Daerah  

Mbah Sukamah, Maestro di Festival Payung Indonesia X

Dok.JP

SOLO, SUDUTPANDANG.ID – Festival Payung Indonesia (Fespin) X telah selesai digelar di Solo selama tiga hari, 8-10 September 2023. Kegiatan itu berlangsung dengan meriah.

Festival yang pertama kali diadakan pada 2014 itu diadakan di dua tempat, yakni Balai Kota Solo dan Pasar Gede dengan tema “Sepayung Bumi, Alam adalah Kita”.

Selama tiga hari, Fespin menjadi tempat pertemuan beragam kelompok seni, seniman, budayawan, kreator, crafter, akademisi, dan berbagai profesi lainnya.

Acara yang masuk dalam SPORTIVE 2023 – Kemenparekraf menampilkan beragam kerajinan payung dan kelompok pertunjukkan seni dari Indonesia, Thailand, India, Jepang, hingga Ekuador.
Diramaikan oleh 65 grup seni pertunjukan, 8 grup fashion show, dan 33 kelompok UMKM dan komunitas kreatif.

Dari sekian puluhan beragam kerajinan payung, ada salah satu yang mencuri perhatian para pengunjung. Adalah sosok Mbah Sukamah yang nampak sedang melukis di atas payung berukuran sedang.
Mbah Sukamah menjadi perhatian pengunjung karena perawakannya yang tua, tetapi lihai dalam membuat lukisan motif bunga di atas payung.

BACA JUGA  Usai Dipidana, Kemenkumham Bali Usir WNA Inggris Pembuat Onar

Mbah Sukamah merupakan pengrajin paying yang berasal dari Desa Sekarjati, Jepara, Jawa Tengah. Dia tak datang sendiri, Mbah Sukamah didampingi pengrajin tenun Omah Petrok Ecoweaving yang juga berasal dari Jepara.

Mbah Sukamah sudah membuat payung selama kurang lebih 60 tahun. Dia merupakan satu-satunya pelukis payung tradisi dari Jepara.

Keistiqamahan Mbah Sukamah untuk menjadi pengrajin payung hingga sekitar 3/4 dekade ini yang menjadi alasan untuk mempredikati Sukamah sebagai “maestro payung tradisi” dari Fespin.

Sukamah, yang kesehariannya membuat payung Orinan, biasanya dipesan untuk properti pertunjukan atau sekadar pajangan di rumah. Dan, tak jarang Sukamah mendapat pesanan payung untuk kematian.

Kendati tiga perempat dekade telah berlalu, cara beliau memproses karyanya tetaplah sama. Dia masih efisien (dan cukup sustainable).

BACA JUGA  Predikat Sekolah Adiwiyata Diraih 6 Sekolah di Katingan

Beliau menggunakan bahan-bahan yang mudah ditemukan di sekeliling, cukup dengan bambu, kayu mahoni, benang sulam, dan kertas semen bekas. Satu lagi yang tak kalah unik, beliau menggunakan kulit kayu waru atau lulup sebagai kuas.

Dan, untuk pewarnanya, cat kayu dicampur dengan gondo rukem yang kemudian ditumbuk dan dilelehkan dengan minyak tanah.

Satu payung motif kembang bisa dikerjakannya dalam waktu dua hari dengan harga satu payung Rp 50.000.

Dalam usianya yang telah uzur, Mbah Sukamah terus berkarya meski sadar bahwa payung kertas klasik buatannya tak lagi banyak yang membutuhkan.

Bagi Sukamah, menjadi pengrajin payung kertas tak sekadar mencari mata pencaharian. Namun, lebih dari itu, aktivitasnya merupakan bakti tulus untuk merawat dan mempertahankan warisan budaya tradisional berupa payung kertas yang bentuk, bahan, dan teknik pengerjaannya nyaris tak berubah dari tahun ke tahun.(03/JP)