Catatan O.C Kaligis: Revisi KUHAP

OC Kaligis Surati Kapuspenkum Kejagung
O.C Kaligis.(Foto:Dok.Pribadi)

“Dalam revisi KUHAP yang harus ditingkatkan pengaturannya harus mulai dari Penyidik, Penuntut Umum, Hakim sampai ke Lembaga Pemasyarakatan.”

Oleh Prof O.C Kaligis

Ucapan Selamat Idul Fitri MAHASI

1. Di saat lahirnya UU Nomor 8 Tahun 1981 yang dikenal sebagai KUHAP, masyarakat hukum Indonesia menyambutnya dengan sebutan ‘Karya Agung’.

2. Karya Agung karena menjunjung tinggi Azas Presumption of Innocence, berbeda dengan HIR yang menganut Presumption of Guilt.

3. Setelah usia kurang lebih 45 tahun, timbul gagasan di DPR untuk merivisi undang-undang tersebut.

4. Berbeda dengan KUHP kita yang berasal dari Wetboek van Strafrecht Belanda tahun 1881, berlaku di Indonesia sejak tahun 1918, dan sampai hari ini masih digunakan.

5. Untuk revisi itu, DPR memanggil para advokat untuk dengar pendapat, dalam rangka merevisi KUHAP tersebut.

6. Sebagai praktisi yang mengikuti KUHAP melalui gugatan gugatan Praperadilan, dimana saya telah menerbitkan beberapa buku-buku Praperadilan, saya hendak membahas fakta-fakta hukum yang mungkin bermanfaat bagi revisi tersebut.

7. Termasuk untuk pembahasan itu, saya kirimkan beberapa buku misalnya mengenai kelebihan penahanan, penghentian penyidikan, penetapan tersangka tanpa 2 (dua) alat bukti, penyitaan barang bukti di luar tempus, perkara koneksitas, yang bisa jadi masalah diskusi hukum sebelum revisi KUHAP tuntas dibicarakan.

8. Saya mulai dengan Pasal 54 KUHAP, hak tersangka untuk saat mulainya penyidikan, didampingi oleh Pengacara.

9. Biasanya untuk penangkapan operasi tangkap tangan (OTT) apalagi yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tersangka langsung diperiksa tanpa pendampingan advokat, atau didampingi hanya oleh satu advokat.

10. Pendampingan oleh minimal dua advokat. Dalam pemeriksaan tersangka SOP KPK hanya mengizinkan hadirnya satu orang advokat. Padahal dengan hadirnya dua advokat kesewenang-wenangan penyidik terhadap tersangka dapat dibatasi.

11. Menurut KUHAP adalah hak tersangka untuk menunjuk advokat lebih dari satu, karena dengan hadirnya 2 (dua) advokat terpenuhi hadirnya 2 (dua) saksi untuk menyaksikan apakah ada tekanan, pertanyaan menjerat, atau bisa saja tersangka tidak menjawab, karena bila sudah ditahan, pasti dua alat bukti, telah dimiliki penyidik.

12. Pasal 66: “Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”.

13. Pasal 166 ”Pertanyaan yang bersifat menjerat tidak boleh diajukan baik kepada terdakwa maupun kepada saksi”. Hal ini berlaku juga bagi tersangka.

14. Pasal 115 (1) : ”Dalam hal penyidik sedang melakukan pemeriksaan terhadap tersangka, penasehat hukum dapat mengikuti jalannya pemeriksaan dengan cara melihat serta mendengar pemeriksaan.”

15. Pasal 117 (1) : “Keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun”. Dalam praktek salinan BAP saksi tidak diberikan, padahal ditandatangani saksi. Harus diminta dengan syarat kalau salinan tidak diberikan, saksi menolak tandatangan. Juga saksi bila memberi kuasa pendampingan, kuasa berdasarkan Pasal 1792 KUHPerdata, KPK menolak berdasarkan SOP. SOP mengalahkan undang undang. Padahal tanpa pendampingan advokat, saksi sering diberi pertanyaan menjebak, diteror akan dijadikan tersangka bila tidak mengikuti kehendak penyidik.

16. Di awal lahirnya KPK, saksi masih bisa didampingi, karena terkadang untuk menjawab pertanyaan penyidik, saksi perlu konsultasi ke advokat pendamping.

17. Pasal 38 (1) : “Penyitaan hanya dapat dilakukan dengan surat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat” (2) Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1), penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.”

18. Pasal 128 ; ”Dalam hal penyidik melakukan penyitaan, terlebih dahulu ia menunjukkan tanda pengenalnya kepada orang dari mana benda itu disita”. Catatan.: Harus membuat berita acara penyitaan, atau minimal tanda terima sita, disaksikan dan ditandatangani 2 (dua) orang saksi, kalau bisa kepala RW dan pegawai kelurahan setempat.

