“Saya akan ingatkan Kajari Jakarta Selatan, karena Kejari Jakarta Selatan sebagai eksekutor pelaksana putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap dan pasti. Mereka yang mempunyai otoritas untuk itu.”
JAKARTA, SUDUTPANDANG.ID – Asisten Pidana Umum (Aspidum) Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta Anang Supriatna menyatakan akan mengingatkan Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan (Jaksel) Nurcahyo Jungkung Madyo terkait terbengkalainya eksekusi terhadap terpidana Robianto Idup sejak penghujung tahun silam.
“Saya akan ingatkan Kajari Jakarta Selatan, karena Kejari Jakarta Selatan sebagai eksekutor pelaksana putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap dan pasti. Mereka yang mempunyai otoritas untuk itu,” kata Anang kepada wartawan di Jakarta, Rabu (4/8/2021).
Hal ini dikatakan mantan Kajari Jaksel itu, saat menjawab pertanyaan mengapa belum dilakukan eksekusi terhadap terpidana Robianto Idup hingga saat ini seusai dipanggil secara patut.
Kajari Jaksel Nurcahyo Jungkung Madyo, sebelumnya pernah menyatakan melaksanakan putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) setelah selesai masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat Level 4.
“Kami masih sibuk melaksanakan perintah Jaksa Agung mengenai PPKM Darurat. Nanti setelah PPKM selesai pasti kami akan eksekusi,” demikian disampaikan Nurcahyo, Rabu (29/7/2021) lalu, melalui telepon selularnya.
Namun belakangan ini, Nurcahyo tidak lagi merespon baik pesan WhatsApp maupun sambungan telepon soal pelaksanaan eksekusi terpidana Robianto Idup yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab pihaknya demi kepastian hukum sekaligus membuktikan penegakan hukum tidak diskriminatif.
Tidak hanya Nurcahyo yang menghindar saat dikonfirmasi wartawan terkait pelaksanaan tugasnya mengeksekusi terpidana Robianto Idup, Kasi Intelijen Kejari Jaksel Sri Odit Megonondo pun demikian.
Lebih dari itu, Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung (Kejagung) RI, Fadil Zumhana sebagai petinggi bidang pidana umum Kejagung juga tidak memberikan ketegasan terkait pelaksanaan atau eksekusi putusan Mahkamah Agung (MA) terhadap terpidana kasus penipuan Robianto Idup yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht) akhir tahun lalu.
“Perkara tersebut saat ini ditangani Kejati DKI Jakarta. Silakan tannya kepada Aspidum, karena mereka yang mengetahui permasalahannya,” kata Jampidum, Fadil Zumhana, Rabu (4/8/2021).
Terlunta-luntanya pelaksanaan eksekusi terpidana Robianto Idup akhirnya mengundang tanya tidak saja bagi saksi korban Herman Tandrin. Tetapi juga para pencari keadilan lainnya. Siapa sebenarnya terpidana Robianto Idup?
Tidakah sama kedudukan setiap terpidana di hadapan hukum? Adakah Robianto Idup terpidana “anak emas” eksekutor? Sehingga bisa mengulur-ulur waktu eksekusi?
Dihukum 18 Bulan Penjara
Dalam perkara ini, JPU Marly Sihombing dari Kejati DKI dan Jaksa Pengganti Boby Mokoginta dari Kejari Jakarta Selatan sebelumnya menuntut terdakwa Robianto Idup selama 3 tahun 6 bulan penjara.
Dalam putusannya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pimpinan Florensani Kendengan memutuskan perbuatan terdakwa bukanlah tindak pidana melainkan perdata sehingga diputus onslag van recht vervolging atau melepaskan terdakwa karena perbuatannya perdata.
JPU tidak terima putusan majelis hakim tersebut dan mengajukan permohonan kasasi ke MA. Hakim di puncak lembaga yudikatif itu mengabulkan permohonan kasasi JPU dengan menghukum Robianto Idup selama 18 bulan penjara.
Kasus pengusaha tambang tersebut (Robianto Idup) bermula adanya kerja sama antara Robianto Idup selaku Komisaris PT DBG dalam usaha pertambangan batubara dengan Herman Tandrin Dirut PT.GPE pada pertengahan tahun 2011 lalu. PT GPE yang memiliki peralatan lengkap diperjanjikan mengerjakan penambangan batubara di wilayah izin pertambangan PT DBG di Desa Salim Batu, Kecamatan Tanjung Palas, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara.
PT GPE pun melakukan mobilisasi unit, land clearing dan pekerjaan overburden sesuai yang diperjanjikan sampai Agustus 2011. Bahkan membuat jalan yang kemudian dilanjutkan penggalian batubara September 2011. Namun PT DBG tidak kunjung melakukan pembayaran secara tuntas atas kerja PT GPE hingga mengancam menyetop pelaksanaan pekerjaan penambangan.
Terpidana Robianto Idup yang sebelumnya sudah saling kenal meyakinkan Herman Tandrin bahwa dirinya bukanlah tipe orang tak konsisten membayar hutang. Robianto Idup meminta diteruskan pekerjaan selanjutnya karena akan dibayar sekaligus dengan bayaran yang telah dilaksanakan sebelumnya. PT GPE pun melakukan eksplorasi penambangan batubara hingga menghasilkan sebanyak 223.613 MT atau senilai Rp71.061.686.405 untuk PT DBG. Batubara itu dijual ke Singapura. Namun, pihak PT DBG yang diwakili Robianto Idup masih saja tak kunjung membayar PT GPE yang ditaksir mencapai Rp74 miliar lebih.
Berbagai upaya dilakukan Herman Tandrin tak dihiraukan Robianto Idup hingga akhirnya Robianto Idup dan Iman Setiabudi dilaporkan ke Polda Metro Jaya. Iman Setiabudi terlebih dahulu dijatuhi hukuman oleh PN Jakarta Selatan, karena dia kooperatif. Sebaliknya dengan Robianto Idup kabur dulu hingga dimasukan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) dan di-red notice-kan sampai akhirnya menyerah saat berada di Denhaag, Belanda dan kemudian menjalani proses hukum di PN Jakarta Selatan.(tim)