Skenario Menghentikan Perang Rusia-Ukraina

Ukraina
Yuddy Chrisnandi (Foto: istimewa)

Oleh Yuddy Chrisnandi

Kabar jatuhnya pesawat di wilayah Rusia yang menewaskan pimpinan The Wagner Group, Yevgeni Prigozhin, sekutu Presiden Rusia pada 24 Agustus 2023 seakan menjadi hadiah ulang tahun kemerdekaan Ukraina yang ke-32. Pasalnya, Prigozhin dengan tentara bayarannya adalah motor utama perang Rusia di Ukraina yang telah berlangsung lebih dari 18 bulan sejak serangan Rusia ke ibukota Kyiv 24 Februari 2022.

Kemenkumham Bali

Rencana Vladimyr Putin yang ingin menaklukkan Ukraina dalam sepekan menjadi kenyataan buruk yang panjang bagi Rusia. Sebaliknya bagi Ukraina, berkonfrontasi melawan Rusia dimaklumkan sebagai takdir sejarah sejak abad ke-10 yang diawali dengan invasi penaklukan Kyiv oleh pangeran Oleg pewaris tahta pertama dinasti Kekaisaran Rusia, Ryurik.

Jatuh bangun Kyivan-Rus berlangsung lebih dari sepuluh abad, tidak membuat bangsa Ukraina menyerah hingga merdeka lepas dari Federasi Uni Soviet 24 Agustus 1991.

Kecaman masyarakat dunia yang cinta damai terhadap agresi Rusia ke wilayah kedaulatan Ukraina tidak menyurutkan Presiden Putin menarik pasukannya. Ditekan 141 Negara anggota PBB di sidang Majelis Umum PBB tanggal 2 Maret 2022, juga tidak membuatnya bergeming dengan dikeluarkannya Rusia dari keanggotaan Dewan HAM PBB 7 April 2022 (93 negara setuju diberhentikan).

Bahkan 18 Maret 2023 International Criminal Court yang bermarkas di Denhaag telah menetapkan Presiden Rusia, Vladimyr Putin sebagai penjahat perang yang dituduh telah menyebabkan kematian rakyat sipil dan deportasi paksa anak-anak Ukraina ke Rusia.

Konsekuensinya, Presiden Putin tidak bisa melakukan perjalanan luar negeri ke negara-negara anggota ICC. Semua itu, tidak menghentikan Rusia terus memerangi Ukraina.

Meluasnya perang ke wilayah Rusia ditandai dengan counter offensive yang dilakukan Ukraina untuk merebut kembali wilayah-wilayah yang diduduki militer Rusia seperti Bakhmut, Donets, Kherson, Zhaporozhia, Crimea, dan telah melewati perbatasan Rusia.

Serangan Drone Ukraina telah berhasil menembus pertahanan ibukota Moscow berkali-kali, meruntuhkan moral kedigdayaan militer Rusia. Sementara itu pasokan senjata-senjata mutakhir dari Amerika serikat-NATO, dan negara-negara yang pro-Ukraina belum membuat Rusia berhitung ulang untuk berdamai.

Andalan rusia adalah tembakan-tembakan misil-rudal jarak jauh yang menghancurkan namun rendah akurasi target sasaran, dan akibatnya lebih banyak menyasar fasilitas sipil dibandingkan target militer.

Dengan bantuan persenjataan senilai US$ 40,4 miliar dari Amerika Serikat dan Euro 70 miliar dari Masyarakat Ekonomi Eropa, persenjataan yang saat ini dimiliki militer Ukraina jauh lebih modern teknologinya dibandingkan persenjataan militer Rusia yang minim bantuan. Itulah mengapa perang masih terus berlangsung yang berakibat lebih dari 7,8 juta orang Ukraina eksodus ke negara-negara Eropa sekitarnya untuk mencari tempat yang aman.

BACA JUGA  Catatan Akhir Tahun 2022: Pergerakan SMSI untuk Pers Indonesia

Ribuan orang sipil mati, termasuk 200 an anak-anak menjadi korban. Tidak kurang dari 50.000 rumah yang rusak dan hancur akibat serangan lebih dari 5000 tembakan misil-rudal Rusia. Dua reaktor listrik energi nuklir ukraina di Chernobyl dan Zhaporozhia juga rusak, mengancam radiasi ke berbagai negara sekitarnya. Tidak kurang dari 2000 anak-anak Ukraina dideportasi paksa ke wilayah Rusia. Menurut Gen Mark Milley-chairman of US Joint Chief of Staff, tidak kurang 40.000 orang sipil ukraina mati dan Rusia kehilangan nyawa 100.000 tentaranya dalam pertempuran.

