Mengoreksi Gengsi: Membangun Masa depan dengan Prioritas Rasional

Gengsi
Kemal H Simanjuntak (Foto: Net)

“Ini bukan semata-mata soal kebahagiaan, tetapi soal tekanan sosial: kebutuhan untuk “tampil layak” di mata tetangga dan kerabat”

Oleh: Kemal H Simanjuntak

Di sebuah sudut kampus negeri, seorang mahasiswa bercerita lirih: ia terpaksa menunda studinya karena biaya yang seharusnya digunakan untuk kuliah dialihkan keluarganya demi menggelar pesta adat 40 hari kematian neneknya.

“Ini untuk menjaga nama baik keluarga,” katanya.

Sebuah kisah nyata yang mencerminkan pergulatan sosial ekonomi di Indonesia hari ini: antara gengsi dan masa depan.

Fenomena serupa kian akrab di berbagai lapisan masyarakat. Dalam salah satu video dokumenternya, Dedi Mulyadi mengisahkan seorang ibu di Purwakarta yang bersikeras mengadakan pesta kelulusan anaknya secara mewah, walaupun mereka masih tinggal di rumah kontrakan.

Ini bukan semata-mata soal kebahagiaan, tetapi soal tekanan sosial: kebutuhan untuk “tampil layak” di mata tetangga dan kerabat.

Di permukaan, kejadian-kejadian ini tampak sebagai persoalan biasa bagian dari adat, tradisi, atau rasa hormat. Namun di balik itu, tersembunyi sebuah paradoks besar, bangsa ini sedang berjuang mengatasi kerentanan ekonomi struktural, sementara di sisi lain, masyarakatnya terus membebani diri sendiri dengan pengeluaran seremonial yang tidak produktif.

Data dari Macro Poverty Outlook 2025 Bank Dunia memberi konfirmasi keras. Per Maret 2025, tingkat kemiskinan nasional Indonesia tercatat 9,2%, atau sekitar 25,8 juta jiwa.

Namun jika menggunakan standar garis kemiskinan internasional untuk negara berpendapatan menengah atas yakni 6,85 dolar AS (PPP) per hari sebanyak 60,3% populasi Indonesia tergolong rentan miskin.

BACA JUGA  Pemerintah Jangan Buka Ruang Pengadilan Jalanan: Kembalikan Marwah PWI

Ini berarti enam dari sepuluh orang Indonesia berada hanya sedikit di atas batas kemiskinan dan sangat mudah terlempar kembali ke dalamnya oleh guncangan ekonomi.

Jika dibandingkan dengan negara tetangga di ASEAN, ketimpangan ini menjadi semakin nyata. Malaysia mencatatkan tingkat kemiskinan sekitar 5,6 persen, Thailand 5,7 persen, dan Vietnam bahkan lebih rendah di angka 4,8 persen.

Filipina memang lebih tinggi, dengan kemiskinan nasional sebesar 18,1 persen, tetapi dari sisi kerentanan, Indonesia dan Filipina bersaing ketat: 60,3 persen di Indonesia versus 58,4 persen di Filipina.

Malaysia dan Thailand relatif lebih aman, dengan tingkat kerentanan masing-masing sekitar 24,8 persen dan 28,2 persen, sementara Vietnam di kisaran 32 persen.

Realitas ini menunjukkan bahwa meskipun angka kemiskinan ekstrem berhasil ditekan, fondasi ekonomi rakyat Indonesia tetap rapuh. Dan kerentanan ini diperparah oleh gaya hidup yang lebih mengutamakan tampilan sosial ketimbang ketahanan jangka panjang.

Fenomena ini bukanlah hal baru dalam kajian ilmu sosial. Thorstein Veblen, sosiolog Amerika abad ke-19, dalam karyanya The Theory of the Leisure Class mengenalkan konsep “conspicuous consumption” konsumsi yang bertujuan mempertunjukkan status sosial, bukan untuk memenuhi kebutuhan riil.

Dalam masyarakat seperti ini, prioritas hidup bergeser: bukan pada pemenuhan kebutuhan dasar, tetapi pada bagaimana orang lain memandang kita.

