“Selamat Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia. Semoga semangat nasionalisme tetap hidup di hati setiap anak bangsa, tidak hanya sebagai simbol, tetapi sebagai api yang menyala dalam tindakan nyata.”
Oleh Umi Sjarifah
Agustus selalu datang dengan cerita yang sama, merah putih berkibar di tiang bambu di halaman rumah, anak-anak riang mengikuti lomba, dan doa-doa syukur yang mengalun di surau dan gereja. Namun, bagi Presiden Prabowo Subianto, kemerdekaan yang dirayakan setiap 17 Agustus bukanlah titik akhir. Ia adalah perjalanan yang belum selesai, janji yang harus ditepati kepada setiap rakyat Indonesia.
Delapan puluh tahun Indonesia merdeka adalah usia yang sarat makna. Usia ini menegaskan betapa bangsa kita telah melalui perjalanan panjang, penuh lika-liku sejarah yang diwarnai pengorbanan dan perjuangan. Kemerdekaan adalah anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa. Namun, anugerah itu tidak datang begitu saja. Ia lahir dari keberanian para pejuang bangsa yang mempertaruhkan nyawa demi satu kata yang sakral, yakni “merdeka”.
Kita tidak boleh lupa bahwa kemerdekaan adalah hasil dari warisan perjuangan. Bung Karno, Bung Hatta, Cut Nyak Dhien, Jenderal Sudirman, dan para pahlawan lainnya menorehkan jejak tak terhapuskan. Mereka berkorban tanpa pamrih, dengan keyakinan bahwa generasi setelah mereka akan hidup lebih bermartabat. Warisan itu tidak hanya berupa negara merdeka, tetapi juga semangat juang, keberanian menghadapi tantangan, dan cinta tanah air yang harus kita rawat sepanjang masa.
Namun, setelah 80 tahun merdeka, kita harus bertanya kepada diri sendiri. Sudahkah kita menjaga warisan itu dengan sebaik-baiknya?. Tantangan bangsa kini memang berbeda. Kita tidak lagi mengangkat bambu runcing melawan penjajah, tetapi kita berhadapan dengan penjajahan dalam bentuk baru, yakni kemiskinan, ketidakadilan, korupsi, kesenjangan sosial, polarisasi politik, hingga ancaman globalisasi yang bisa mengikis jati diri bangsa.
Di tengah tantangan itu, persatuan menjadi kunci. Bangsa yang besar tidak akan runtuh karena serangan dari luar, tetapi akan hancur jika tercerai-berai dari dalam. Kita sering mendengar pepatah lama, “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.” Inilah pesan abadi yang harus terus kita pegang.
Perbedaan suku, agama, budaya, dan pandangan politik adalah realitas yang tak bisa dihindari. Namun, perbedaan itu seharusnya menjadi kekayaan, bukan alasan untuk terpecah. Indonesia adalah rumah besar yang menampung semua anak bangsa, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote. Di rumah besar itu, kita dituntut untuk saling menghormati, saling menjaga, dan saling menguatkan.
Persatuan adalah kekuatan. Ketika kita bersatu, kita mampu menghadapi krisis ekonomi, bangkit dari bencana, melawan terorisme, dan beradaptasi dengan perubahan zaman. Sebaliknya, ketika kita terjebak dalam perpecahan, kita justru membuka celah bagi masalah semakin besar. Karena itu, menjaga persatuan bukan sekadar slogan, melainkan kebutuhan nyata agar Indonesia tetap tegak berdiri.
Delapan puluh tahun merdeka juga harus menjadi momentum untuk introspeksi. Apakah kita sudah mewarisi semangat para pendiri bangsa dalam kehidupan sehari-hari?. Apakah kita sudah meneladani kejujuran, integritas, dan keberanian mereka?. Apakah kita sudah menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi dan kelompok?. Pertanyaan-pertanyaan ini penting, sebab cinta tanah air bukan hanya diucapkan saat upacara, melainkan diwujudkan dalam kerja keras dan kejujuran dalam kehidupan sehari-hari.
Apapun yang terjadi, Indonesia adalah tanah air kita bersama. “Merdeka adalah anugerah, persatuan menjadi kekuatan” bukan sekadar kata-kata indah, melainkan pedoman yang harus terus dijaga. Kita harus belajar dari masa lalu, menata masa kini dengan bijak, dan menyiapkan masa depan dengan penuh harapan.
Selamat Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia. Semoga semangat nasionalisme tetap hidup di hati setiap anak bangsa, tidak hanya sebagai simbol, tetapi sebagai api yang menyala dalam tindakan nyata. Karena kemerdekaan bukan akhir perjalanan, melainkan awal dari perjuangan panjang yang tak pernah selesai.
*Penulis adalah Pemimpin Redaksi Media Sudut Pandang