Mahasiswa FISIP UMT Gelar Seminar Nasional Pancasila

Informasi dan narasumber yang dihadirkan pada seminar nasional tentang Pancasila yang digelar mahasiswa Program Studi (Prodi) Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT) Banten, di Tangerang, Ahad (15/1/2023). FOTO: UMT

“Islam dan Pancasila berjalan seiringan. Sebab umat Islam dalam kehidupan dituntut untuk berbuat kebaikan yang selaras dengan nilai-nilai Pancasila.”

TANGERANG, SUDUTPANDANG.ID – Sebanyak 250 mahasiswa Program Studi (Prodi) Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT) antusias mengikuti seminar nasional tentang Pancasila.

Kemenkumham Bali

Kegiatan bertema “Nilai-nilai Pancasila dalam Berbangsa dan Bernegara” itu digelar di Aula Jenderal Sudirman, Kampus UMT, di Tangerang, Banten, Ahad (15/1/2023).

Kegiatan tersebut menghadirkan narasumber anggota Komisi VI DPR, ST Wahana Ananta, akademisi UMT, Dr Tantry Widiyanarti, akademisi Institut Ilmu Al Qur’an Jakarta, Muhammad Daud, dipandu moderator Yusuf Fauzi, M.Soc.Sc.

Ketua Pelaksana seminar, Mohamad Romli mengatakan, tujuan digelarnya acara itu untuk meningkatkan pemahaman dan menambah wawasan mahasiswa FISIP UMT tentang nilai-nilai Pancasila. Ia berharap para mahasiswa dapat mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari.

“Kami berharap melalui seminar ini wawasan kebangsaan kami sebagai anak bangsa semakin luas. Sehingga kami dapat menjadi generasi muda penerus bangsa yang mampu berkiprah untuk mengharumkan nama keluarga, serta bangsa dan negara,” katanya.

Wakil Dekan 1 FISIP UMT Dr Nurhakim mengapresiasi mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi yang telah menyelenggarakan seminar nasional tersebut.

Menurutnya, tema kegiatan tersebut sangat relevan. Pasalnya, nilai-nilai Pancasila harus terus dihidupkembangkan.

“Karena banyak nilai-nilai Pancasila yang konteksnya harus terus dipahami dalam kehidupan saat ini. Sebab jika kita salah memahaminya akan jadi bias dan kabur, sehingga acara seminar ini sangat bagus sekali,” katanya.

Ananta Wahana yang menjadi pemateri pertama memaparkan mulai dari sejarah perumusan hingga fungsi Pancasila.

Ia menjelaskan Pancasila yang menjadi pengikat dan pemersatu bangsa Indonesia yang memiliki luas wilayah 2 juta Km² berpenduduk sekitar 270 jiwa, tersebar di 17.504 pulau dengan keragaman etnis, suku, bahasa, hingga agama.

“Sampai cendekiawan Barat menyebut Indonesia negara khayalan. Sebab jarak tempuh dengan naik pesawat dari Aceh ke Papua sama dengan dari Jakarta ke Makkah. Satu negara sama dengan 11 negara,” katanya.

Ananta Wahana menuturkan, luasnya wilayah Indonesia adalah jasa pemerintah Kolonial Belanda yang membuang Bung Karno (Soekarno) ke Brastagi, Bangka, Bengkulu, Ende, Jawa Barat, dan lain-lain.

“Sehingga dalam pengasiangannya itu, menginspirasi pidato Bung Karno lahirnya Pancasila 1 Juni 1945. Pancasila sebagai pemersatu atau pengikat antar wilayah, rasa kebangsaan, serta kekayaan perbedaan Indonesia,” tuturnya.

Ia menyontohkan beberapa negara yang tercerai berai karena tidak memiliki pengikat sebagaimana yang dimiliki bangsa Indonesia. Bangsa-bangsa yang tidak sekompleks Indonesia itu, kini menjadi bangsa-bangsa kecil, di antaranya Yugoslavia yang pecah menjadi tujug negara.

