OC Kaligis: Benarkah Era Reformasi Menghasilkan Restorasi Hukum?

OC Kaligis
OC Kaligis (Foto:dok.SP)

Sukamiskin, Jumat 10 Desember 2021.
Hal: Benarkah Era Reformasi Menghasilkan Restorasi Hukum?
Surat terbuka untuk semua golongan pemerhati hukum.

Rakyat yang saya hormati,

Kemenkumham Bali

Saya Prof. Otto Cornelis Kaligis, pemerhati hukum, kini lagi dipenjarakan di Lapas Sukamiskin, dicap sebagai warga binaan koruptor tanpa bukti, tanpa merampok uang negara, hendak membagi pengalaman dan pengetahuan saya, mengenai carut marutnya penegakkan hukum dewasa ini, di tanah air kita, yang urutan uraiannya adalah sebagai berikut.:

1. Kebetulan hari ini, tanggal 10 Desember dimana dunia memperingati Hari Hak Asasi Manusia.

2. Dikenal dengan nama HAM yang dalam penegakkan hukum arti HAM tidak berlaku untuk masyarakat pinggiran, masyarakat miskin.

3. Buktinya si miskin yang memperjuangkan hak asasinya dikesampingkan, ketika secara sewenang wenang mereka dianiaya, disiksa oleh seorang pemegang kuasa bernama Novel Baswedan.

4. Pekik permohonan keadilan mereka, didiamkan begitu saja, oleh para penegak hukum, yang punya kuasa menegakkan hukum di Bumi Indonesia ini.

5. Bahkan Novel Baswedan yang oleh undangundang telah dipecat sebagai Aparatur Sipil Negara, kembali di usia 44 tahun ditetapkan sebagai ASN di Kepolisian, untuk kemudian kembali ke KPK, di tempat dimana dia bertindak secara otoriter sebagai Penyidik KPK. Catatan saya,: Maximum usia untuk jadi ASN adalah 35 tahun.

6. Otomatis perkara pidana dugaan penganiayaan dan pembunuhan yang sekarang lagi sengaja digantung oleh Kejaksaan, urung dimajukan ke Pengadilan sesuai perintah Pengadilan.

7. Perjuangan lanjut Novel Baswedan, adalah mengkriminalisasi Firli Bahuri dan mungkin juga melakukan perlawanan terhadap Kapolri.

8. Hal itu berani dilakukan Novel Baswedan karena sudah terbukti Novel Baswedan kebal hukum, akibat dukungan Media, Mata Najwa, LSM, Ombudsman, Komnas HAM dan mungkin “tangan tangan kotor dan kuat” di belakang Novel Baswedan, sehingga Novel Baswedan tak segan segan melakukan pelanggaran hukum.

9. Itulan fenomena peradilan di Indonesia, yang terjadi di semua linie. Mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan, putusan peradilan sampai ke tingkat Kementerian hukum dan HAM, dimana para warga binaan, dalam rangka pembinaan, memperoleh perlakuan yang tebang pilih, perlakuan diskriminatif.

10. Berapa banyak warga binaan miskin, yang telah habis masa penahanannya tetap di-lapas-kan, hanya karena sama sekali tidak punya “uang pelumas”, biaya yang biasa dan lazim terjadi, bila yang bersangkutan sudah seharusnya bebas.

11. Belum lagi diskriminasi dalam pemberian remisi, cuti menjelang bebas, assimilasi dan semua hak warga binaan yang seharusnya diperoleh berdasarkan pasal 14 UU Nomor 12/1995 yang dikenal sebagai UU

12. Sekalipun sejak 30 September 2021 putusan MK dan MA menetapkan bahwa sejak putusan itu, hanya Kementerian Hukum dan HAM sebagai satu satunya yang punya otoritas memberikan hak- hak warga binaan, tanpa campur tangan KPK, perlakuan tanpa diskriminasi terhadap para warga binaan, sampai detik ini, belum terlaksana.

