Hemmen

PTKP Rp 500 Juta Pajak UMKM, Dapatkah Mendorong Stabilitas Ekonomi Nasional?

Pajak UMKM
Ilustrasi foto diolsh penulis

Oleh Safina Aulia Sulistianingtyas

Sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) mempunyai posisi yang cukup krusial dalam stabilitas perekonomian nasional. Hal itu dibuktikan dengan jumlah UMKM yang berdiri di Indonesia saat ini mencapai angka 64,19 juta dengan kontribusinya untuk Produk Domestik Bruto (PDB) negara sampai 61,97 persen atau sebesar Rp8.573,89 triliun.

Kontribusi UMKM untuk perekonomian nasional tersebut terdiri dari kemampuan menyerap sampai 97 persen dari total tenaga kerja yang tersedia serta mampu mengumpulkan sampai dengan 60,4 persen dari total investasi.

Selain itu, prestasi sektor UMKM terus mengalami kemajuan sampai ke segi ekspor, dimana kontribusi UMKM dalam hal ekspor yang awalnya hanya berada di angka 14 persen mengalami kemajuan sampai di angka 18 persen pada akhir 2020 (BKPM, 2020).

Melihat pentingnya peran UMKM dalam stabilitas perekonomian Indonesia, maka pemerintah selalu berusaha untuk dapat memberikan dukungan dengan mengeluarkan berbagai kebijakan yang memberikan kemudahan serta keuntungan untuk UMKM, salah satunya dengan menerapkan kebijakan fiskal, terutama di bidang perpajakan.

Selanjutnya, terkait fungsi pajak dalam stabilisasi ekonomi nasional, salah satunya digunakan oleh pemerintah sebagai alat untuk mengurangi kesenjangan sosial, misalnya dengan memberikan subsidi pajak berupa pembebasan pajak/pengurangan beban pajak bagi kelompok pendapatan rendah untuk meningkatkan daya beli dan kesejahteraan mereka.

Bersamaan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) sebagai salah satu upaya untuk percepatan perbaikan ekonomi dan pembangunan nasional, pemerintah menggulirkan kebijakan terkait batasan penghasilan bruto (omzet) tidak kena pajak untuk Wajib Pajak Orang Pribadi UMKM sampai dengan Rp 500 juta setahun (Kemenkeu, 2021).

Kebijakan tersebut dapat dijelaskan dengan menggunakan teori kebijakan tax cut, yaitu tindakan pemerintah untuk menurunkan beban pajak yang bentuk kebijakannya dapat berupa personal exemptions/allowances (Penghasilan Tidak Kena Pajak), object exemptions (pembebasan objek), deduction, kenaikan batas lapisan Penghasilan Kena Pajak, dan sebagainya.

BACA JUGA  OC Kaligis: Pak Presiden Jokowi Saya Mohon Diperlakukan Adil

Kebijakan tax cut dalam jangka panjang tidak akan mengecilkan pendapatan pajak negara secara agregat, bahkan sebaliknya dapat memperbesar pendapatan pajak negara dari sumber-sumber pajak yang lain.

Tujuan utama dari diberlakukannya fasilitas insentif pajak ini adalah untuk memberikan keringanan pajak kepada para pengusaha kecil, karena insentif ini ditujukan untuk usaha di level mikro dan ultra mikro (Santoso, 2021).

Dengan adanya pemberian insentif ini, PPh Final yang terutang bagi WP OP UMKM yang penghasilannya di atas Rp 500 juta per tahun menjadi lebih murah, serta untuk para pengusaha kecil seperti pengusaha toko kecil, warung kopi, toko sembako, dan lainnya yang penghasilan bruto-nya sampai dengan Rp 500 juta per tahun tidak akan dipotong pajak (Rastana, 2021).

Dengan diberlakukannya kebijakan tersebut telah memberikan keadilan bagi para pelaku UMKM karena sebelumnya belum ada regulasi yang mengatur terkait batasan PTKP bagi UMKM yang berarti bahwa para pengusaha kecil, baik yang peredaran bruto-nya sebesar Rp10 juta, Rp50 juta, ataupun Rp100 juta setahun tetap dikenakan pajak. Hal tersebut tidak sejalan dengan asas equity (keadilan) dalam pajak yaitu asas vertikal equity (keadilan vertikal) yang menyatakan bahwa Wajib Pajak yang memiliki tambahan kemampuan ekonomis berbeda diperlakukan tidak sama (Unequals Treatment for the Unequals).

