Catatan Luzi Diamanda, Penerima PCNO 2025 dari Riau
Riau, Sudutpandang.id -“Menjadi wartawan bukan soal pekerjaan, tapi soal sikap hidup, tentang keberpihakan yang jelas, pada kemerdekaan, keadilan dan kebenaran.” (Diamanda)
Saya lebih sering lupa berapa puluh tahun sudah mengabdi dengan kata, mengukir kisah, meninggalkan tapak jejak, sebagai wartawan, ketika tiba-tiba pada tanggal 9 Februari malam masuk pesan via WA.
“Selamat untuk pengabdian 41 tahun Nuk. Selamat untuk kesetiaan pada identitas, menjadi jurnalis yang keberpihakannya jelas.”
Saya tertegun, 41 tahun sudah? Dan ada yang mengingatnya dengan pasti. Secepat itukah waktu? Secepat itukah tulisan berjalan? Ah, berarti saya yang sudah tua.
Pesan WA itu datang ketika baru saja saya menerima sertifikat, kartu dan pin PCNO di Banjarmasin. Pesan yang bermakna dua arah.
PCNO hanya sekedar penghormatan untuk jumlah waktu pengabdian sebagai wartawan atau PCNO untuk kesetiaan, integritas dan pilihan tanpa jeda, pilihan tetap menjadi wartawan di tengah gempuran profesi lain yang lebih menggiurkan.
Karena banyak wartawan yang beralih profesi, baik sementara atau selamanya. Menjadi politikus, PNS, pengusaha. Ada yang benar-benar meninggalkan dunia kewartawanan ada yang bolak balik, bahkan ada yang menduakan profesi.
Tentu saya tidak mau memberi nilai pada yang mendua, karena ternyata kehebatan dan kemakmuran di profesi lain tetap ingin bertahan sebagai wartawan.
Saya kembali ingat pesan WA tadi, tentu dari orang yang sangat dekat, satu-satunya yang memanggil saya dengan sebutan Nuk, jika hanya sekedar waktu tentu sangat gampang dapat PCNO. Cukup mengabdi 25 tahun sudah cukup untuk meraih sebutan bergengsi itu.
Tapi tidak. Syaratnya cukup banyak jika tidak boleh dibilang berat, selain mengabdi dalam kurun waktu panjang, tidak boleh terputus juga ada syarat lain, punya karya dalam bentuk buku, atau pernah menulis buku. Tentu tidak semua wartawan bisa menulis buku.
Jika ada yang masih belum 20 tahun jadi wartawan tanpa ada karya buku atau keluar masuk sebagai wartawan ternyata dapat PCNO juga, tentu saya tidak mengerti dimana salahnya, jika itu memang terjadi. Tentu saya berharap itu tidak terjadi.
Setelah pesan manis via WA yang mengingatkan waktu pengabdian saya sebagai wartawan, ada pula pesan lain masuk dan itu baru saja. Pesan itu berbunyi: “Bagaimana jika PCNO itu dicabut jika PWI versi lain yang menang?”
Memang saya peduli? Tidak. Karena yang kisruh organisasi bukan profesi. Saya dengan PCNO atau tanpa PCNO tetap seorang wartawan, yang juga seorang penulis. Saya berpihak pada profesi.
Organisasi adalah ibarat payung bagi anggotanya, panas atau hujan jadi tempat berteduh. Jika saat menjalankan profesi terjadi sesuatu, karena profesi jurnalis juga rentan mengalami kekerasan, dibully hingga dianiaya, itulah saatnya organisasi diperlukan, tampil membela, di luar sebagai tempat bersilaturahmi para anggota.
Sebagai anggota PWI saya juga tidak mau terlibat caci maki, membunuh karakter hingga ancam mengancam, karena saya lebih suka menunggu proses hukum berjalan, proses organisasi berjalan dan kebenaran akan datang pada waktunya.
Bukan sekali ini PWI kisruh. Zaman reformasi juga terbelah, ada PWI ada PWI Reformasi. Tapi waktu berpihak pada PWI dan PWI Reformasi mati dengan sendirinya.
Apakah saya tidak berpihak? Pasti ya berpihak. Saya berpihak pada ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku. Saya berpihak pada ketentuan tertulis yang disahkan oleh negara, karena semua organisasi mesti memiliki legitimasi dari negara. Saya setuju kepemimpinan PWI yang dipimpin Hendry Ch Bangun.
Dan malam ini saya pandangi lagi kartu PCNO dan juga Kartu PWI. Jika saya sudah 41 tahun jadi wartawan, berarti selama itu pula saya sudah jadi anggota PWI. Jika tiba-tiba kebanggaan saya hilang itu hanyalah untuk organisasi, bukan profesi.
Saya telah memilih jalan ini untuk pengabdian dan akan tetap di jalan ini, bahkan andai pun tiba-tiba benar PCNO dan Kartu PWI itu harus tinggal kenangan, saya tetap seorang wartawan. Itulah pengabdian dan profesi. Selalu dan selamanya.**