“Wacana penambahan masa jabatan presiden akan menghambat demokrasi. Terlebih saat ini Indonesia sedang dihantam pandemi COVID-19 yang belum maksimal penanganannya.”
Oleh Dr. H. Amirsyah Tambunan, MA
Salah satu filosofi negara hukum adalah menjadikan hukum sebagai panglima. Artinya, hukum harus ditegakkan untuk menjamin rasa keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Khusus upaya menegakkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat sejatinya sangat ditentukan oleh kepala negara, karena kepala negara memegang kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan.
Indonesia sebagai negara hukum telah melalui masa sulit dalam setiap periodisasi masa jabatan Presiden. Karena itu Konstitusi UUD 1945 sebagai dasar negara telah mengalami tantangan dalam praktik kepemimpinan nasional.
Pertama, sebelum amandemen Pasal 7 Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.
Kedua, setelah amandemen Pasal 7 Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
Kemudian Pasal 7A Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Sementara itu di tengah suasana negara yang sulit menghadapi pandemi COVID-19, muncul isu untuk melakukan amandemen terhadap UUD 45 yang di antaranya akan mengembalikan MPR RI menjadi lembaga negara tertinggi dan membahas soal penambahan masa jabatan presiden.
Dalam kaitan ini elit politik harus belajar dari kondisi negara yang sulit seperti saat ini, terutama pada sejarah kepemimpinan Soeharto yang dilengserkan oleh rakyat karena faktor ekonomi.
Wacana penambahan masa jabatan presiden akan menghambat demokrasi. Terlebih saat ini Indonesia sedang dihantam pandemi COVID-19 yang belum maksimal penanganannya.
Kejenuhan masyarakat dengan keadaan ekonomi yang masih juga belum membaik dapat memicu gelombang besar jika isu penambahan masa jabatan presiden menguat.
Jadi, masa jabatan Presiden dua periode itu sudah cukup, karena masih banyak anak bangsa yang bisa meneruskan estafet kepemimpinan nasional serta mampu mengembalikan pemulihan ekonomi dari situasi COVID-19 agar keadaan ekonomi menjadi lebih baik.
Dalam kaitan itu pula setidaknya ada tiga tantangan yang dihadapi pemerintah. Pertama, mengatasi masalah COVID-19 dan pemulihan ekonomi. Kedua, perubahan iklim. Ketiga, revolusi Industri 4.0.
Jika pemerintah sukses mengatasi tiga tantangan tersebut, maka kepemimpinannya akan berakhir dengan husnul khotimah. Namun jika MPR, DPR, dan DPD bersama pemerintah memaksakan membahas perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode, maka rakyat akan melakukan perlawanan berdasarkan konsitusi, sehingga bisa berdampak pada stabilitas dan keamanan nasional yang akan membuat masyarakat susah.
*Penulis Dr. H. Amirsyah Tambunan, MA adalah Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (Sekjen MUI).