Hemmen

Menanti Kepastian Hukum, Ketika Presiden Dihina

Alexius Tantrajaya, S.H., M.Hum/Foto:istimewa

“Pemerintah dan DPR-RI dituntut kewaspadaannya didalam merumuskan pasal penghinaan terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden didalam R-KUHP yang kini masih dalam proses pembahasan di DPR-RI, agar perumusannya disempurnakan sebelum disahkan.”

Oleh: Alexius Tantrajaya, SH., M.Hum

Idul Fitri Kanwil Kemenkumham Bali

15 (lima belas) tahun telah lewat, sejak dicabutnya pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden yang diatur didalam ketentuan Pasal 134. jo. Pasal 136 bis. jo. Pasal 137 KUHP (Kitab Undang Undang Hukum Pidana) oleh Mahkamah Konstitusi R.I. melalui hak uji materiel (Judicial Review) berdasarkan Putusan Nomor: 013-022/PUU-IV/2006. tanggal 06 Desember 2006, yang hingga sampai saat ini belum ada kepastian Pasal penghinaan terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden yang tercantum pada Pasal 217, Pasal 218, Pasal 219 dan Pasal 220 dalam BAB.II. Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (R-KUHP) untuk bisa diterima secara aklamasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), meskipun Pemerintah tetap mempertahankan pasal-pasal penghinaan terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden tersebut, agar dapat disetujui dan disahkan untuk menjadi Undang-Undang, walaupun proses penuntutan pidananya melalui Delik Aduan.

BACA JUGA  Prediksi Cawapres

Alasan rasionalnya delik penghinaan terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden harus ada dan diatur didalam Undang-Undang, mengingat Presiden dan Wakil Presiden merupakan Simbol Negara yang harus dilindungi dan dijaga kewibawaan serta kehormatannya oleh seluruh bangsa Indonesia. Dan sejak terjadinya kekosongan sanksi hukum atas penghinaan terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden tersebut, telah terjadi berkali-kali, terutama Presiden Republik Indonesia telah dijadikan sasaran target untuk kepentingan politik, dengan diserang kehormatannya dan direndahkan derajatnya melalui tulisan/gambar, bahkan ucapan langsung pelakunya, yang penyebarannya dilakukan dengan menggunakan media sosial.

BACA JUGA  Muniar Sitanggang: Penonaktifan Kapolri Tidak Tepat

Dengan menempatkan pasal penghinaan terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden dalam delik aduan, maka permasalahan hukum akan timbul bila terjadi delik penghinaan terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden, meskipun ketentuan pasal 220 ayat (2) R-KUHP menyatakan: “(2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden”, karena sesuai dengan pasal 1 angka 25 dan 26 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), jika merasa dihina dan dicemarkan serta diserang kehormatannya, Presiden dan Wakil Presiden kini harus secara aktif membuat laporan pidana dihadapan penyidik Kepolisian R.I. agar dilakukan proses hukum terhadap pelakunya berdasarkan ketentuan Pasal 217 sampai Pasal 219. R KUHP, dan selanjutnya apabila tindak pidana penghinaan terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden terjadi dan dilakukan diberbagai wilayah Nusantara, maka sesuai ketentuan Pasal 84 ayat (1) KUHAP, sebagai dasar penuntutan suatu perbuatan pidana ditentukan oleh tempat dilakukannya tindak pidana (locus delicti) guna menentukan Pengadilan Negeri mana yang berhak memeriksa dan memutuskan suatu perkara tindak pidana. Dengan demikian sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana, jika Presiden dan Wakil Presiden menghendaki dilakukan proses hukum terhadap pelaku penghinaan, maka akan membawa konsekuensi hukum bagi Presiden dan Wakil Presiden untuk aktif hadir sendiri dengan memberikan keterangannya dihadapan penyidik kepolisian dalam daerah wilayah hukum ditempat dimana tindak pidana tersebut dilakukan, serta pada saat persidangan digelar wajib memberikan keterangan langsung dihadapan Majelis Hakim Pengadilan Negeri setempat selaku saksi korban dimana tindak pidana dilakukan, dan tidak dapat diwakili. Dari perubahan cara proses hukum delik penghinaan terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden dengan menggunakan ketentuan delik aduan, dikuatirkan tidak dapat memenuhi rasa keadilan dan akan mencederai hak asasi Presiden dan Wakil Presiden selaku warga negara yang mempunyai persamaan hak dan kedudukan dihadapan hukum akan menjadi tidak terlindungi, disebabkan syarat-syarat hukum acara pidana yang berlaku dalam suatu proses pemeriksaan perkara tindak pidana akan menjadi kendala, mengingat kepadatan aktifitas keseharian Presiden dan Wakil Presiden dalam menjalankan tugas kenegaraan, yang tidak memungkinkan secara aktif mengikuti setiap proses hukum pemeriksaan dari mulai penyidikan sampai persidangan.

BACA JUGA  SMSI: Dari Urusan Desa Hingga Masalah Palestina (Catatan Akhir Tahun)

Dan keterbatasan untuk melakukan pembelaan hak hukum Presiden dan Wakil Presiden yang disebabkan oleh berbagai kesibukan kenegaraan apabila dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk membentuk “Pencitraan Negatif” dengan maksud ingin menjatuhkan Presiden dan Wakil Presiden, maka penempatan pasal penghinaan terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dimaksud Pasal 220 R-KUHP dalam delik aduan, haruslah mendapat perhatian khusus Pemerintah dan DPR-RI.

BACA JUGA  Kejati DKI dan Kejari Jakpus Buka Pelayanan Publik di Mal

Untuk itu Pemerintah dan DPR-RI dituntut kewaspadaannya didalam merumuskan pasal penghinaan terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden didalam R-KUHP yang kini masih dalam proses pembahasan di DPR-RI, agar perumusannya disempurnakan sebelum disahkan, dan bisa tercapai tujuan dibentuknya pasal penghinaan dimaksud, serta tidak bertentangan dengan yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi R.I. tersebut, sehingga ketika sudah diundangkan tidak menimbulkan perdebatan hukum dikemudian hari, mengingat pasal penghinaan terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden juga untuk memberikan Perlindungan Hukum terhadap Presiden dan Wakil Presiden masa depan bangsa Indonesia selanjutnya. Apalagi mengingat kemajuan teknologi informatika, sering kini dijumpai penghinaan terhadap martabat Presiden oleh pelaku dilakukan melalui media sosial, dan karenanya maka R-KUHP sudah harus bisa mengantisipasi pencegahannya, sehingga waktu dan biaya yang telah dikeluarkan oleh Negara didalam proses terbentuknya R-KUHP menjadi Undang-Undang tidak sia-sia. Semoga.

Penulis: Alexius Tantrajaya, S.H., M.Hum., Adalah Advokat Senior Anggota PERADI

Barron Ichsan Perwakum

Tinggalkan Balasan