Opini  

Rice Bran, Emas Cokelat yang Kita Buang Setiap Hari: Sebuah Dosa Besar terhadap Masa Depan Bangsa

Rice Bran, Emas Cokelat yang Kita Buang Setiap Hari: Sebuah Dosa Besar terhadap Masa Depan Bangsa
Prof. Agus Pakpahan (Foto: istimewa)

“Mari hentikan pengkhianatan ini. Mari kembali ke jalan yang benar jalan yang ditunjukkan Eijkman dan nenek moyang kita. Makanlah nasi cokelat. Selamatkan rice bran. Selamatkan masa depan Indonesia.”

Oleh Prof Agus Pakpahan 

Setiap tetes keringat petani yang menanam padi di sawah, setiap butir gabah yang dihasilkan bumi Nusantara, menyimpan sebuah harta karun yang tak ternilai. Namun, dengan kesadaran penuh, kita memilih untuk membuang harta karun itu ke tempat pakan ternak. Harta karun itu bernama rice bran (dedak padi), dan pembuangannya adalah sebuah kisah tragis tentang bagaimana kita mengabaikan ilmu pengetahuan, mengkhianati kearifan leluhur, dan merusak masa depan sendiri.

Pada tahun 1897, seorang ilmuwan bernama Christiaan Eijkman melakukan sebuah eksperimen sederhana di Jawa. Ia memberi makan ayam dengan nasi putih, dan mereka jatuh sakit. Lalu, ia memberi mereka beras tumbuk (beras cokelat), dan mereka sembuh. Dari sana, dunia menemukan vitamin B1 dan Eijkman meraih Nobel. Ilmuwan Barat saja mengakui kehebatan beras tumbuk kita.

Nenek moyang kita sudah tahu ini sejak lama. Sebelum mesin penggilingan modern datang, mereka makan beras tumbuk beras yang hanya ditumbuk untuk membuang sekamnya, tetapi masih utuh dengan semua lapisan dedak dan germ-nya. Beras inilah yang membuat mereka kuat bekerja, melahirkan generasi tangguh, dan bebas dari penyakit modern seperti diabetes dan jantung.

Namun, kita memilih jalan lain. Kita terpesona oleh kilau “modernitas”.

Kita membangun pabrik-pabrik penggilingan yang canggih, bukan untuk memuliakan pangan kita, tetapi untuk menguliti dan membuang bagian terberharganya. Kita menyebut beras yang sudah tercerabut nyawanya ini sebagai “beras putih”, dan membanggakannya sebagai simbol kemajuan. Padahal, itu adalah simbol kemunduran gizi, arogansi, dan ignoransi.

BACA JUGA  Indonesia Emas Cepat Terwujud Bila Hukum Menjadi Panglima di Bumi Pertiwi

Kalkulus Kerugian: Triliunan Rupiah yang Kita Buang Setiap Tahun

Mari kita hitung, dengan data yang nyata:

  • Indonesia menghasilkan 55 juta ton gabah setiap tahun.
  • Dari situ, kita mendapatkan 11 juta ton rice bran.
  • Karena kita tergila-gila pada beras putih, kita menjual rice bran ini sebagai pakan ternak dengan harga hanya Rp2.500/kg.
  • Total nilainya: Rp27,5 triliun.

Itu sudah rugi besar. Tapi itu bukan apa-apa.

Jika kita mau sedikit lebih cerdas, jika kita mau belajar dari Eijkman dan leluhur, nilai itu bisa berlipat:

  • Jika rice bran ini kita stabilkan dan jadikan tepung untuk fortifikasi pangan, nilainya bisa mencapai Rp200 triliun.
  • Jika kita ekstrak gamma-oryzanol dan vitamin E-nya yang super mahal untuk farmasi dan kosmetik, nilainya bisa menyentuh Rp286 triliun.

Kita membuang potensi senilai Rp200 hingga Rp286 triliun setiap tahunnya! Walau ini angka perkiraan, nilainya seperti cahaya yang menerangi kegelapan.