Jean Twenge, psikolog sosial kontemporer, dalam bukunya Generation Me juga menyoroti kecenderungan generasi modern untuk mengejar validasi eksternal. Mereka rela berutang, mengorbankan masa depan finansial, demi mempertahankan citra keberhasilan di mata publik.

BACA JUGA  Pemerintah Targetkan Pertumbuhan Ekonomi 2022 di Atas 5 Persen

Di Indonesia, tekanan sosial untuk “menjaga muka” diperparah oleh norma adat dan budaya kolektif. Umar Kayam, budayawan Indonesia, menyebutnya “budaya wajib hajatan” sebuah tuntutan sosial yang membuat banyak keluarga memaksakan diri mengadakan pesta, bahkan ketika kondisi ekonomi mereka tidak memadai.

Masalahnya, di tengah angka kerentanan yang tinggi, perilaku ini bukan sekadar soal budaya atau tradisi. Ia telah menjadi faktor struktural yang memperdalam ketidaksetaraan, memperlambat mobilitas sosial, dan memperbesar risiko kemiskinan antargenerasi.

Pentingnya Reorientasi Sosial

Dalam konteks ini, pembangunan ekonomi tidak cukup hanya mengandalkan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) atau ekspansi infrastruktur. Kita memerlukan reorientasi nilai sosial: menempatkan rasionalitas, ketahanan, dan investasi masa depan di atas tekanan budaya gengsi.

  • Pertama, pendidikan finansial harus diprioritaskan, bahkan sejak bangku sekolah dasar. Anak-anak perlu diajarkan prinsip dasar pengelolaan uang, prioritas kebutuhan versus keinginan, serta pentingnya investasi pada aset produktif seperti pendidikan dan kesehatan.
  • Kedua, media massa dan tokoh publik harus berperan aktif membentuk narasi baru: bahwa memilih pendidikan ketimbang pesta adalah tindakan terhormat, bukan aib. Bahwa berhemat demi membangun masa depan adalah bentuk kebanggaan, bukan rasa malu.
  • Ketiga, kita perlu memperluas makna kesuksesan sosial. Keberhasilan sejati bukan diukur dari kemewahan perayaan, melainkan dari kemandirian ekonomi, integritas, dan kontribusi nyata terhadap masyarakat.

Ekonom peraih Nobel, Amartya Sen, dalam Development as Freedom menekankan bahwa pembangunan sejati bukan hanya soal pertumbuhan ekonomi, melainkan tentang memperluas pilihan-pilihan hidup yang bermakna.

BACA JUGA  Uten Sutendy : Kang Dedi Mulyadi dalam Tiga Dimensi

Dalam konteks Indonesia, ini berarti menciptakan kondisi di mana individu bebas dari tekanan sosial irasional yang membatasi pilihan rasional mereka.

Saatnya Memilih Masa Depan Keberanian untuk mengatakan “tidak” pada tekanan sosial yang tidak produktif adalah langkah pertama menuju masa depan yang lebih baik.

Masyarakat harus mulai berani menunda kesenangan instan demi membangun ketahanan jangka panjang. Pemerintah, lembaga pendidikan, komunitas lokal, hingga media, semua memiliki peran dalam perubahan ini.

Jika tidak, bangsa ini akan terus terperangkap dalam siklus “berpesta di atas kerentanan” sebuah jalan yang menggerus harapan akan mobilitas sosial, memperdalam jurang ketidaksetaraan, dan menghambat pembangunan inklusif.

Masa depan bangsa ini tidak akan dibentuk oleh megahnya pesta perayaan, melainkan oleh keputusan-keputusan kecil namun fundamental: membayar biaya kuliah ketimbang mengadakan hajatan, menabung untuk masa depan anak ketimbang membeli status sosial sesaat.

Sebagaimana pepatah bijak mengatakan: “Orang kuat membangun masa depan; orang lemah mempertahankan gengsi.”

Kini saatnya Indonesia memilih jalannya sendiri.