“Kembali ke Pancasila dan UUD 1945 yang asli. Ini merupakan langkah dan metoda jenius. Ini usaha rekonsolidasi arah bangsa.”
Oleh Yudhie Haryono
Mereka yang beranggapan bahwa negara adalah institusi paling berkuasa sehingga “leviathan” (memiliki kekuasaan absolut untuk menjaga keamanan dan ketertiban rakyat) perlu dikoreksi ulang. Jika tidak, mereka akan terus hidup di alam utopia: tak berjejak, tak paham sejarah.
Mengapa? Karena kini negara kita dikuasai oligarki. Merekalah aktor utama pergantian konstitusi. Apa buktinya? Terlihat banyak pejabat negara berwajah memelas tetapi ganas; banyak perwira (TNI/Polri) bertampang pelindung tetapi mentung; banyak guru berbaju Pancasila tapi bertradisi KKN ganas; dan banyak rokhaniawan berlagak zuhud tapi amoral.
Pada area oligarki, perlindungan rakyat tinggal mimpi; Keadilan sosial tinggal tulisan; Ketuhanan Yang Maha Esa tinggal ratapan. Kerakyatan dan konsensus tinggal gurauan. Persatuan dan kemanusiaan tinggal kenangan. Pancasila berganti “pancaproblema”.
Ini semua bermula dari relasi “peng-peng” (penguasa-pengusaha) yang membentuk komunitas oligarki dan negara investor. Tetapi, tanda terbaiknya adalah saat presiden Joko Widodo (2023) menyatakan bakal mengejar dan menghajar pihak yang menghambat investasi di Indonesia.
Hal itu terkait dengan perlawanan rakyat yang tidak setuju, perizinan yang lambat, birokrasi yang berbelit, hingga dugaan pungutan liar plus aparat yang tidak melindungi proyeknya.
Pidato itu jelas, tanda ia sudah lupa, tak paham, dan tak mengerti sehingga rabun konstitusi. Tanda ia rela jadi gedibal konglomerat. Tanda ia senyum jadi “hit man” yang menjual murah kedaulatan manusia dan negaranya. Tanda jiwa raganya tak merdeka.
Semuanya menuju postulat “republik darurat nasional” (RDN). Apa itu RDN? Apa solusinya? RDN adalah kondisi perilaku mutakhir elit hari ini yang anti-sosial(isme) karena beriman dan menyembah investor(isme). Mereka kini anti konstitusi dan mengencingi akal sehat: mengkhianati dan menguburkan Pancasila.
Kedaruratan republik ini tentu karena negara kalah perang asimetrik dan terhegemoni kaum konglomerat. Semua berasal dari munculnya globalisasi yang bukan hanya sebagai proses perdagangan bebas, melainkan sebagai bentuk kapitalisme global yang cenderung menciptakan ketidaksetaraan, kemiskinan dan ketimpangan akut.
Sudah pasti, globalisasi di sini mengabaikan kepentingan negara berkembang; menghambat pertumbuhan negara; mengerdilkan rakyat agar tetap melarat; dan memastikan kesehatan negara hanya akibat, bukan tujuan. Singkatnya, globalisasi merupakan perwujudan tertinggi dari ekspansi modal (kapitalisme).
Atau, sebuah model imperialisme baru yang bergerak secara mondial, menembus batas-batas negara-bangsa (nation-state), dalam upaya mencari sumber-sumber akumulasi modal yang baru. Negara (purba) remuk dan direbut kaum kapitalis untuk diubah menjadi “institusi yang mereka maui.” Jadilah negara oligarki.
Globalisasi tentu saja menjadi gerak modal yang menggerus berbagai rintangan dan halangan bagi proses akumulasi tersebut. Lahirlah proyek kurs bebas, proyek privatisasi dan swastanisasi terhadap BUMN. Lahir juga program anti subsidi, dan kesejahteraan serta kesehatan warga hanya akibat, bukan cita-cita bersama.
Maka, kita merasa di timur matahari bercahaya berganti kegelapan. Darah rakyat tumpah, membela diri tapi kalah. Tumbal pembangunan berkecambah. Indonesia tidak baik-baik saja karena KKN makin merajalela.
Solusinya, kita harus bangun dan berdiri. Marilah mengatur barisan kembali. Revolusi moral, konstitusional dan sosial sudah memanggil. Pancasila membersamai pemuda pemudi Indonesia. Tentu agar janji proklamasi dan konstitusi terealisasi.
Jalannya adalah “turn around“: kembali ke Pancasila dan UUD 1945 yang asli. Ini merupakan langkah dan metoda jenius. Ini usaha rekonsolidasi arah bangsa. Lalu, penyempurnaan melalui addendum, bukan amandemen total, menjadi pilihan konstitusional yang menjaga keaslian dan sekaligus mengantisipasi tuntutan zaman.
Dengan cara ini, kita membangun Indonesia berdasarkan jati dirinya. Menjadi negara Pancasila. Bukan sekadar meniru sistem asing yang tidak cocok dengan kepribadian bangsa kita. Mestakung, alias Semesta mendukung.
*Prof. Yudhie Haryono, Ph.D adalah Teoritikus Nusantara Studies
Catatan Redaksi: Opini ini adalah tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan media.