Uang tersebut cukup untuk:

  • Membebaskan BPJS dari defisit.

  • Membiayai pembangunan infrastruktur berkualitas.

  • Meningkatkan kesejahteraan petani secara dramatis.

Tapi kita lebih memilih untuk membuangnya.

Masa Depan yang Cemas vs. Masa Depan yang Cerah

Pilihan kita hari ini menentukan wajah Indonesia masa depan:

BACA JUGA  Ambisi Kendaraan Listrik vs Realita

1. Jika terus seperti sekarang ini:

Biaya kesehatan membengkak akibat penyakit degeneratif. Generasi muda tumbuh dengan gizi buruk. Ketahanan pangan rapuh karena sistem kita boros. Masa depan jelas sangat mencemaskan.

2. Jika kembali ke jalan yang benar:

Kita bisa dan kuat memiliki generasi yang lebih sehat, cerdas, dan kuat. Petani sejahtera karena produknya bisa bernilai tinggi. Lingkungan terjaga karena lahan pertanian lebih efisien. Pemain sepak bola tak perlu banyak didatangkan melalui naturalisasi. Mengapa?

Dari satu elemen gizi saja, yaitu protein kata yang bermakna “yang pertama, yang utama, atau yang terpenting” kandungan protein rice bran sama atau lebih tinggi dari kandungan protein telur ayam atau susu sapi. Apalagi kalau rice bran difermentasi, proteinnya bisa tiga kali atau lebih daripada kandungan protein telur ayam. Ini bukti ilmiah berkah Tuhan YME bagi kita dan bagi bangsa tropika yang sekarang ini kondisi sosial ekonominya berada jauh di bawah bangsa temperate.

Jalan Keluar: Revolusi Pangan Dimulai dari Dapur Kita

Kita tidak perlu teknologi super canggih. Kita hanya perlu kembali pada akal sehat dan kearifan.

Untuk Pemerintah: Terbitkan SNI Beras Patriot Bangsa yang memuliakan beras cokelat. Alihkan subsidi dari beras putih ke beras cokelat. Bangun industri pengolahan rice bran.

Untuk Industri: Berinovasilah membuat produk dari rice bran: tepung, minyak, suplemen. Jadilah pelopor ekonomi yang mensyukuri berkah Tuhan YME bagi bumi tropika, sebagai satu penciri ekonomi hijau yang berkelanjutan.

BACA JUGA  Stadium General LK-1 HMI Universitas Paramadina Jakarta

Untuk Kita Semua: Mulailah makan nasi cokelat. Campurkan dengan nasi putih jika belum terbiasa. Edukasi keluarga tentang pentingnya gizi utuh sebagai wujud syukur kepada Sang Maha Pencipta.

Kesimpulan: Jangan tanya mengapa bangsa ini tidak Maju, tanya kenapa kita membuang kekayaannya setiap hari?

Rice bran adalah metafora yang sempurna: kita duduk di atas gunung emas, tetapi memilih untuk mengeluh tentang kemiskinan.

Mari hentikan pengkhianatan ini. Mari kembali ke jalan yang benar jalan yang ditunjukkan Eijkman dan nenek moyang kita. Makanlah nasi cokelat. Selamatkan rice bran. Selamatkan masa depan Indonesia.

Sudah cukup kita merugi. Saatnya untuk bangkit dan menjadi bangsa yang cerdas, yang tidak lagi membuang masa depannya sendiri.

Tropikanisasi adalah sebuah konsep transformatif yang merujuk pada proses mengangkat, memulihkan, dan memodernisasi kekayaan tropis baik dalam pangan, budaya, ekonomi, maupun spiritualitas sebagai fondasi kedaulatan dan keberlanjutan bangsa tropis seperti Indonesia.

Ciburial, 4 September 2025

*Penulis adalah Pakar dan Inovator Pertanian, Peneliti PSE-KP Alumni IPB Angkatan 11 (1974) Jurusan/Fakultas FAHUTAN-S1