Neokolonialisme Tambang: Sah Hukum, Renggut Kedaulatan

Tambang
Dr. Kemal H Simanjuntak, MBA adalah Konsultan Manajemen | GRC Expert | Asesor LSP Tatakelola, Risiko, Kepatuhan (TRK)

“Narasi pemerintah tentang kedaulatan ekonomi, keberhasilan hilirisasi, dan nasionalisasi tambang tampak kontras dengan kenyataan. Di balik penguasaan saham mayoritas, kendali riil tetap asing. Di balik janji pembangunan, rakyat tetap menjadi penonton. Di balik keberhasilan formal, sumber daya kita tetap terhisap oleh jaringan investor global yang tak terlihat”

Oleh: Dr. Kemal H Simanjuntak, MBA

Neokolonialisme tambang di Indonesia tak lagi berbentuk penjajahan bersenjata, melainkan melalui mekanisme investasi, kepemilikan saham, dan regulasi yang merugikan kedaulatan nasional. Meski negara menguasai saham mayoritas di Freeport Indonesia, kendali substansial tetap berada di tangan investor global.

Artikel ini mengulas bagaimana tambang yang sah secara hukum justru menggerogoti kedaulatan rakyat, serta menyuarakan perlunya keberanian politik untuk merebut kembali kendali atas sumber daya nasional.

Indonesia dikenal sebagai negeri kaya sumber daya alam, terutama dari sektor pertambangan seperti tembaga, emas, dan nikel. Namun, kekayaan ini lebih sering menjadi kutukan dari pada berkah. Alih-alih mendatangkan kemandirian ekonomi dan kesejahteraan rakyat, pengelolaan tambang justru menunjukkan wajah dominasi asing yang sah secara hukum, namun timpang secara moral dan struktural.

Inilah wajah neokolonialisme baru tanpa senjata, tanpa pasukan, tetapi berhasil menundukkan kedaulatan. Hilirisasi mineral, yang terus digaungkan pemerintah, bukanlah ide baru. Sejak masa Orde Baru, pemerintah telah menekan perusahaan seperti Freeport untuk membangun smelter dalam negeri demi menghentikan ekspor bahan mentah.

BACA JUGA  Viral, Beredar Video Jonathan Frizzy Lamar Ririn Dwi Aryanti

Pada 1997, berdirilah PT Smelting, kerja sama Freeport dan Mitsubishi Materials. Namun hingga kini, kapasitasnya kecil dan stagnan. Freeport tetap mengekspor konsentrat tembaga dengan leluasa. Ketegasan pemerintah hanya terlihat dalam retorika, bukan realisasi kebijakan.
Relasi antara negara dan korporasi seperti Freeport selalu tarik-ulur. Pada masa Presiden Megawati, Freeport sempat dilarang beroperasi karena gagal memenuhi kewajiban divestasi.

Di era SBY, mereka kembali beroperasi setelah menandatangani nota kesepahaman. Pada masa Presiden Joko Widodo, negara tampak lebih berani dengan menguasai 51% saham Freeport Indonesia melalui Inalum. Namun kontrol strategis tetap tidak berpihak kepada publik. Smelter yang dijanjikan sejak lama pun belum rampung, bahkan terus tertunda, termasuk karena kebakaran akhir 2024 sementara izin ekspor tetap diperpanjang.

Dalih “sudah memiliki saham di PT Smelting” digunakan Freeport untuk menghindari kewajiban membangun smelter baru. Padahal, volume dan kapasitasnya jauh dari cukup. Pemerintah terlihat permisif, bahkan defensif, ketika kepentingan nasional berbenturan dengan kepentingan investor global. Hukum kehilangan ketegasannya saat berhadapan dengan kapital besar.

Lebih dalam lagi, struktur kepemilikan saham memperlihatkan realitas tersembunyi. Meski Inalum kini pemegang mayoritas saham Freeport Indonesia, dana pembelian saham berasal dari penerbitan global bond. Investor utamanya adalah institusi keuangan global seperti BlackRock, Vanguard Group, dan State Street. Dengan demikian, kontrol ekonomi atas tambang Indonesia tetap berada di tangan mereka yang jauh di luar republik ini.

BACA JUGA  Kemenkumham Bali Lakukan Investigasi Terbakarnya Wisma Hunian Lapas Kerobokan

Pola serupa terjadi di tempat lain. Di Raja Ampat, tambang nikel dikelola Antam bersama BHP Group, yang juga dikuasai oleh investor global yang sama. Kolaborasi strategis antara BUMN dan korporasi asing seolah nasionalistik di permukaan, padahal sarat subordinasi. Yang diuntungkan hanyalah segelintir elite nasional dan pemilik modal lintas negara. Sementara itu, rakyat Papua tetap miskin, lahan rusak, dan generasi muda menjadi buruh migran karena tanah mereka tak lagi bisa ditanami.

Pertanyaannya, mengapa Freeport ogah membangun smelter yang memadai?
Salah satu jawabannya adalah logam ikutan dalam konsentrat tembaga emas, uranium, dan logam tanah jarang. Jika dimurnikan di dalam negeri, semua hasil ini akan terdeteksi dan dikenai pajak.

Jika diekspor mentah, mereka dapat diproses di luar negeri tanpa pengawasan otoritas Indonesia. Penundaan smelter bukan karena ketidaksanggupan teknis, melainkan strategi menghindari kewajiban fiskal dan audit sumber daya.

Narasi pemerintah tentang kedaulatan ekonomi, keberhasilan hilirisasi, dan nasionalisasi tambang tampak kontras dengan kenyataan. Di balik penguasaan saham mayoritas, kendali riil tetap asing. Di balik janji pembangunan, rakyat tetap menjadi penonton. Di balik keberhasilan formal, sumber daya kita tetap terhisap oleh jaringan investor global yang tak terlihat.

Neokolonialisme ini berbeda dari bentuk kolonialisme lama. Ia hadir melalui mekanisme investasi, regulasi, dan kepemilikan saham. Negara menjadi fasilitator bukan pelindung, hukum menjadi alat legitimasi, bukan keadilan. Ironinya, penjajahan ini dirayakan sebagai keberhasilan pembangunan.

BACA JUGA  Catatan Akhir Tahun 2022: Pergerakan SMSI untuk Pers Indonesia

Sebetulnya, akar masalah ini bukan pada asing semata, tetapi pada krisis kepemimpinan nasional. Tak cukup hanya memiliki jabatan atau saham; yang dibutuhkan adalah keberanian untuk memutus ketergantungan dan berpihak pada rakyat. Tan Malaka pernah berkata, “Barang siapa ingin membebaskan orang lain, harus rela kehilangan dirinya.”

Bung Karno mengingatkan bahwa perjuangan melawan bangsa sendiri yang sudah dijajah mental dan pikirannya jauh lebih berat daripada melawan penjajah asing. Jika Indonesia tidak segera merebut kembali kendali substansial atas sumber daya alamnya, kekayaan itu akan terus menjadi milik orang lain.

Rakyat hanya kebagian debu jalanan tambang, sementara hasilnya mengalir ke pusat-pusat keuangan global. Inilah penjajahan abad ke-21 lebih licin, lebih sah, tapi lebih menghancurkan martabat bangsa.

*Penulis Dr. Kemal H Simanjuntak, MBA adalah Konsultan Manajemen | GRC Expert | Asesor LSP Tatakelola, Risiko, Kepatuhan (TRK)