Memutus dari Lingkaran Setan Pinjol

Pinjol
Konsultan Manajemen, Dr. Kemal H. Simanjuntak, MBA (Foto: Net)

“Dampak pinjol pun merembet kemana-mana, menjadi lingkaran setan. Beberapa korban melaporkan tindakan seperti menjual anak, merampok, atau melakukan korupsi akibat tekanan utang pinjol”

Oleh: Dr. Kemal H. Simanjuntak, MBA

Pinjaman online (Pinjol) menjadi kontroversi besar dalam beberapa tahun terakhir. Di satu sisi, kemudahan akses dan kecepatan proses pinjaman menjadi solusi instan bagi masyarakat yang membutuhkan dana darurat.

Namun, di sisi lain, kisah-kisah tragis dari korban pinjol yang kehilangan segalanya mengungkap sisi gelap dari sistem yang belum sepenuhnya terkendali.

Center for Financial and Digital Literacy (CFDL), pada akhir Desember 2024, mencatat ada 26 kasus bunuh diri akibat jeratan pinjol ilegal dan judi online sepanjang tahun 2024.

Dari kasus pinjol saja, tercatat ada 11 orang yang bunuh diri. Tragedi ini menegaskan dampak sosial yang mengkhawatirkan dari penyalahgunaan pinjol ilegal.

Bayangkan pula, seorang ibu rumah tangga bernama Siti, yang tinggal di desa kecil dengan pendapatan minim. Ketika suaminya jatuh sakit dan membutuhkan pengobatan, Siti tanpa pikir panjang meminjam uang melalui aplikasi pinjol.

Awalnya, jumlah pinjaman tampak kecil, hanya satu juta rupiah. Namun, dalam hitungan minggu, bunga dan denda keterlambatan melambungkan utangnya hingga tiga juta rupiah.

Ketika ia tidak mampu membayar, ancaman datang bertubi-tubi. Data pribadinya disebarkan kepada seluruh kontak di ponselnya, termasuk kepala desa dan teman-teman suaminya. Merasa malu dan tertekan, Siti akhirnya meninggalkan rumahnya.

Menurut laporan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), pada tahun 2023, terdapat lebih dari 14.000 pengaduan terkait praktik ilegal dan intimidasi oleh pinjol.

Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan, nilai outstanding pinjaman yang dilayani pinjol mencapai Rp69,39 triliun hingga akhir Juli 2024. Angka tersebut mencerminkan tingginya permintaan terhadap layanan ini, terutama di wilayah perkotaan.

BACA JUGA  Menyikapi Vonis Sambo

Namun, tingkat gagal bayar (Non-Performing Loan) di sektor pinjol mencapai 3,04 persen pada tahun 2023, jauh lebih tinggi dibandingkan sektor perbankan tradisional. OJK telah berupaya mengawasi sektor ini. Hingga Oktober 2024, hanya tersisa 97 perusahaan pinjol legal yang terdaftar, setelah beberapa perusahaan dicabut izinnya

Sayangnya, langkah OJK ini belum cukup mengatasi masalah yang paling mendasar, yakni menyadari risiko pinjol secara utuh. Generasi muda, khususnya kelompok usia 19-34 tahun, mendominasi pengguna pinjol sekaligus mencatat angka gagal bayar tertinggi. Banyak dari mereka yang terjebak dalam lingkaran utang tanpa jalan keluar

Menjadi Tragedi Kemanusiaan

Tragedi yang terjadi pun tidak hanya berdampak pada sisi finansial, tetapi juga pada kehidupan manusia. Dari kasus bunuh diri akibat pinjol, seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya, salah satu yang paling mengejutkan adalah kematian tiga anggota keluarga di Ciputat, Tangerang Selatan, pada Desember 2024.

Ayah, ibu, dan anak balita mereka ditemukan tewas, meninggalkan duka mendalam dan pesan kuat kepada pemerintah serta masyarakat tentang seriusnya dampak pinjol ilegal. Dalam kurun empat tahun terakhir, terdapat setidaknya tiga kasus serupa yang melibatkan keluarga dengan lima korban balita

Fenomena pinjol juga mencerminkan ketimpangan ekonomi dan kurangnya alternatif pembiayaan yang terjangkau bagi masyarakat. Haryono Suyono (2023) menekankan pentingnya reformasi menyeluruh dalam sistem keuangan mikro untuk mengurangi ketergantungan pada pinjol ilegal.

