Jakarta, SudutPandang.id-Dalam UUD 1945 Pasal 2 ayat (3) jelas dan tegas menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Namun, kenyataan penegakan supremasi hukum di Indonesia masih jauh dari harapan, khususnya bagi rakyat pencari keadilan. Rakyat kerap tertatih mencari keadilan ketika dizholimi, tetapi siapa yang mampu membantah kalau krusialnya persoalan hukum masih dominan dirasakan oleh masyarakat si pencari keadilan dari para penegak hukum.
Banyak faktor penyebab hukum belum menjadi panglima tertinggi di negeri ini. Di antaranya salah kaprah dan semakin melenceng jauh terperosok karena hanya mengandalkan syahwat kekuasaan yang dikombinasikan dengan berbagai bentuk sepak terjang arogansi belaka. Sikap oknum penegak hukum itu sangat menyakiti hati rakyat.
Hal miris yang menjadi sorotan terkait proses seleksi calon Hakim Agung. Belum apa-apa sudah dicecar habis dan dipermalukan secara akademis dengan menguak aib para kandidat yang belum tentu benar sebagaimana kerap diisukan dan kemudian dipublikasikan secara vulgar. Padahal pada akhirnya di antara para kandidat hanya segelintir yang lolos. Bagi yang namanya tidak lolos, mereka sudah ditelanjangi habis-habisan dalam proses panjang yang melelahkan sejak di Komisi Yudisial (KY) hingga Komisi III DPR-RI.
“Lebih sakit lagi ketika prosedur serta tahapan-tahapan hukum menjadi berbelok-belok dan berliku-liku saat yang salah mau dijadikan benar atau yang benar dijadikan salah,” ujar seorang pensiunan penegak hukum di Jakarta, Sabtu (14/3/2020).
Sebagaimana diketahui, bahwa belum lama ini Ketua Mahkamah Agung melantik 5 Hakim Agung dan 3 Hakim Ad Hoc. Ternyata tidak ada satupun dari Hakim Agung untuk Tata Usaha Negara (TUN) bidang pajak. Padahal kebutuhan mendesak dirasakan banyak pihak, khususnya bagi pemerintah yang belakangan ini seringkali kalah berperkara di pengadilan lantaran minimnya MA memiliki Hakim Agung khusus pajak TUN. Sudah sekian lama tidak ada penambahan wajah baru yang mumpuni di bidangnya.
Tak terbantahkan, betapa masyarakat sangat mengharapkan sengketa pajak dapat diselesaikan dengan cepat dengan adanya Hakim Agung di bidang TUN. Keberadaannya menjadi penting di tengah Seharusnya semakin ditambahkan seikasus pajak yang belakangan semakin menggila terjadi tumpang tindih dirasakan rakyat juga pemerintah.
PK Salah Kaprah
Kemudian, perihal Kejaksaan yang dinilai tidak memahami putusan kasasi MA atas bebasnya mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) terkait perkara kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Seperti diungkapkan Pakar Hukum, Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa. Salah satu putra terbaik bangsa ini menilai Jaksa telah salah kaprah dalam melakukan upaya banding peninjauan kembali (PK) ke MA, meski UU menyatakan Jaksa tidak berhak untuk melakukan upaya hukum tersebut.
“Tidak ada legal standing bagi Jaksa KPK, karena Pasal 263 Ayat (1) KUHAP dengan jelas telah menentukan bahwa PK hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya. Jaksa KPK tidak punya hak untuk menafsirkan norma dalam undang-undang, dalam hal ini KUHAP,” ujar Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung ini dalam keterangannya di Jakarta, belum lama ini.
Menurut Pantja Astawa, penafsiran yang dilakukan Jaksa KPK telah melanggar prinsip hukum yang bersifat universal ‘interpretatio cessat in claris’.
“Kalau teks atau redaksi suatu UU telah jelas, maka tidak diperkenankan lagi menafsirkannya. Sebab, penafsiran terhadap kata-kata yang telah jelas, berarti penghancuran (interpretatio est perversio). Selain menimbulkan ketidakpastian hukum, MA dalam surat keputusannya pun sudah memberikan petunjuk yang jelas bahwa hanya terpidana atau ahli warisnya yang dapat mengajukan PK,” ungkap Pantja Astawa.
Ia mengaku sependapat dengan para ahli hukum yang menyampaikan pandangan serupa dengan dirinya dalam persidangan PK di Pengadilan Tipikor Jakarta. Menurutnya, keterangan yang disampaikan Dr. Hamdan Zoelva dan Dr. Chairul Huda jelas dan tegas bahwa PK hanya boleh diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya.
Begitu juga dengan pandangan Prof. Indriyanto Seno Adji di berbagai media massa, yang juga menyatakan hal serupa, bahwa PK bukanlah hak dari penegak hukum. Ia menegaskan, tidak ada alasan apapun dari Jaksa yang dapat dipertimbangkan, karena tidak mempunyai kedudukan hukum untuk mengajukan PK.
“MA harus konsisten dengan keputusannya sendiri dengan menyatakan PK tersebut tidak dapat diterima demi wibawa hukum dan kepastian hukum,” tegas pria kelahiran Denpasar ini.(for)