Di sektor ekonomi, embargo negara-negara dunia yang dipelopori Amerika serikat dan MEE telah menjatuhkan sanksi kepada Rusia terhadap lebih dari 2000 individu dan 33 entitas korporasi. Membekukan lembaga keuangan termasuk Bank Central Rusia dengan memblokir asset senilai Euro 300 milyar. Lalu menghentikan 90 persen barang impor Rusia ke Eropa, termasuk bahan mineral energi serta produk-produk konsumen, seiring dengan larangan ekspor ke Rusia sebesar 49 persen yang didalamnya berupa barang-barang teknologi, transportasi, industri, militer, navigasi hingga barang konsumen.

Sanksi ekonomi tidak dapat dipungkiri menyebabkan menurunnya kinerja perekonomian nasional dan pertumbuhan ekonomi Rusia terkoreksi. Mantan pejabat Bank Central Rusia, Alexandra Prokopenko menyebutkan ekspor minyak Rusia anjlok 42 persen pada tahun 2023, dan akan terkuras dalam 3-4 tahun ke depan. Inflasi mencapai 17,1 persen dengan tingkat pertumbuhan ekonomi negatif 2,5 persen, mengakibatkan penurunan GDP 7,8 persen di akhir tahun 2022.

Di sisi lain, cadangan devisa Rusia saat ini sebesar US$ 415,6 milyar dipastikan akan tergerus dalam beberapa bulan-tahun mendatang jika perang terus berlangsung. Terasingnya Rusia dari masyarakat dunia yang menentang perangnya di Ukraina, perlahan tapi pasti berdampak negatif terhadap ketahanan ekonomi nasionalnya dan mempengaruhi kesejahteraan rakyat Rusia yang semakin menurun. Stagnasi seluruh sektor pembangunan industri selain militer, akan berlangsung. Sulit bagi Rusia mengatasi persoalan jangka panjang yang akan dihadapi tanpa dukungan komunitas internasional.

China, saat ini merupakan satu-satunya negara besar yang menjadi harapan Rusia untuk bisa mengatasi masalahnya. Namun, China belum sepenuhnya menjadi kekuatan dunia yang utuh untuk dapat diandalkan. China masih perlu waktu memperkuat fondasi dan stabilitas ekonomi internasionalnya. China juga bukan penyokong perang Rusia di Ukraina.

BACA JUGA  Di Sidang IMO, Dirjen Hubla Paparkan Selat Sunda dan Lombok

Sangat berat bagi Rusia untuk memenangkan perang seorang diri. Di sisi lainnya, bantuan keuangan negara-negara dunia untuk Ukraina terus mengalir dalam tiga paket bantuan yaitu kemanusiaan, militer dan pemulihan ekonomi-rekonstruksi. Ukraina mendapatkan komitmen bantuan dari banyak negara utamanya Masyarakat Ekonomi Eropa, Amerika Serikat dan negara-negara kaya dunia yang tergabung dalam G-7. Bantuan sebesar 1.182 triliun rupiah untuk ukraina dari Eropa yang akan ditambah lagi sebesar 827 triliun tahun ini adalah angka yang fantastis dalam sejarah bantuan luar negeri kepada suatu negara yang sedang berperang.

Negara-negara Eropa juga berkomitmen menambah bantuan sebesar Euro 50 miliar yang setara dengan 822 triliun rupiah untuk rekonstruksi kerusakan akibat perang. Inflasi Ukraina tembus 30 persen pada akhir tahun 2022, perekonomiannya anjlok 15 persen dengan pertumbuhan negatif. Ukraina adalah pemasok hasil industri pertanian : 16 persen jagung, 10 persen gandum, 49 persen bunga matahari ke pasar dunia yang devisa penerimaannya terpuruk akibat perang.

Bagi Ukraina yang berulangkali mengalami masa perih dalam sejarah perjuangannya memisahkan diri dari cengkraman “Kekaisaran Rusia”, perang kali ini sepertinya tidak seberat menghadapi peristiwa “Holodomor” tahun 1932-1933 di bawah rezim Sovyet-Stalin dan kurun waktu 1942-1945. Juga tidak seberat menghadapi pasukan Nazi-Jerman di perbatasan barat-Lviv dan pasukan tentara merah-Rusia di perbatasan timur-Kharkiv sepanjang perang dunia kedua 1939-1945.

