Mengasah Vibrasi Hati dalam Emotional Healing

Rizal justru khawatir, para guru terkotak pola pikirnya. Seperti menganggap hanya mata pelajaran tertentu saja yang butuh project based learning dan mata pelajaran lain tetap dianggap sama pendekatannya.

Karena itu, terkait rencana penerapan Kurikulum Merdeka, Rizal mendorong pemerintah lebih dulu mempertimbangkan sejumlah kekhawatiran yang diungkap berbagai pihak. Menurutnya, sedikitnya ada empat keresahan yang mengiringi rencana penerapan kurikulum itu.

Pertama, minimnya naskah akademik sehingga tidak ada kerangka acuan kuat dalam membangun kurikulum. Kedua, soal sifat kurikulum yang sangat operasional sehingga menyoal bobot jam mata pelajaran, bukan bersifat kerangka dasar yang bersifat umum. Ketiga, berpotensi cacat prosedur karena tidak melibatkan Badan Standarisasi Nasional Pendidikan dalam penyusunannya.

“Juga kekhawatiran soal semiotika nama Kurikulum Merdeka yang mengesankan kurikulum ini hanya berorientasi pada program pemerintah saat ini, beresiko tidak berlaku dalam jangka panjang,” kata dia.

BACA JUGA  Nadiem Makarim Bersama Elon Musk Bakal Berdialog dengan Ratusan Mahasiswa di Bali

 

 

Tinggalkan Balasan