“Yugoslavia yang luas wilayahnya hanya 200 Km² pecah menjadi tujuh negara, yaitu Serbia, Montenegro, Bosnia, Kosovo, Slovenia (Kroasia), Herzegovina, dan Makedonia Utara,” jelasnya.

Negara besar lainnya karena tidak ada pengikat seperti Pancasila yang juga bercerai berai yaitu Uni Soviet. Pecah menjadi 15 negara, di antaranya ada yang sedang berperang, yaitu Rusia dengan Ukrania.

“Uni Soviet terpecah belah menjadi Rusia, Uzbekistan, Ukrania, Armenia, Georgia, Azerbain, Belarusia, Kazakhstan, Estonia, dan lain-lain,” terangnya.

“Kita sangat bersyukur karena mendapatkan warisan dari para pendahulu kita yaitu Pancasila yang menjadi pemersatu bangsa Indonesia,” sambung Ananta Wahana.

Selaras dengan Islam

Narasumber kedua, Muhammad Daud yang menyatakan bahwa nilai-nilai Pancasila selaras dengan Islam.

“Islam dan Pancasila berjalan seiringan. Sebab umat Islam dalam kehidupan dituntut untuk berbuat kebaikan yang selaras dengan nilai-nilai Pancasila,” katanya.

Ia menyebutkan keselarasan itu di antaranya Pancasila sebagai pelindung dan pelayanan agama-agama. Dirinya mengutip dalil Al Quran surat Yunus ayat 99 dan dan Al-Maidah ayat 48.

“Kemudian seruan berbuat adil kepada semua umat manusia, dalilnya Al Quran surat Annisa ayat 58, An-Nahal ayat 90. Memperkokoh persatuan, Al Quran surat Al Hujurat ayat 13, dan mengedepankan musyawarah, dalilnya surat Al-Syura ayat 38,” terangnya.

Muhammad Daud menegaskan, agama semestinya sebagai sumber untuk meningkatkan peradaban, bukan sebagai identitas kelompok sosial. Sehingga kehadiran agama yang berbeda-beda tidak dimaknai sebagai ancaman antar kelompok agama itu sendiri.

“Agama bisa meneguhkan nilai-nilai Pancasila ketika agama dimaknai oleh pemeluknya sebagai sumber peradaban dalam masyarakat plural. Ber-Islamlah secara subtansi, bukan dengan simbol-simbol,” tandas Muhammad Daud.

Lima nilai

Narasumber ketiga, Tantry Widiyanarti menelaah etika Pancasila yang dijabarkan dari sila-sila yang terkandung lima nilai. Di antaranya spiritualitas, humanis, solidaritas, menghargai orang lain, dan peduli.

Ia menekankan pengimplementasian etika Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sangat penting. Sebab, permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini yaitu korupsi, terorisme, pelanggaran HAM, kesenjangan sosial, ketidakadilan hukum, dan kurangnya kesadaran membayar pajak.

“Alasan munculnya Pancasila sebagai sistem etika karena terjadi dekadensi moral, korupsi yang merajalela, kurangnya kontribusi dalam pembangunan, pelanggaran hak-hak asasi manusia, dan kerusakan lingkungan,” ungkapnya.

Pancasila sebagai sistem etika, menurut Tantry, sangat mendesak. Pertama sebagai sumber moral dan inspirasi bagi penentu sikap, tindakan, dan keputusan yang diambil setiap warga negara.

Kemudian memberi panduan bagi setiap warga negara, sehingga memiliki orientasi yang jelas dalam tata pergaulan, baik lokal, nasional, maupun internasional.

“Urgensi Pancasila sebagai sistem etika juga karena menjadi dasar analisis berbagai kebijakan yang dibuat oleh penyelenggara negara, dan filter untuk menyaring pluralitas,” kata Tantry. (PR/02)

Tinggalkan Balasan