“Negara tidak boleh menjadi penghambat inovasi, tetapi justru menjadi enabler utama. Jika kita sungguh ingin menjadikan migrasi sebagai jalan menuju kesejahteraan dan bukan sekadar pelarian ekonomi, maka sudah saatnya kita tinggalkan model P3MI yang eksploitatif”
Oleh: Dr. Kemal H. Simanjuntak, MBA
Sektor penempatan pekerja migran Indonesia (P3MI) memasuki fase yang menuntut transformasi menyeluruh. Di tengah meningkatnya jumlah penempatan secara resmi 297.434 pekerja per 2024, menurut data BP2MI kita tetap disuguhkan ironi berulang biaya tinggi, perlindungan lemah, dan minimnya inovasi dari perusahaan penempatan konvensional.
Ketika dunia bergerak menuju digitalisasi dan pasar kerja global semakin cair, industri P3MI nasional justru stagnan dalam praktik lama. Maka pertanyaannya mungkinkah lahir model alternatif yang lebih adil, murah, dan relevan dengan kebutuhan migran masa kini?
Realitas hari ini menunjukkan adanya celah besar antara layanan P3MI yang tersedia dan harapan para calon pekerja migran.
Sebagian besar dari mereka sekitar 70 persen perempuan ditempatkan pada sektor domestik dan informal, dengan risiko kerentanan yang tinggi. Pelatihan minim, transparansi lemah, dan ketergantungan penuh kepada agen-agen konvensional memperkuat ketidakberdayaan mereka di hadapan sistem yang seringkali lebih menguntungkan korporasi daripada buruh.
Dalam situasi inilah muncul kebutuhan akan model penempatan yang lebih partisipatif, berbasis komunitas, dan ditopang teknologi. Beberapa inisiatif alternatif mulai menunjukkan potensi sebagai disruptor bagi model P3MI konvensional.
Pertama, platform digital end to end yang mengintegrasikan seluruh proses perekrutan dalam satu sistem daring dari pendaftaran, pelatihan, hingga wawancara kerja. Contoh dari luar seperti LabourLink atau SkillBridge memberi gambaran bagaimana efisiensi dan transparansi bisa tercapai dengan memotong banyak lapisan birokrasi dan biaya yang tidak perlu.
Kedua, munculnya koperasi pekerja migran berbasis komunitas yang memberikan ruang bagi migran untuk memiliki kendali lebih besar atas proses penempatan mereka. Alih-alih menjadi objek rekrutmen, mereka menjadi subjek yang menentukan arah, termasuk dalam hal negosiasi kontrak dan asuransi. Koperasi ini juga mendorong reinvestasi keuntungan untuk program pemberdayaan setelah migran kembali ke tanah air. Ini bukan sekadar skema penempatan, tetapi fondasi ekonomi rakyat.
Ketiga, jaringan alumni BLK dan SMK menjadi simpul penting dalam membangun penempatan berbasis keterampilan. Di beberapa daerah, alumni-alumni ini telah menjalin kerjasama langsung dengan user di luar negeri, misalnya Jepang, lewat skema pemagangan atau G2G. Basis pendidikan vokasi yang mereka miliki menjadikan proses lebih efisien, akuntabel, dan terhindar dari eksploitasi.
Tak kalah penting, diaspora Indonesia di luar negeri juga mulai memainkan peran sebagai agen moral. Mereka menjadi penghubung antara pencari kerja di Indonesia dan user di negara tujuan secara lebih personal dan etis. Beberapa dari mereka bahkan membentuk komunitas berbasis trust untuk merekomendasikan kandidat yang layak, sambil memastikan perlindungan di tempat kerja. Dalam konteks ini, penempatan migran berubah dari transaksi menjadi relasi sosial yang saling menguatkan.
Selain itu, model penempatan kini juga merambah ke ruang-ruang digital. Pekerjaan freelance global seperti desain grafis, penerjemahan, hingga customer service berbasis daring membuka peluang kerja migran tanpa harus meninggalkan rumah. Model ini belum banyak dijamah oleh P3MI konvensional, padahal prospeknya sangat menjanjikan, terutama bagi lulusan muda dan perempuan yang memiliki keterbatasan mobilitas.
Pakar tenaga kerja internasional, Prof. Sandra Lee (University of Taiwan), menekankan bahwa pelatihan soft skills seperti komunikasi, adaptabilitas, dan literasi digital terbukti secara empiris meningkatkan kinerja dan kepuasan kerja para pekerja migran. Dalam sebuah studi tahun 2023, disebutkan bahwa “soft skills training significantly improves job performance and satisfaction among workers.”
Tanpa kemampuan ini, migran kerap mengalami isolasi dan kesulitan bernegosiasi dalam relasi kerja. Maka, pelatihan semacam ini semestinya menjadi komponen wajib dalam model-model alternatif yang tengah tumbuh.
Tentu, bukan berarti P3MI konvensional tidak punya ruang untuk berubah. Justru, momen ini bisa menjadi titik balik bagi mereka untuk melakukan transformasi strategis. Perusahaan harus mulai mengadopsi digitalisasi menyeluruh, memperkuat kolaborasi dengan komunitas lokal dan BLK, serta meluaskan cakupan sektor kerja formal maupun digital.
Penempatan tidak lagi cukup jika hanya mengandalkan jalur informal domestik yang berisiko tinggi. Diversifikasi sektor dan peningkatan kualitas SDM adalah keharusan, bukan pilihan. Negara melalui BP2MI dan Kemnaker sebenarnya telah menyediakan ekosistem digital seperti SIAPkerja dan SiskoP2MI yang dapat menjadi platform nasional integratif.
Namun, implementasinya sering kali masih tambal sulam dan terhambat oleh rendahnya literasi digital pada level pelaksana. Di sisi lain, desakan dari pekerja dan komunitas migran yang makin melek informasi menciptakan tekanan positif agar sistem ini segera dibenahi.
Negara tidak boleh menjadi penghambat inovasi, tetapi justru menjadi enabler utama. Jika kita sungguh ingin menjadikan migrasi sebagai jalan menuju kesejahteraan dan bukan sekadar pelarian ekonomi, maka sudah saatnya kita tinggalkan model P3MI yang eksploitatif. Kita butuh pendekatan baru yang memadukan teknologi, kepercayaan komunitas, dan perlindungan hukum yang kokoh.
Model alternatif yang berbasis koperasi, diaspora, dan digitalisasi bukan sekadar gagasan eksotis, melainkan kebutuhan yang mendesak. Masa depan P3MI tidak harus dimonopoli oleh perusahaan- perusahaan besar yang tidak adaptif. Justru, ia bisa dibentuk oleh komunitas- komunitas kecil, oleh alumni BLK yang punya semangat berbagi, oleh diaspora yang punya kepedulian, dan oleh anak-anak muda yang punya kemampuan teknologi. Dalam banyak hal, masa depan itu bahkan sudah mulai datang.
*Penulis Dr. Kemal H Simanjuntak, MBA adalah Konsultan Manajemen | GRC Expert | Asesor LSP Tatakelola, Risiko, Kepatuhan (TRK)