Melalui diterapkannya kebijakan ini, maka dapat dikatakan pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP), telah memberikan keadilan kepada para pelaku UMKM, terutama pengusaha kecil yang omzetnya sampai dengan Rp500 juta per tahun karena tidak akan dikenakan pajak.

BACA JUGA  Hari Kedua Ramadan, Kurs Rupiah Menguat

Dirjen Pajak, Suryo Utomo berpendapat bahwa pemberian fasilitas pajak ini merupakan bentuk keberpihakan pemerintah kepada WP OP UMKM.
Selain itu, para pengusaha UMKM dengan peredaran bruto lebih dari Rp 500 juta per tahun tetap diwajibkan membayar pajak karena dianggap memiliki ability-to pay yang lebih besar, maka pengusaha tersebut harus menanggung beban pajak (tax burden) yang lebih besar daripada pengusaha kecil.

Hal tersebut sesuai dengan asas equity (keadilan) dalam perpajakan yang menyatakan bahwa golongan masyarakat atas, yang dalam hal ini adalah para pengusaha UMKM dengan omzet di atas Rp 500 juta per tahun, tetap diwajibkan membayar pajak sesuai bagian yang seharusnya mereka bayarkan. Bahkan untuk perusahaan besar yang peredaran bruto-nya melebihi Rp 4,8 miliar setahun, sesuai regulasi ini, tidak diperbolehkan untuk menikmati fasilitas-fasilitas perpajakan yang dapat mengurangi beban pajak yang seharusnya mereka bayarkan.

Penerapan kebijakan batasan PTKP Rp 500 juta bagi WP OP UMKM di dalam UU HPP yang telah memenuhi asas equity/keadilan dalam perpajakan serta berperan sebagai alat pemerataan ini menjadi suatu prasyarat (prerequisite) untuk meningkatkan kesadaran dan kepatuhan Wajib Pajak terutama WP OP UMKM dalam membayar pajak secara sukarela (voluntary tax compliance).

Penerapan kebijakan pajak tersebut juga merupakan upaya pemerintah dalam menerapkan pajak yang memperhatikan aspek kondisi sosial dan ekonomi masyarakatnya, di mana pemungutan pajak lebih diutamakan untuk kelompok masyarakat yang memperoleh untung besar dari perekonomian, yang dalam hal ini adalah para pengusaha besar.

Sebaliknya, kelompok masyarakat ekonomi menengah ke bawah dengan pendapatan yang cenderung lebih rendah, dalam hal ini adalah sektor UMKM, diberikan keringanan oleh pemerintah dalam hal pajak dengan memberikan insentif pajak yaitu batasan PTKP Rp 500 juta bagi WP OP UMKM.
Oleh karena itu, para pelaku UMKM tidak terlalu banyak terlibat dalam pembangunan negara (tidak dikenakan pajak yang tinggi karena ada PTKP sebesar Rp 500 juta sebagai pengurang peredaran bruto mereka dalam setahun yang nantinya akan menjadi DPP untuk perhitungan PPh Final UMKM).

BACA JUGA  Stadium General LK-1 HMI Universitas Paramadina Jakarta

Hal ini sejalan dengan fungsi pemerintah terkait fungsi distribusi, yaitu pajak sebagai distribusi ekonomi merupakan implementasi yang ideal untuk pembangunan ekonomi negara, terutama saat masa pemulihan Pasca-Pandemi Covid-19 ini, yang mana pajak dilaksanakan untuk memenuhi semua kebutuhan masyarakat.

Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa antara pajak dan stabilitas ekonomi memiliki keterkaitan. Pajak menjadi sumber penerimaan utama bagi negara yang mendanai pembangunan infrastruktur, pelayanan publik, menjalankan program sosial, pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, pengembangan sektor-sektor strategis, mengurangi kesenjangan ekonomi, dan mengendalikan inflasi. Kepatuhan Wajib Pajak dalam membayar pajak sesuai ketentuan yang berlaku menjadi kunci utama dalam menjaga stabilitas ekonomi negara.

*Safina Aulia Sulistianingtyas adalah Mahasiswi Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Indonesia (UI).

Barron Ichsan Perwakum