JAKARTA, SUDUTPANDANG.ID – Usai mengritik Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) yang masuk nominasi sebagai pemimpin dengan kategori “Kejahatan Terorganisasi dan Korupsi 2024” oleh Organized Crime Corruption Reporting Project atau (OCCRP), peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW) diduga mengalami “doxing” oleh pemilik akun Instagram @volt_anonym.
Dikutip dari tempo.co dan juga laman antikorupsi.org, Koordinator ICW Agus Sunaryanto dalam dalam keterangannya pada Jumat (3/1/2025) di Jakarta menjelaskan dugaan doxing tersebut terjadi setelah seorang peneliti ICW merespons rilis dari OCCRP yang menominasikan Jokowi sebagai pemimpin dengan kategori “Kejahatan Terorganisasi dan Korupsi 2024”.
Ia menjelaskan dugaan doxing itu berupa upaya menyebar sejumlah data pribadi korban ke publik lewat media sosial.
Data pribadi korban yang disebar di antaranya, nomor telepon, nomor Kartu Tanda Penduduk (KTP), alamat tinggal, spesifikasi telepon yang dipakai, hingga titik koordinat lokasi terakhir dalam bentuk tautan google maps.
“Doxing tersebut patut dilihat sebagai bagian dari upaya pembungkaman dan pembatasan suara kritis publik,” kata Agus.
Ia mengatakan bahwa kejadian doxing itu bukan kali pertama dialami oleh pihak yang kerap mengkritik kebijakan pemerintah.
Termasuk, kata dia, terhadap wartawan, aktivis, dan warga yang vokal mengkritik.
“Bahkan doxing dengan pola ini patut dicurigai melibatkan pihak yang memiliki akses untuk melindungi data pribadi warga,” katanya.
Menurut dia semestinya kritikan terhadap masuknya Jokowi dalam nominasi OCCRP itu bisa dijadikan sebagai alarm pembenahan upaya pemberantasan korupsi di tanah air.
Terlebih lagi, dia menilai semasa kepemimpinan dua periode Jokowi telah terjadi kemunduran terhadap pemberantasan korupsi dan demokrasi.
Ia menyinggung ihwal pelemahan lembaga antirasuah tersebut, yang dibuktikan dengan menurunnya nilai indeks persepsi korupsi Indonesia, hingga menguatnya politik dinasti.
“Adanya doxing terhadap pihak yang mengkritik Jokowi justru patut dilihat sebagai penguat bahwa Jokowi layak masuk nominasi OCCRP,” katanya.
ICW mendesak kepada para penegak hukum agar bisa proaktif menyelidiki pemilik akun yang melakukan tindakan intimidasi terhadap peneliti ICW tersebut.
Sebab, dikhawatirkan upaya doxing atau serangan digital ini dialami oleh masyarakat lain yang juga mengkritik, kata Agus Sunaryanto.
Akun menghilang
Adapun doxing terhadap peneliti ICW ini diunggah oleh akun Instagram @volt_anonym.
ICW mencatat doxing terhadap penelitinya itu disebar pada 3 Januari 2025.
Dalam unggahan itu tertulis keterangan bernada ancaman yang berpotensi membahayakan keamanan korban.
Berdasarkan penelusuran Tempo, akun tersebut sudah hilang dari mesin pencarian.
Menurut laman blog vida.id doxing adalah tindakan mengumpulkan informasi pribadi seseorang, seperti nama lengkap, foto, alamat rumah, nomor telepon, dan informasi sensitif lainnya lalu mempublikasikannya ke publik tanpa persetujuan orang yang bersangkutan.
Tindakan ini dapat dianggap sebagai intimidasi, pelecehan, dan ancaman yang merugikan korban.
Sedangkan dampak doxing yakni, ketika kumpulan data pribadi seseorang disebarluaskan, mana kerugian yang dihasilkan bisa bermacam-macam, mulai dari penyalahgunaan identitas, dampak psikologis, kerugian finansial, hingga ancaman keamanan. Bahkan dalam kasus yang lebih serius, doxing bisa menyebabkan korban kehilangan pekerjaan, hancurnya reputasi, menjadi bulan-bulanan pengguna internet, hingga menjadi target kejahatan.
Mengenai ancaman hukum doxing, disebukan tindakan doxing dapat dikategorikan sebagai perundungan dunia maya (cyberbullying).
Oleh karena itu, pelaku doxing dapat dikenakan sanksi berupa denda maupun penjara sesuai tingkatan kejahatannya.
Beberapa pasal yang mengatur doxing:
Pasal 27 Ayat (4) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah menegaskan bahwa setiap individu dilarang untuk mendistribusikan data pribadi seseorang dengan ditambah muatan yang berisi ancaman.
Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) juga menerangkan bahwa orang yang dengan sengaja dan melawan hukum memperoleh atau mengumpulkan data pribadi yang bukan miliknya dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang dapat mengakibatkan kerugian subjek data pribadi dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau pidana denda paling banyak 5 miliar rupiah.
Pasal 67 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yakni setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum mengungkapkan data pribadi yang bukan miliknya dipidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau pidana denda paling banyak 4 miliar rupiah. (Berbagai sumber/Tempo/vida.id/02)