13. Suap atau penerimaan hadiah sebesar 5-10 juta rupiah disaring sebagai perbuatan korupsi dengan vonis 2 sampai 5 tahun. Betapa negara dirugikan untuk biaya hidup mereka selama di Lapas.  Padahal wewenang  KPK menjaring korupsi untuk kerugian negara berjumlah satu miliar rupiah ke

14. Dengan lahirnya era Reformasi, dibuatlah bermacam-macam perangkat hukum, seolah-olah para pemimpin negara ini, benar berniat menjadikan NKRI sebagai negara hukum berlandaskan Konstitusi dan Pancasila.

15. Dimulai dengan undangundang melawan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme KKN), Undangundang Nomor 28/1999.

16. Kemudian Undangundang Korupsi, UU Nomor 31 tahun 1999, yang dapat menjaring siapa saja yang diasumsikan “dapat” menimbulkan kerugian negara.

17. Tentu kata “dapat” tersebut tergantung dari intepretasi penyidik atau penuntut umum. Sekalipun putusan MK. No. 25/2016 telah menghapus kata “dapat” tersebut, tetap saja KPK menjaring para tersangka, melalui asumsi atau melalui hasil pemeriksaan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), bukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

18. Selanjutnya pembentukan Undang undang KPK UU Nomor 30 tahun 2002. Terbentuknya KPK yang sifatnya ad hoc, dibentuk untuk meningkatkan kemampuan polisi dan jaksa dalam pemberantasan korupsi.

19. Sekalipun ad hoc, terbukti kekusaan KPK yang tanpa batas, bahkan anarkis berhasil, mengabaikan koordinasi dengan kepolisian dalam kegiatan pemberantasan korupsi.

20. Untuk mengawasi tertib pelaksanaan undangundang agar tidak bertentangan dengan konstitusi, terbentuklah UU Mahkamah Konstitusi nomor 24 tahun 2003. Keputusan MK yang erga omnes, adalah putusan akhir yang tak dapat dibanding (final and binding).

21. Berikut beberapa putusan MK yang diabaikan oleh penegak hukum.

22. Putusan MK Nomor 33/2016, mengenai Jaksa tidak berwenang melakukan upaya hukum di Permohonan PK yang diajukan oleh Terpidana Pemohon. PK. Alasannya; karena kesempatan yang cukup telah diberikan kepada Jaksa di tingkat Pengadilan Negeri, Tinggi dan Mahkamah A Wewenang Jaksa dibatasi sampai putusan in kracht.

23. Putusan MK Nomor 34/2013. Hanya terpidana dan ahli warisnya yang dapat mengajukan PK lebih dari sekali. Putusan MK ini tidak ditaati oleh Mahkamah Agung. Sekalipun Pengadilan Negeri memeriksa PK kedua, dan para ahli yang dimajukan terpidana, mendukung PK lebih dari sekali melalui pendapat ahli mereka, Mahkamah Agung tetap tidak akan memeriksa permohonan PK kedua.

24. Bahkan Jaksa Agung seolaholah tidak mengerti putusan MK tersebut di atas, dimana secara jelas mengatur bahwa Jaksa tidak punya otoritas mengajukan PK. Baik Mahkamah Agung maupun Jaksa Agung mengabaikan putusan MK yang erga omnes.

25. Terakhir, Jaksa Agung dalam pernyataan Persnya, menegaskan akan kembali mengajukan Peninjauan Kembali terhadap putusan yang in kracht, putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

26. Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016. Kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang- undang Tipikor, dihapus. Tegasnya unsur merugikan keuangan negara harus nyata. Kerugian Negara bukan lagi delik formil, tetapi delik materiil

27. Dalam praktIk, KPK megabaikan putusan ini. Sekalipun baik Mahkamah Agung maupun Kejaksaan Agung telah menetapkan bahwa untuk menghitung kerugian negara, Hanya Badan Pemeriksa Keuangan yang berwewenang menentukan kerugian negara, KPK tetap saja mengabaikan ketentuan ini.

28. Putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016 mengenai sadapan?. Dalam praktik, sebelum revisi Undang -undang Tipikor, sadapan tidak diawasi oleh Dewan Pengawas. Akibat hukumnya, setiap orang tidak mengetahui kapan disadap KPK. Bahkan terjadi penyadapan yang dilakukan di luar tingkat penyelidikan. Apalagi hasil sadapan yang dimajukan sebagai bukti di Pengadilan, adalah hasil sadapan yang diduga diedit KPK. Sadapan yang menguntungkan terdakwa, dikesampingkan.

