“Bahagia di masa tua atau Menua bukan hasil dari perawatan mahal atau disiplin keras, tapi dari penerimaan ringan yang jujur. Tidak ada tuntutan menjadi “nenek-nenek keren” yang harus main TikTok atau menjadi “kakek viral” yang bisa push-up. Yang ada justru saran seperti “berjemurlah”, “kurangi layar”, “ngobrol”, “istirahatlah kalau lelah”
Resensi oleh: Dr. Kemal H Simanjuntak. MBA
Di tengah dunia yang terobsesi dengan anti-aging dan keremajaan abadi, Tembok Berusia 80 Tahun hadir sebagai tamparan yang lembut namun efektif bahwa menua bukanlah aib yang harus disembunyikan di balik botox atau disangka gagal update gaya hidup. Buku ini menyodorkan pendekatan segar dan manusiawi dalam menghadapi penuaan bukan dengan menolak kenyataan, tetapi dengan memeluknya dengan senyum, gerakan ringan, dan segelas air putih tiap kali pakai AC.
Ditulis oleh Dr. Hideki Wada, seorang psikiater berusia 61 tahun dengan spesialisasi kesehatan mental lansia, buku ini langsung menjadi fenomena di Jepang. Dalam waktu singkat, lebih dari 500.000 eksemplar terjual, dan gelombang pembacaannya merembet ke luar negeri. Dalam dunia penerbitan yang makin sepi pembaca serius, buku ini justru menyapa kalangan muda dan tua dengan cara yang ringan, tidak menggurui, dan penuh humor empatik.
Bukan Sekadar Nasihat Kesehatan, Tapi Filosofi Hidup Ringan
Meski berangkat dari dunia medis, isi buku ini jauh dari kesan berat atau penuh istilah ilmiah. Dr. Wada menyusun 44 butir kebijaksanaan lansia dalam bentuk kalimat-kalimat pendek yang bisa langsung dipraktikkan dan direnungkan. Kalau Anda berharap akan menemukan teori neuropsikiatri atau hasil penelitian statistik, Anda salah alamat. Tapi jika Anda ingin tahu bagaimana cara menjalani hari tua tanpa panik setiap kali lupa naruh kunci nah, buku ini jawabannya.
Kalimat-kalimat seperti:
“Sendiri bukan berarti kesepian, bisa jadi itu waktu bersantai,”
“Jangan malu pakai popok jika perlu justru itu bantu kita lebih bebas bergerak,”
“Kalau sudah tidak bisa nyetir aman, lebih baik berhenti daripada celaka,”
Terdengar seperti percakapan hangat nenek kepada cucunya. Dan itulah kelebihan utama buku ini. ia tidak menguliahi, tapi mengajak ngobrol. Di balik candaan-candaan halus, tersimpan refleksi serius tentang bagaimana lansia sering kali dituntut terlalu sempurna oleh masyarakat muda yang bahkan belum bisa sempurna mengatur emosi sendiri.
Menjadi Lansia Bahagia, Sebuah Revolusi Senyap
Dr. Wada bukan sedang menjual ilusi “tua itu menyenangkan” tanpa bukti. Ia memotret kehidupan para lansia yang tetap aktif, bahagia, dan sehat bukan karena tubuh mereka sempurna, tapi karena sikap mereka terhadap hidup tetap lentur. Mereka tetap berjalan, meski pelan. Mereka tetap makan enak, meski sedikit gemuk. Mereka tidak menolak kenyataan, tapi juga tidak menyerah pada ketakutan.
Poin penting buku ini adalah bahwa bahagia di menua bukan hasil dari perawatan mahal atau disiplin keras, tapi dari penerimaan ringan yang jujur. Tidak ada tuntutan menjadi “nenek-nenek keren” yang harus main TikTok atau menjadi “kakek viral” yang bisa push-up. Yang ada justru saran seperti “berjemurlah”, “kurangi layar”, “ngobrol”, “istirahatlah kalau lelah”, dan “kadang jadi orang tua nakal itu sehat”.
Ya, buku ini dengan santai mengajak lansia untuk… kadang bandel sedikit.
Humor, Kejujuran, dan Bebas dari Toksisitas “Tua Ideal”
Yang membuat buku ini sangat relevan (bahkan untuk pembaca muda), adalah karena ia membongkar mitos lansia sempurna. Wada menolak gagasan bahwa lansia yang ideal harus tetap bugar, aktif berorganisasi, hafal jadwal imunisasi, tidak boleh lupa, dan harus senantiasa sabar seperti malaikat. Tidak. Kadang kita marah. Kadang malas. Kadang ingin menyendiri. Itu bukan tanda sakit itu tanda kita manusia.
Dengan gaya tulis yang bersih dari dramatisasi, buku ini menyampaikan bahwa tidak semua penyakit harus dilawan habis-habisan. Kadang berdamai lebih sehat. Kadang menerima lebih kuat daripada mengobati. Bahkan ketika bicara soal demensia, Wada menulis dengan tenang:
“Demensia di akhir hidup bisa jadi cara Tuhan membuat kita tenang.”
Itu bukan sinisme, melainkan bentuk spiritualitas lembut yang sangat jarang ditemukan di buku sejenis. Di dunia yang terus berisik dengan “cara menyembuhkan”, buku ini menawarkan cara untuk “mengikhlaskan” tanpa kehilangan kualitas hidup.
Buku Wajib Bagi Keluarga dan Generasi Sandwich
Lebih dari sekadar buku untuk lansia atau menua, Tembok Berusia 80 Tahun juga wajib dibaca oleh anak-anak dan cucu-cucu. Terutama mereka yang sedang berada di “generasi sandwich” yang merawat orang tua sembari membesarkan anak sendiri. Buku ini bisa menjadi jembatan untuk memahami orang tua kita bukan sebagai “beban masa tua”, tapi manusia yang masih punya hak atas kenikmatan hidupnya sendiri. Ini bukan buku motivasi tua-tua keladi. Ini semacam manifesto kecil untuk menikmati usia senja tanpa minder, tanpa ketakutan ketinggalan zaman, dan tanpa ilusi jadi super-grandma.
Kesimpulan: Lebih dari Buku, Ini Panduan Bernafas
Tembok Berusia 80 Tahun adalah napas segar di tengah tekanan hidup modern. Ia tidak menuntut, tidak mencibir, dan tidak berusaha memaksakan standar kebahagiaan. Ia hanya mengingatkan kita bahwa menjadi tua adalah proses alami yang layak dirayakan, bukan disesali.
Dan seperti salah satu poin favorit dalam buku ini “Tarik napas dengan lega, hidup tak perlu diburu-buru.” Sebuah pengingat bahwa mungkin kita tidak butuh terapi mahal untuk bahagia. Cukup 44 kalimat singkat, dan satu senyuman jujur itu pun sudah bisa jadi awal hidup sehat sampai 80 tahun ke atas.
*Penulis Kemal H Simanjuntak adalah Konsultan Manajemen | GRC Expert | Asesor LSP Tatakelola, Risiko, Kepatuhan (TRK)