19. Pasal 129 (1) : ”Penyidik memperlihatkan benda yang akan disita kepada orang dari mana benda itu akan disita atau kepada keluarganya dan dapat minta keterangan tentang benda yang akan disita itu dengan disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi.”

(2) Penyidik membuat berita acara penyitaan yang dibacakan terlebih dahulu kepada orang dari mana benda itu disita atau keluarganya dengan diberi tanggal dan ditandatangani oleh penyidik maupun orang atau keluarganya dan atau kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi.

(3) Dalam hal orang dari mana benda itu disita atau keluarganya tidak mau membubuhkan tandatangannya hal itu dicatat dalam berita acara dengan menyebut alasannya.

(4) Turunan dari berita acara itu disampaikan oleh penyidik kepada atasannya, orang dari mana benda itu disita atau keluarganya dan kepala desa.

Catatan penulis. Sering terjadi salah sita. Misalnya dalam kasus Harvey Muis. Sandra Dewi dapat membuktikan asetnya yang akan disita adalah hasil jerih payahnya sendiri. Dalam kasus Lukas Enembe, Gubernur Papua, bahkan hotel yang terang-terangan milik orang lain, sebagaimana terbukti di persidangan, baik dalam tuntutan JPU, maupun vonis hakim, hotel itu diputus sebagai milik Lukas Enembe. Bila salah sita, jelas melanggar hukum acara, sanksinya sesuai Bab XXVIII Pasal 421 KUHP penyidik itu dapat dikenakan pidana kejahatan jabatan.

20. Dalam perkara perkara korupsi yang dimajukan KPK, biasanya tuntutan JPU diambil alih oleh vonis hakim. Padahal banyak fakta di persidangan, dikesampingkan begitu saja.

21. Inti pemeriksaan di persidangan. Dasarnya : Pasal 183, 184, dan 185 KUHAP.

22. Pasal 183 : ”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

23. Pasal 184. (1) : “Alat bukti yang sah ialah : a. Keterangan saksi, b. keterangan ahli c. surat, d. petunjuk, e. keterangan terdakwa.

(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

24. Pasal 18 .: (1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang Pengadilan. (2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.”

25. Catatan : Asas Unus Testis Nullus Testis. Satu saksi bukan saksi. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.

(4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.

(5). Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil perkiraan saja, bukan merupakan keterangan saksi.

(6) Dalam menilai kebenaran, keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh sungguh memperhatikan :

a. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;
c. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu;
d. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.

(7) Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai alat bukti sah yang lain.

26. Khusus untuk pasal 184, 185 KUHAP, sering fakta yang terungkap dipersidangan, yang menguntungkan terdakwa, dikesampingkan oleh hakim.

27. Padahal apa yang terungkap di persidangan, seharusnya menjadi pertimbangan hakim didalam membuat keputusan.

28. Dalam kasus korupsi Lukas Enembe misalnya. Dari 184 saksi di berkas perkara, hanya 17 saksi yang dimajukan Jaksa Penuntut Umum. Di antara 17 saksi itu sebagian besar tidak mengetahui pemberian uang 1 miliar rupiah itu sebagai uang korupsi. Bahkan 1 miliar rupiah itu bukan uang suap atau gratifikasi.

29. Hanya satu saksi dibawah sumpah yang memberi keterangan bahwa uang Rp 1 miliar itu adalah uang Lukas Enembe, diambil untuk kepentingan pengobatan.

30. Yang terjadi di dalam tuntutan JPU adalah bahwa uang 1 miliar itu adalah uang suap, bahkan JPU membuat karangan bahwa Lukas Enembe punya hotel Angkasa, dan hotel yang pemiliknya bukan Lukas, turut disita. Fakta persidangan mengungkapkan bahwa Hotel Angkasa milik Rijantono Lakka.

31. Karangan JPU didalam tuntutannya diambil alih oleh hakim di dalam vonisnya.

32. Mestinya bila melanggar hukum pembuktian sebagaimana diatur di dalam hukum acara dalam hal ini KUHAP, baik JPU maupun Hakim, telah melakukan Kejahatan Jabatan sebagaimana diatur di pasal 421 KUHP.

33. Sangat sering terjadi dalam perkara korupsi, Hakim hanya mengikuti tuntutan JPU, sekalipun tuntutan itu hanya copy paste dakwaan, mengabaikan bukti yang terungkap dipersidangan.

34. Contoh lainnya. Dalam kasus korupsi Heddy Kandou di Pengadilan Jakarta Pusat, 11 BAP membuktikan bahwa yang mengurus Pengadaan Barang dan Jasa adalah seorang bernama Padmasari Metta.

35. Justru bukannya Padmasari yang dijadikan tersangka utama, termasuk yang menandatangani perjanjian business dengan PLN untuk pengadaan barang dan jasa, justru yang dikriminalisasi adalah Heddy Kandou yang telah mengundurkan diri dari Kepengurusan Perseroan.