29. Pemeriksaan perkara KPK dipersidangan, adalah persidangan sandiwara.

30. Mengapa saya berkata demikian?. Sukamiskin adalah tempat penelitian hukum saya. Semua korban warga binaan sependapat, bahwa tuntutan hanya menyalin dakwaan saudara Penuntut Umum. Sekalipun pasal 185 (1) KUHAP mengatur bahwa bukti adalah apa yang terungkap di persidangan, bukti tersebut selama menguntungkan terdakwa dikesampingkan.

31. DPRRI pun dalam rangka pengawasan atas kine kerja KPK, sempat mewawancarai di Lapas Sukamiskin, dan menemukan betapa banyaknya penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan KPK.

32. Hasil pengawasan DPRRI, termasuk temuan Badan Pemeriksaan Keuangan mengenai kerugian negara yang dilakukan KPK tidak ditindak lanjuti.

33. Barang sitaan yang tidak disimpan di rumah penyimpanan barang bukti, sehingga karena tidak dibuatnya berita acara penyitaan barang bukti, barang sitaan mudah digelapkan. Bahkan banyak barang sitaan yang dirampas KPK, di luar tempus dan locus delicti.

34. Pemeriksaan saksi bukan di kantor KPK, sehingga karena saksi tidak didampingi Penasihat Hukum, KPK mudah merekayasa keterangan saksi untuk kepentingan KPK.

35. Tebang pilih penentuan tersangka dan banyak temuan lainnya, yang dilakukan KPK misalnya dalam kasus Bank Century yang diberhentikan hanya sebatas pemeriksaan saksi Boediono. Pemeriksaan tidak tuntas dilakukan oleh KPK. Bahkan sebagian fakta hasil penyidikan yang seharusnya diproses, tetapi justru di petieskan.

36. Putusan Yudex factie di Pengadilan, umumnya meng-amini tuntutan jaksa KPK. Seandainya Hakim berani berseberangan dengan tuntutan KPK, Hakim bersangkutan habis habisan dikriminalisi KPK melalui berita berita miring di media

37. Eks. Ketua Hakim Mahkamah Konstitusi saudara DR. Hamdan Zoelva melalui media membenarkan bahwa kurang lebih 17 putusan Hakim Agung Artidjo, Hakimnya KPK , harus dieksaminasi, karena diputus tanpa pertimbangan hukum.

38. Di era sesudah lengsernya Novel Baswedan, mulai ada putusan bebas dalam kasus korupsi.

39. Mengapa saya katakan perkembangan hukum dewasa ini carut marut bahkan mengalami kemunduran?.

40. Sekalipun berkalikali Pak Presiden menegaskan perlunya semua warga negara diperlakukan sama didepan hukum?.

42. Untuk sampai kepada kesimpulan tersebut, saya coba menapak kembali, ke pengalaman saya sebagai advokat, membela perkara di luar negeri.

43. Mulai ketika saya membela sengketa PT.Amco versus pemilik tanah Hotel Kartika Plaza yang berakhir pada putusan arbitrase di Washington.

44. Lanjut, berturut-turut terhadap kasus Karwell di arbitrase Hongkong, kasus perbankan di Washington mewakili Djajanti Grup, di New York untuk sengketa PT. Velveteen, Penanaman Modal di Indonesia, di Newark untuk kasus anaknya Menteri Perhubungan Pak Danutirto, di Milan dan di Madrid sebagai kuasa “Prada”, di Amsterdam untuk kasus Pilot M.Said, di Sydney, Melbourne, dan banyak di Pengadilan-pengadilan luar n

45. Ketika saya harus ke Newark untuk minta keterangan seorang kepala sekolah yang ada hubungannya dengan perkara pemerasan di Indonesia, saya ditemani oleh dua polisi masing- masing saudara Pongrekun yang sekarang berpangkat Komisaris Jenderal dan Albert Rachmat Kapolda di salah satu prov

46. Atas jasa baik saudara Jenderal Polisi Goris Mere, sebelum ke Newark saya singgah dulu ke Los Angeles, dimana saya berkesempatan ke markas LAPD sekedar melihat bagaimana polisi Los Angeles membuat berita acara pemeriksaan saksi untuk satu perkara pidana.