Cukup beralasan bagi para pemimpin Ukraina untuk tidak menegosiasikan wilayahnya yang dicaplok Rusia untuk direbut kembali. Ukraina memiliki rasa percaya diri yang tinggi untuk memenangkan perang di wilayahnya, bahkan mampu menyerang ke wilayah lawannya. Dengan mengkesampingkan spekulasi penggunaan senjata nuklir, di atas kertas, sangat sulit bagi militer Rusia untuk menguasai wilayah Ukraina.

Realita hari ini, belum ada tanda-tanda perang Rusia di ukraina akan berakhir. Bahkan wilayah perang telah melintasi perbatasan Rusia. Berbagai upaya damai yang digagas Uni Eropa, Turki, Perancis, Saudi Arabia dan China belum mampu menyadarkan Presiden Rusia untuk menghentikan serangannya.

Di tengah kecaman dunia, Rusia menarik diri dari Black Sea Grain Initiative yang sangat vital terhadap ketahanan pangan dunia, khususnya negara-negara Afrika dan Timur Tengah yang tergantung pada gandum sebagai bahan makanan pokoknya. Rusia menutup jalur pasokan makanan yang melintasi laut hitam dari tiga pelabuhan besar di Ukraina: Odessa, Pivdennyi dan Chornomorsk. Akibatnya, jutaan metrik ton gandum tidak bisa dikirim ke negara-negara yang memerlukan, termasuk Indonesia.

BACA JUGA  Perbandingan Pemilihan Presiden Taiwan dan Indonesia

Sementara dari sisi Ukraina, perang adalah perlawanan heroik mempertahankan kedaulatan tanah airnya. Rusia telah kehilangan argumentasi logik-nya atas perang, respons dunia adalah keberpihakan yang lebih besar pada Ukraina.

Menurut hemat penulis, menjawab pertanyaan kapan perang ini berakhir? Ada lima skenario yang dapat menghentikan perang. Pertama, dalam jangka pendek karena kecerobohan Rusia mendorong NATO terlibat dalam perang maximum force yang tidak seimbang, memaksa Rusia harus keluar tanpa syarat dari wilayah Ukraina.

Kedua, tekanan yang kuat dari China atas dasar kepentingannya dengan Amerika Serikat dan Eropa kepada Rusia untuk berhenti berperang dan kembali berunding pada kesepakatan Minks Agreement atau kesepakatan OSCE sebelum serangan Rusia ke ukraina 24 Februari 2022. Ketiga, kesepakatan pemulihan sanksi-sanksi ekonomi AS dan MEE terhadap Rusia dengan syarat kembali ke meja perundingan akan menarik Rusia untuk menghentikan perang.

Keempat, ada operasi intelijen yang berhasil membuat Presiden Rusia tidak lagi dapat menjalankan kekuasaannya. Kelima, dalam jangka panjang kelangkaan amunisi militer dan ketertinggalan teknologi mesin perang Rusia membuat Rusia harus meninggalkan wilayah ukraina yang didudukinya.

Secara bertahap, perang semakin mundur ke perbatasan Rusia yang akhirnya Rusia mengandalkan serangan-serangan jarak jauh dari luar wilayah ukraina hingga Rusia menghentikan serangannya. Keenam, dalam jangka panjang ekonomi Rusia menuju kebangkrutan alias collaps dan memicu terjadinya social disorder sebagaimana sejarah perang Rusia di Afghanistan 24 Desember 1979- 15 Februari 1989 yang berujung bubarnya Uni Soviet pada 24 Desember 1990. Ketujuh, proses peralihan kekuasaan di Kremlin ditandai dengan kejatuhan Presiden Putin dan digantikan oleh rezim baru yang berlawanan dengan rezim sebelumnya.

Lalu skenario mana yang paling mungkin terjadi? Tentu kita berharap skenario yang paling cepat mampu menghentikan perang dalam waktu sesegera mungkin dengan korban seminimal mungkin.

*Penulis, Yuddy Chrisnandi, adalah Guru Besar Ilmu Politik Universitas Nasional, Dubes RI di Ukraina 2017-2021.