Selama ini, ribuan pinjol ilegal telah ditutup, tapi jumlahnya terus bertambah. Banyak platform ilegal memanfaatkan celah regulasi dan lemahnya penegakan hukum untuk tetap beroperasi

Dampak pinjol pun merembet kemana-mana, menjadi lingkaran setan. Beberapa korban melaporkan tindakan seperti menjual anak, merampok, atau melakukan korupsi akibat tekanan utang pinjol. Sektor perumahan turut terdampak.

BACA JUGA  Saatnya Reposisi Tupoksi Polri

DPP Aliansi Pengembang Perumahan Nasional mengungkapkan, jeratan pinjol menjadi salah satu penghambat utama bagi calon debitur. Banyak calon pembeli rumah subsidi gagal memperoleh kredit karena catatan mereka terganggu oleh utang pinjol, meskipun nominalnya kecil, seperti Rp200.000 atau Rp150.000.

Ekonom senior Sri Edi Swasono (2024) menyoroti bahwa regulasi yang kuat saja tidak cukup untuk menekan pertumbuhan pinjol ilegal. Ia merekomendasikan pendekatan berbasis masyarakat yang melibatkan edukasi keuangan secara masif untuk meningkatkan daya tawar individu terhadap praktik pinjaman ilegal.

Regulasi selama ini memang kurang bergigi. Meski OJK telah mengeluarkan aturan tentang fintech lending, terdapat sejumlah kelemahan mendasar dalam implementasinya.

OJK telah memblokir lebih dari 4.000 pinjol ilegal sejak 2020, tapi platform baru terus bermunculan. Bahkan Pinjaman Online ilegal sering kali beroperasi tanpa alamat yang jelas, mempersulit proses penindakan hukum.

Regulasi yang ada juga belum mampu memastikan keamanan data konsumen. Banyak data pribadi peminjam disalahgunakan untuk intimidasi atau penagihan utang yang agresif.

OJK juga telah menetapkan batas maksimum bunga harian sebesar 0,8 persen. Namun, beberapa platform menyiasatinya dengan menambahkan biaya administrasi yang tinggi sehingga tetap membebani peminjam.

Rendahnya pemahaman masyarakat tentang bunga efektif dan denda keterlambatan juga menjadi salah satu penyebab utama tingginya kasus gagal bayar pinjaman online. Prita Hapsari Ghozie (2023), mendesak pemerintah dan lembaga keuangan fokus pada pengembangan aplikasi edukasi digital untuk literasi keuangan.

Banyak peminjam tidak memahami kontrak pinjaman atau konsekuensi hukum dari gagal bayar. Hal ini menunjukkan bahwa regulasi saja tidak cukup; perlu upaya lebih untuk meningkatkan literasi keuangan masyarakat.

BACA JUGA  Sule Angkat Bicara Usai Diduga Ikut Promosikan Judi Online

Dibutuhkan langkah nyata untuk mengatasi kelemahan sistem ini. OJK perlu memperkuat kerja sama dengan Kepolisian dan Kementerian Komunikasi Digital untuk memburu dan menutup pinjol ilegal secara sistematis.

Pembentukan badan independen yang khusus menangani pengaduan dan sengketa konsumen pinjaman online juga menjadi kebutuhan mendesak. Lalu, teknologi big data dan kecerdasan buatan dapat digunakan untuk memantau aktivitas platform pinjol secara real-time dan mendeteksi penyimpangan sejak dini.

Pendidikan literasi keuangan juga harus dimasukkan dalam kurikulum di sekolah dan kampus, disertai kampanye nasional tentang bahaya Pinjaman online ilegal dan cara mengelola keuangan secara bijak. Pemerintah pun harus memperluas akses masyarakat kepada lembaga pembiayaan yang lebih terjangkau, seperti koperasi atau bank mikro.

Dengan memperkuat regulasi, meningkatkan literasi keuangan, dan memastikan perlindungan konsumen, ekosistem fintech lending dapat berkembang sehat dan berkelanjutan. Tragedi kemanusiaan akibat pinjol harus menjadi pengingat bahwa inovasi finansial harus selalu disertai tanggung jawab sosial.

Peran OJK, pemerintah, dan masyarakat sangat penting dalam menciptakan keseimbangan antara kemudahan akses dan perlindungan konsumen serta menghindari lingkaran setan berupa utang yang kian menumpuk dan terus memakan korban.

Jakarta, Rabu 1 Januari 2025
Konsultan Manajemen, GRC Specialist, and Assessor