47. Caranya sederhana. Saksi menjelaskan secara singkat apa yang diketahuinya dalam kapasitasnya sebagai saksi, dengan tulisan tangannya sendiri, lembaran kesaksian mana tidak lebih dari 3-4 halaman. Keterangan saksi tersebut nanti diuji oleh Jaksa dan Penasehat hukum di

48. BAP Polisi Los Angeles, tidak seperti berkas KPK yang tingginya hampir dua tiga meter, tetapi isinya kosong atau kebanyakan asumsi kesimpulan Jaksa didalam menyusun dakwaannya.

49. Hal yang sama ketika saya diperiksa di Lichtenstein untuk perkara Tommy Soe

50. Jaksa pemeriksa melakukan pemeriksaan dengan sangat santai, setelah saya disumpah, pemeriksaan hanya berlangsung tidak lebih dari 20 menit.

51. Ketika menghadiri sidang di Lichtenstein, apa yang terungkap di persidangan, lembaran salinan sidang langsung diberikan kepada para pihak. Tidak ada pertimbangan dakwaan versi Jaksa seperti yang terjadi di persidangan pidana di Indonesia. Semua fakta sidang harus dipertimbangkan dan dibahas oleh para pihak yang berperkara.

52. Mungkin acara persidangan di Indonesia, sekurang-kurangnya seharusnya mengikuti tranparansi yang terjadi di persidangan Mahkamah Konstitusi.

53. Perkara pidana di Indonesia dimulai dengan ulasan-ulasan di media yang sangat menyudutkan tersangka melawan Asas Praduga tak Bersalah..

54. Beda kalau yang terlibat oknum-oknum KPK seperti misalnya dalam kasus Bibit-Chandra Hamzah, Abraham Samad-Bambang Widjojanto, kasus dugaan pembunuhan Novel Baswedan yang baru saja resmi menjadi anggota ASN di Kepolisian, atau kasus dugaan korupsi Prof. Denny Indrayana, yang perkara korupsinya selesai digelar penyidik polisi. Mereka semua kelompok kebal hukum yang minimal dilindungi Kejaksaan.

55. Penerapan Hukum di Era Reformasi, sekalipun berulang kali Presiden Joko Widodo menyerukan agar pelaksanaannya dilakukan tanpa tebang plih, tetap saja para pelaksana di bidang hukum, mengabaikan himbauan Bapak Presiden, bahkan putusan putusan MK dan undang-undang lainnya, sama sekali tidak dilaksanakan.

56. Ketika wakil wakil rakyat di DPR, walaupun melihat carut marutnya penerapan hukum, tetapi tidak sanggup berbuat apaapa melawan kezoliman tersebut, di saat itu pula saya berani katakan bahwa NKRI sebagai negara hukum, telah runtuh.

57. Tulisan saya sebagai praktisi, akademisi, bahkan sampai sekarang saya masih berstatus hakim arbitrase, sekedar saya buat sebagai catatan sejarah, mengenai runtuhnya peradilan di Indonesia.

58. Catatan sejarah oleh seorang warga binaan, bernama OC. Kaligis, yang karena status saya sebagai warga binaan, pasti sama sekali tidak mendapatkan perhatian perbaikan tegaknya hukum dan Peradilan  di Indonesia.

Semoga Tuhan Yang Maha Adil mendengarkan dan memberi jawaban.

Hormat saya.

Inilah suara saya dari Lapas Kelas 1 Sukamiskin.
Otto Cornelis Kaligis.

Cc. Yth. Semua anggota DPRRI.
Cc. Yth. Semua Media yang berkenan menjadikan tulisan saya sebagai berita hukum.
Cc. Yth. Bapak Kalapas Sukamiskin Bandung.
Pertinggal.(*)

Tinggalkan Balasan