Hukum  

Maraknya Penganiayaan Hewan Demi Konten, PSI Minta Sanksi di RKUHP Diperberat 

Francine Widjojo
Francine Widjojo, Juru Bicara DPP PSI bidang Perlindungan Hewan (Foto:dok.pribadi)

“Dalam draft RUU KUHP Juli 2022, penganiayaan hewan yang menyebabkan kematian hanya diancam pidana penjara 1 tahun 6 bulan, dan sanksi ini dirasa masih terlalu ringan.”

JAKARTA|SUDUTPANDANG.ID – DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengungkapkan keprihatinannya atas maraknya penganiayaan hewan demi konten di media sosial. Menyikapi kasus tersebut, PSI meminta sanksi terhadap pelaku penganiayaan hewan diperberat dalam draft Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).

Kemenkumham Bali

“PSI prihatin atas maraknya penganiayaan hewan, apalagi sampai sengaja dipertontonkan di media sosial. Ini sungguh mencoreng nama Indonesia yang baru-baru ini viral dalam upaya melindungi dan menyejahterakan hewan dengan melepaskan tiga lumba-lumba hidung botol kembali ke laut lepas,” ujar Francine Widjojo, Juru Bicara DPP PSI Bidang Perlindungan Hewan dalam keterangan tertulisnya, Jumat (16/9/2022).

Menurut Francine, sanksi pidana dalam RKUHP penting dan perlu diperberat dalam hal penganiayaan hewan yang bukan satwa dilindungi.

“Dalam draft RUU KUHP Juli 2022, penganiayaan hewan yang menyebabkan kematian hanya diancam pidana penjara 1 tahun 6 bulan, dan sanksi ini dirasa masih terlalu ringan,” katanya.

“Setidaknya 5 tahun penjara seperti yang juga diterapkan di Amerika dan Inggris,” sambung Francine, yang juga advokat di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) PSI.

Francine mengungkapkan, kasus-kasus penganiayaan hewan kembali marak. Terbaru adalah unggahan pembunuhan kucing hail untuk konsumsi di Bengkulu demi menambah jumlah follower di media sosial. Pelakunya telah ditetapkan sebagai tersangka.

Kemudian, enam siswa di bawah umur yang sedang Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, diamankan kepolisian setempat dan dalam proses mediasi. Mereka diduga membunuh dan mengkonsumsi kucing peliharaan.

“Tak hanya itu, rangkaian kekejian penyiksaan dan mutilasi terjadi di Tasikmalaya terhadap sejumlah bayi monyet ekor panjang dan lutung. Penyiksaan satwa dilindungi tersebut didokumentasikan kemudian dijual Rp150 ribu hingga Rp300 ribu per video dan diketahui telah berlangsung 12 kali sejak tahun 2021 hingga Juni 2022,” ungkapnya.

Padahal Indonesia, lanjutnya, disinyalir sedang berupaya lebih dalam memperhatikan perlindungan dan kesejahteraan hewan. Salah satunya adalah melarang atraksi lumba-lumba sejak tahun 2020 karena merupakan bentuk eksploitasi hewan.

Dan baru-baru ini jagat medsos diramaikan berita bahagia di Bali atas dilepaskannya ketiga lumba-lumba hidung botol tersebut setelah bertahun-tahun dikurung untuk hiburan sirkus keliling.

“Upaya melindungi dan mensejahterakan hewan tersebut perlu ditunjang dengan memberikan efek jera pada pelaku penganiayaan hewan,” tegas Francine.(red)

Tinggalkan Balasan