Tri Indroyono
Opini  

Strategi Bea Keluar untuk Ambisi Hilirisasi?

Langkah Hilirisasi dan Bea Keluar
Dave Reinhart Nathanael Phang, Mahasiswa Ilmu Administrasi Fiskal, Departemen Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia.(Foto:Dok.Pribadi)

“Semoga pada akhirnya, ketika memakai kebijakan ini, cita-cita untuk menguatkan nilai rupiah, mencapai kemandirian energi, dan peningkatan devisa negara karena ekspor dapat terlaksana dengan baik.”

Oleh Dave Reinhart Nathanael Phang, Mahasiswa Ilmu Administrasi Fiskal, Departemen Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia

Kemenkumham Bali

Belum genap satu bulan dilantik sebagai Presiden ke-8 RI, Prabowo Subianto telah membuat banyak “gebrakan” ketika menjabat. Salah satu hal menarik adalah statement dari sang jenderal, di mana ia ingin menekan dolar yang saat ini di angka Rp15.894 menjadi Rp5.000. Sebagai Warga Negara Indonesia (WNI), pastinya masyarakat sangat mendukung hal baik ini, namun pertanyaan yang muncul adalah, apakah mungkin Indonesia dapat menurunkan kurs dolar lebih dari 300 persen?.

Berbicara mengenai hal ini, pemerintah ingin fokus pada hilirisasi 6 komoditas pertanian, yaitu sawit, kelapa, lada, kakao, kopi, dan cengkeh. Melalui 6 komoditas ini, pemerintah memproyeksikan, akan ada potensi ekspor mencapai Rp600 triliun yang tujuan akhirnya adalah peningkatan devisa ekspor dan perkuatan nilai tukar rupiah hingga mencapai Rp5.000 per US$.

Menteri Pertanian, Amran Sulaiman mengatakan bahwa saat ini produk mentah Indonesia dibeli oleh perusahaan luar negeri dan diolah di luar negeri, sehingga nilai tambah yang dihasilkan dinikmati oleh negara tersebut. Ia mencontohkan komoditas kakao yang dihasilkan dari Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan, serta komoditas mente dari Sulawesi Tenggara. Ketika mentah, kedua komoditas ini dijual seharga Rp26.000 per kg, namun ketika kedua komoditas tersebut telah diproses, kembali dibeli oleh Indonesia dengan harga Rp1 juta per kg atau bisa dibilang lebih mahal 3.800 persen atau 38 kali lipat.

Berbicara mengenai komoditas pertanian, pada periode Januari-Juli 2024, ekspor sektor pertanian Indonesia masih dinilai rendah, yaitu diangka US$2,77 Miliar. Maka dari itu, pemerintah ingin meningkatkan hilirisasi dari komoditas pertanian ini. Sejalan dengan pendapat dari menteri pertanian, pengolahan produk pertanian menjadi barang jadi atau setengah jadi adalah langkah yang sangat penting dalam meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global. Sejalan dengan hal ini, sektor pertanian hanya menyumbang 13,78 persen dari total penerimaan terhadap perekonomian di Indonesia pada triwulan II-2024.

Ketika hilirisasi ini sudah berjalan dengan baik, ekspor komoditas pertanian bukanlah dongeng belaka. Hasil bumi tanah Indonesia merupakan salah satu hasil komoditas yang diminati dalam perdagangan internasional. Pada saat ekspor komoditas pertanian meningkat, devisa negara juga akan meningkat, karena negara menerima pendapatan berupa mata uang asing dari penjualan barang jadi atau setengah jadi ke negara lain.

Walaupun tujuan utama dan akhirnya adalah peningkatan ekspor dan devisa negara, pemerintah juga harus menjaga kemandirian energi. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia untuk mendorong kemandirian energi di Indonesia. Ia berpendapat bahwa dalam beberapa tahun mendatang pemerintah akan meningkatkan campuran biodiesel ke dalam minyak solar dari yang saat ini di angka 35 persen menjadi 60 persen. Menurutnya, cara ini dapat menurunkan impor BBM Indonesia yang sangat menguras devisa negara di angka Rp500 Triliun per tahunnya.

Salah satu cara lain untuk mendorong kemandirian energi sambil meningkatkan angka ekspor di Indonesia dengan memperhatikan bangsa sendiri adalah menerapkan salah satu instrumen kepabeanan dan cukai, yaitu pengenaan bea keluar pada 6 komoditas ekspor pertanian yang disebutkan sebelumnya. Walaupun tujuan dari Presiden Indonesia adalah meningkatkan komoditas ekspor, pemerintah juga harus memikirkan “rumah tangga”nya sendiri sebelum melakukan ekspor.

Dalam hal memenuhi kebutuhan “rumah tangga” sendiri, pemerintah harus memastikan bahwa masyarakat yang membutuhkan komoditas sawit, kelapa, lada, kakao, kopi, dan cengkeh dapat memenuhi terlebih dahulu kebutuhannya, sebelum berani untuk melakukan ekspor ke luar negeri. Hal ini menjadi salah satu isu yang harus diselesaikan pemerintah. Bea keluar sendiri dikenakan dengan tujuan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri, melindungi kelestarian sumber daya alam, mengantisipasi kenaikan harga yang cukup drastis dari komoditi ekspor tertentu di pasaran internasional, atau menjaga stabilitas harga komoditi tertentu di dalam negeri.

Tujuan pengenaan bea keluar salah satunya untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri. Misal komoditas beras, tercatat di tahun 2022 Indonesia mengekspor 200.000 ton beras ke negara tetangga, namun banyak juga warga Indonesia yang tidak dapat mengkonsumsi beras layak untuk dikonsumsi.

Setiap tahunnya, Indonesia pasti mengalami permasalahan dalam hal konsumsi beras, karena Indonesia adalah salah satu negara yang mengkonsumsi beras secara masif. Jika berkaca pada kasus ini, bagaimana Indonesia dapat melakukan ekspor beras dengan besar, dikala penduduk asli Indonesia masih kesulitan mengkonsumsi beras karena harga yang mahal ataupun ketersediaan beras layak konsumsi masih kurang?.

Maka dari itu, salah satu instrumen kepabeanan dan cukai dapat dimanfaatkan dalam perwujudan penurunan nilai tukar rupiah ini dan dapat dimanfaatkan juga untuk mendorong kemandirian energi yang sudah diimpikan oleh bangsa ini. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dan kaya, Indonesia harus dapat mengelola semuanya dengan baik. Sambil mencapai semua tujuan itu, pengenaan bea keluar sebagai salah satu dari instrumen kepabeanan dan cukai juga dapat meningkatkan penerimaan negara berupa pajak.

Semoga pada akhirnya, ketika memakai kebijakan ini, cita-cita untuk menguatkan nilai rupiah, mencapai kemandirian energi, dan peningkatan devisa negara karena ekspor dapat terlaksana dengan baik. Namun walau begitu, pemerintah juga harus mengkaji rekomendasi ini, serta membuat peraturan yang mengikat, dan juga melakukan sosialisasi ke semua kalangan, baik itu sesama pemerintah maupun masyarakat untuk mencapai tujuan ini secara bersama.

*Penulis Dave Reinhart Nathanael Phang adalah Mahasiswa Ilmu Administrasi Fiskal, Departemen Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia

BACA JUGA  Memberantas Korupsi Mungkinkah?