36. KUHAP seharusnya memberikan perlindungan hukum sejak awal penyelidikan, baik terhadap tersangka maupun saksi. Sesuai SOP KPK yang dibuat sendiri oleh KPK, seorang saksi sama sekali tidak bisa didampingi Pengacara.

37. Padahal pemberian kuasa kepada Penasihat Hukum oleh saksi didasarkan pada pasal 1792 Kitab Undang Undang Hukum Perdata.

38. Pendampingan tersangkapun hanya diperbolehkan hadirnya hanya satu pengacara, sehingga dengan mudahnya penyidik KPK mengajukan pertanyaan pertanyaan menjebak, termasuk mengintimidasi tersangka/saksi tanpa perlakuan penyidik KPK, Jaksa, disaksikan minimal dua penasihat hukum.

39. BAP yang ditandatangani saksi, tersangka, sering tidak diberikan salinannya kepada tersangka, saksi, padahal apa yang ditandatangani mereka, adalah hal mereka untuk mendapatkan copynya. Fakta fakta ini yang seharusnya masuk dalam rancangan KUHAP yang baru.

40. Hak untuk diam. Sebenarnya hak ini mengikuti acara pidana yang terjadi dibelahan dunia lainnya. Apalagi KUHAP mengatur bahwa tersangka tidak dibebani pembuktian.

41. Dua alat bukti adalah kewajiban petugas untuk mengumpulkan sebelum seseorang ditetapkan tersangka, apalagi KUHAP menganut Asas Praduga tak bersalah.

42. Ketika dalam berkas Menteri Agama Surya Dharma Ali, BPK menyatakan tidak ada kerugian negara, direkayasalah keterangan hanya seorang saksi fakta yang tidak punya latar belakang keuangan apalagi menentukan kerugian negara.

43. Dalam menentukan kerugian negara, KUHAP harus tegas hanya mengacu kehasil telaahan BPK.

44. Banyak kasus Korupsi menyimpang dari BPK. Contohnya Kasus Lukas Enembe, Jero Wacik dan Barnabas Suebu.

45. Dalam perkara TPPU (Pencucian Uang), perkara pokok belum selesai, perkara TPPU telah dimajukan.

46. Bahkan ada perkara TPPU diperiksa tanpa adanya Predicate Crime. Atau dimajukan untuk kasus pasal 378, 372 KUHP, antara swasta dan swasta.

47. Padahal sejarah TPPU adalah kasus Mega Korupsinya Presiden Marcos. Bukan perkara Penipuan atau Penggelapan.

48. Dalam revisi KUHAP yang harus ditingkatkan pengaturannya harus mulai dari Penyidik, Penuntut Umum, Hakim sampai ke Lembaga Pemasyarakatan.

49. Pengawasan terpadu seharusnya sudah mulai di saat terperiksa, mulai diperiksa Penyidik, lanjut ke Jaksa, sampai ke pemeriksaan perkara di Pengadilan.

50. Bukti tebang pilih. Sering terjadi vonis tebang pilih. Korupsi Rp40 miliar divonis 4 tahun, suap Rp5 miliar rupiah pun divonis 4 tahun.

51. Tebang pilih yang merusak penegakkan hukum. Bisa terjadi karena hakimnya masuk angin.

52. KUHAP yang katanya Karya Agung seharusnya sudah sejak semula menghargai bukan saja hak asasi tersangka , tetapi juga teliti dalam hal penyitaan.

53. Banyak penyitaan dilakukan di luar locus dan tempus delicti.

54. Hakim yang memutus di luar fakta persidangan, seharusnya dikenakan sanksi bukan saja pelanggaran etik sebagaimana yang dilakukan oleh Komisi Yudicsial (KY), tetapi juga sanksi pidana sebagaimana diatur di Bab XXVIII KUHP pasal 413 s/d 437 khususnya pasal 421 KUHP sebagaimana pernah dikenakan di kasus dugaan korupsi Bibit-Chandra Hamzah.

55. Kasus suap hakim dalam perkara Ronald Tannur yang mengenyampingkan fakta persidangan, seharusnya dalam KUHAP baru, mengatur bila fakta hukum ini terjadi di persidangan, hakim bersangkutan dijatuhkan sanksi pidana.

56. Temuan Hak Angket DPR-RI tahun 2018 terhadap kinerja KPK, membuktikan banyaknya pelanggaran KUHAP yang dilakukan KPK tanpa sanksi, sehingga KPK bebas melenggang melakukan pelanggaran KUHAP.

*Penulis O.C Kaligis adalah advokat senior yang sampai saat ini masih aktif menulis buku

BACA JUGA  OC Kaligis Kembali Kirim Surat ke Presiden Jokowi, Begini Isinya