Rekonstruksi Mendesak Gaza Palestina: Fokus ke Pemulihan Kehidupan Warga

Rekonstruksi Gaza Palestina
Seminar Internasional tentang rekonstruksi Gaza Palesina. Seminar diselenggarakan secara online, Rabu, 12 Maret 2025 (Foto: Humas UMJ)

“Umat Islam khususnya di Palestina harus tetap siaga menghadapi serangan lagi dari Israel, apalagi kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang meminta relokasi warga Gaza, antara lain ke Indonesia, menunjukkan tidak adanya itikad baik terhadap perdamaian.”

JAKARTA, SUDUTPANDANG.ID – Rekonstruksi Gaza Palestina yang mendesak adalah memulihkan kehidupan warga yang sebagian besar rumahnya hancur dibom oleh Israel sekitar 14 bulan. Fokusnya adalah bagaimana warga Gaza dapat memenuhi kebutuhan dasar mulai dari pangan sampai kesehatan.

Ucapan Sudut Pandang untuk Bupati Pasuruan

Adapun rekonstruksi jangka panjang adalah menegakkan keadilan bagi Palestina termasuk menyeret pemimpin Israel yang sudah dinyatakan Mahkamah Internasional sebagai penjahat perang.

Demikian salah satu isu yang muncul dalam Seminar Internasional bertajuk “Post-Conflict Reconstruction in Gaza: Challenges and Pathways to Sustainable Peace” secara online, Rabu (12/3).

Seminar diselenggarakan atas kerja sama Laboratory of Indonesian and Global Studies (LIGS), Program Studi Ilmu Politik, Program Studi Magister Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (FISIP UMJ) dan Asia Middle East Center for Research and Dialogue (AMEC) yang berkantor di Kuala Lumpur, Malaysia.

Sekitar 60 orang hadir secara daring dari berbagai lokasi di Indonesia dan mancanegara. Seminar Internasional yang akan berlanjut seri kedua minggu depan selama Ramadan itu dibuka oleh Kaprodi Magister Ilmu Politik Dr. Usni dan dipandu oleh Dr. Asep Setiawan, Kepala LIGS.

Direktur Eksekutif AMEC Muslim Imran Ph.D menjelaskan, saat ini lebih dari satu juta warga Gaza Palestina tanpa tempat tinggal karena bangunannya hancur dan rusak akibat pemboman Israel yang membabi buta.

Dengan adanya jeda serangan karena gencatan senjata tahap pertama ini, warga Gaza dihadapkan kepada kebutuhan mendesak untuk bertahan hidup. Warga Gaza sangat membutuhkan keperluan sehari hari seperti makanan, air bersih dan obat-obatan.

Menurut Muslim Imran, partisipasi masyarakat sipil dunia termasuk dari Indonesia menjadi harapan agar keperluan dasar warga Gaza dapat terpenuhi. Bantuan kemanusiaan masyarakat sipil dunia itu bisa dilakukan dengan cepat, berbeda dengan kebijakan pemerintah yang cenderung lambat.

”Masyarakat sipil dapat segera bergerak sesuai dengan kapasitas masing-masing dalam membantu rakyat Palestina yang sangat membutuhkan bantuan saat ini,” katanya.

Sejauh ini korban jiwa akibat tindakan genosida Israel dilaporkan sebanyak 48.503 warga Palestina syahid dan 111.927 orang terluka per 11 Maret 2025. Selain itu lebih dari 90 persen populasi Gaza, sekitar 2,3 juta orang, mengungsi di beberapa titik selama konflik, dan lebih dari dua juta penduduk kehilangan tempat tinggal, tidak memiliki penghasilan, dan bergantung pada bantuan makanan.

Di Gaza juga terjadi kerusakan infrastruktur dimana sekitar 292.000 unit rumah yang mewakili 61,8 persen dari total perumahan telah hancur atau rusak. Sekitar 62 persen dari total jaringan jalan telah rusak atau hancur. Ditambah lagi 95 persen rumah sakit tidak berfungsi.

Tegakkan Keadilan bagi Palestina

Kendati demikian berkembang dalam diskusi bahwa selain rekonstruksi dengan fokus kepada kebutuhan mendesak warga Gaza yang perbatasannya masih ditutup Israel untuk akses ke wilayah Mesir, masyarakat internasional harus terus mendorong tegaknya keadilan bagi Palestina.

Saat ini Israel melanggar berbagai resolusi PBB dengan menduduki Jalur Gaza serta Tepi Barat dan bahkan terus memperluas penjajahannya dengan mengusir warga Palestina.

Kepala Program Studi Ilmu Politik FISIP UMJ Miftahul Ulum menyebut langkah Israel ini sebuah tindakan brutal yang tidak mempedulikan norma-norma hukum internasional, dan tindakan seperti itu bukan hal yang baru terjadi saat ini.

Dalam perjanjian damai terdahulu Israel juga melanggar kesepakatan yang sudah dicapai. Oleh karena itu, Ulum menegaskan bahwa pembangunan kembali Gaza tidak cukup hanya berfokus kepada masalah sosial ekonomi semata.

”Pembangunan kembali Gaza harus komprehensif, mulai masalah politik, ekonomi dan sosial. Oleh karena itulah maka masyarakat akademis dan masyarakat sipil memiliki peran penting untuk berlanjutnya perdamaian di Palestina,” ujar Miftahul Ulum, lulusan Warick University, Inggris, dan penyandang dua gelar Master di Glasgow Skotlandia dan Australia.

Miftahul Ulum menambahkan, dalam konteks ini Muhammadiyah dapat berperan untuk berlanjutnya perdamaian di Palestina karena memiliki keahlian di bidang pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi.

Ia juga mengemukakan, dalam kaitan pengembangan sumber daya manusia di bidang akademis, program Magister Ilmu Politik FISIP UMJ juga memiliki fokus kepada studi strategi pembebasan Masjidil Aqsha yang didukung pakarnya, yakni Director of the Academy for Islamic Jerusalem Studies (ISRA) Syeikh Prof. Dr. Abd Al-Fattah El-Awaisi.

Sementara itu Hamka, Dosen FISIP UMJ yang memiliki keahlian bidang geopolitik menyatakan kekhawatirannya bahwa gencatan senjata ini sifatnya hanya sementara kalau melihat perilaku Israel selama ini.

Umat Islam khususnya di Palestina harus tetap siaga menghadapi serangan lagi dari Israel, apalagi kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang meminta relokasi warga Gaza, antara lain ke Indonesia, menunjukkan tidak adanya itikad baik terhadap perdamaian.

Menurut Hamka, masyarakat intrnasional tetap harus siaga membantu Palestina menghadapi serangan baru Israel di masa mendatang.(01)

BACA JUGA  Menparekraf Apresiasi Entrepreneurship di Lingkungan Perguruan Tinggi Muhammadiyah