Pemberantasan Korupsi di Era Prabowo-Gibran, Apa Kabar KPK?

Apa Kabar KPK
Stefanus Gunawan, SH, M.Hum.(Foto:istimewa)

“Jangankan Presiden, sebagian besar masyarakat saja sudah hilang selera kepercayaan terhadap KPK. Bayangkan saja, SDM di lembaga anti-rasuah tersebut telah mengalami dekandensi moral, atau demoralisasi. Banyak pelanggaran yang dilakukan oknumnya, mulai dari staf sampai pimpinan.”

JAKARTA, SUDUTPANDANG.ID – Praktisi Hukum Stefanus Gunawan menilai wajar bila masyarakat sudah tak lagi antusias terhadap keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sebelumnya dianggap dinilai menjadi garda terdepan dalam mengusut tuntas para perampok uang negara. Termasuk Presiden Prabowo Subianto yang dinilai masyarakat sudah kehilangan kepercayaan terhadap lembaga anti-rasuah tersebut.

Kemenkumham Bali

Pandangan tersebut disampaikan Stefanus Gunawan menanggapi pendapat sebagian masyarakat yang mengapresiasi kinerja Kejaksaan dan Kepolisian dalam menangani kasus-kasus Tipikor pasca Prabowo-Gibran dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI.

“Jangankan Presiden, sebagian besar masyarakat saja sudah hilang selera kepercayaan terhadap KPK. Bayangkan saja, SDM di lembaga anti-rasuah tersebut telah mengalami dekandensi moral, atau demoralisasi. Banyak pelanggaran yang dilakukan oknumnya, mulai dari staf sampai pimpinan,” kata Stefanus Gunawan dalam keterangannya, Minggu (17/11/2024).

Stefanus Gunawan mengungkapkan, menurunnya kepercayaan publik terhadap KPK lantaran ulah dari oknum lembaga tersebut. Ia menyebut, oknum KPK yang melakukan pelanggaran jumlahnya bukan lagi dalam hitungan jari, tapi sudah lebih dari seratus.

“Sejarah mencatat, belum lama ini sedikitnya 90 staf KPK melakukan praktik ungli secara masif. Anehnya, mereka tidak diproses secara pidana, tapi mendapat sanksi dari Dewan Pengawas (Dewas) KPK berupa hukuman permintaan maaf secara terbuka,” kata Advokat senior itu.

“Sanksi seperti itu tentu saja tidak membuat orang jera. Justru sebaliknya, akan memunculkan pelaku-pelaku baru. Mengingat sanksinya hanya berupa permintaan maaf. Padahal perbuatan pungli, ancamannya adalah kurungan badan. Tapi kenapa tidak diterapkan. Ini kan aneh, dan membuat masyarakat tak lagi percaya KPK sebagai lembaga anti korupsi,” sambung Ketua DPC Perhimpunan Advokat Indonesia-Suara Advokat Indonesia (Peradi-SAI) Jakarta Barat itu.

Selain itu, lanjutnya, kasus yang menjerat eks Ketua KPK Firli Bahuri yang telah ditetapkan sebagai tersangka dugaan pemerasan terhadap eks Menteri Pertanian Sahrul Yasin Limpo oleh Polda Metro Jaya. Namun sejauh ini belum ditahan, padahal syarat hukum penahanan sudah cukup, baik alat bukti dan saksi-saksi.

“Kenapa tidak ditahan?. tindakan inipun setidaknya dapat merusak citra Kepolisian. Karena itu, diharapkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mendesak Kapolda Metro Jaya agar menahan Firli Bahuri,” ucapnya.

Terkait maraknya kasus di KPK, lanjutnya, tak tertutup kemungkinan Presiden Prabowo telah memerintahkan Jaksa Agung ST Burhanuddin dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk mengambil alih kasus korupsi melibatkan oknum pejabat negara.

“Bisa saja Pak Prabowo meminta kepada BPK agar setiap temuan kasus korupsi diserahkan ke Kejaksaan atau Kepolisian untuk memproses hukum,” kata Stefanus Gunawan yang juga Ketua LBH Ikatan Sarjana Katolik (ISKA).

Ambil Alih

Ada yang berpendapat bahwa kewenangan KPK dalam hal penanganan kasus Tipikor telah diambil alih Kepolisian dan Kejaksaan. Stefanus menjelaskan bahwa sesuai ketentuan UU Nomor 11 Tahun 2021 perubahan atas UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, bahwa lembaga ini berwenang menangani kasus korupsi, kolusi dan nepotisme.

“Jadi bukan hanya KPK yang berhak menangani kasus Tipikor. Ini yang harus diketahui publik. Kepolisian dan Kejaksaan juga banyak mengungkapkan kasus-kasus Tipikor besar,” ujarnya.

Ia menerangkan, Kejaksaan dapat menangani kasus korupsi yang terjadi di tingkat pusat maupun daerah dengan nilai kerugian kecil maupun besar. Dan sesuai ketentuan hukum, dapat melakukan pengusutan dan penyelidikan atas tindak pidana tertentu.

“Kepolisian pun berwenang menangani kasus korupsi. Ketentuan hukumnya ada pada Pasal 6 ayat (1) huruf a atau Pasal 7 ayat (1) KUHAP, dimana polisi berwenang melakukan penyidikan Tipikor,” terang Stefanus.

Ia menambahkan, sesuai ketentuan Pasal 11 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, lembaga ini hanya dapat menangani kasus korupsi yang melibatkan penegak hukum dan penyelenggara negara, dengan nilai kerugian negara minimal Rp1 miliar.

“Kasus di Jatim melibatkan oknum penegak hukum, namun justru yang menangani adalah Kejaksaan, bukan KPK. Jadi, patut dicurigai, apakah hal itu merupakan tindakan pengambil alihan kasus?. Padahal, sesuai ketentuan hukum, yang berhak mengambil alih kasus korupsi yang tengah ditangani Kejaksaan dan Kepolisian adalah KPK,” pungkas Alumnus Magister Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta itu.(um)

BACA JUGA  Ini Kaitan Digitalisasi Ekonomi dengan Program Prabowo Gibran